7. Terikat Akad

86 10 5
                                    

Maaf baru bisa update, happy reading 🙏

🌷🌷🌷

Gadis bergamis putih itu duduk di tepi ranjang yang bertabur bunga melati. Aneka rangkaian bunga berwarna putih menghiasi kepala ranjang dan sudut kamar. Permadani putih terhampar menutup lantai kamar. Wangi bunga melati dan mawar menguar memenuhi indera penciuman di kamar pengantin itu. Namun, wajah calon pengantin wanita itu menatap layar monitor yang menempel di dinding dengan cemas. Jemarinya memutih karena kedua tangannya mengepal begitu kuat. Waktu sudah lewat dua puluh menit dari jam sembilan pagi. Waktu dimana seharusnya acara akad nikah dimulai.

Terlihat dari layar monitor, tamu undangan saling pandang dengan wajah penuh tanya. Aisyah dapat melihat bagaimana Ayah Virdi berusaha menenangkan petugas KUA yang mulai gelisah. Meskipun raut kekhawatiran terpancar dari wajahnya, tetapi Ayah Virdi tetap bersikap tenang.

"Alif kenapa ya, Ai. Bunda khawatir. Apa mungkin jalanan macet? Ya Allaaah ... kasian orang-orang sudah pada cemas." Wajah Bunda Jihan diselimuti kecemasan. Bunda berjalan mondar-mandir di dalam kamar pengantin.

"Sabar, Mbak. Insya Allah sebentar lagi Alif pasti datang. Kita berdoa saja," tutur Tante Miya seraya tersenyum.

Dua wanita cantik ini menemani Aisyah dalam kamar pengantin. Ruangan untuk ijab kabul hanya diperuntukkan bagi laki-laki. Sedangkan para wanita duduk di ruangan yang berbeda.

Wajah Aisyah memanas, ujung matanya berkaca-kaca. Ia menunduk berusaha menyembunyikan kesedihan. Hatinya seakan-akan tercabik dipenuhi rasa bersalah. Ia merasa sebagai putri durhaka yang mengecewakan kedua orangtuanya.

"Alhamdulillah!" seru Bunda Jihan dan Tante Miya hampir bersamaan.

Aisyah mendongak mencari tahu apa terjadi. Ia melihat Bunda Jihan yang terharu menutup mulutnya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menunjuk ke layar monitor.
Dalam sekejap, gadis itu memutar bola mata. Tampak Alif tersorot kamera sedang melangkah memasuki ruangan dengan tersenyum dengan diiringi beberapa orang. Pria itu tampak gagah dalam balutan setelan jas berwarna abu-abu.

Ucapan syukur mengudara di antara yang hadir. Ayah Virdi menyambut Alif sembari tersenyum penuh kelegaan, kemudian memeluknya erat.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau Ghazi Alif Prasetya bin Arman Prasetya dengan anak saya Aisyah Nur Rahma dengan mas kawin berupa emas dua puluh gram, tunai." Ayah Virdi menjabat tangan Alif disaksikan perugas KUA dan dua orang saksi.

"Saya terima nikahnya dan kawinnya Aisyah Nur Rahma binti Virza Virdiano dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

"Sah?"

"Saaah."

Ucapan syukur kembali mengudara di antara tamu undangan. Tanpa sadar ada yang menetes dari sudut mata Aisyah. Bukanlah kebahagiaan atas nama cinta, melainkan sebuah kelegaan memenuhi kalbunya. Dirinya bersyukur bisa memenuhi amanat sang ayah.

Bunda Jihan menggamit tangan Aiayah, dan menuntunnya keluar menuju tempat akad nikah. Gadis cantik itu duduk bersimpuh di sebelah Alif. Ketika ia menandatangani buku nikah yang disodorkan petugas, matanya kembali mengembun. Ai merutuk dirinya yang begitu cengeng hari ini, padahal ia merasa wanita yang kuat.

Ai kemudian mengulurkan tangan kepada suaminya seperti arahan pembawa acara.  Ia mendongak, pandangan mereka saling bertaut. Rasa gugup seketika menyapa Ai, dadanya berdegup kencang.

Sesuatu menariknya dalam sebuah kesadaran. Detik ini, Aisyah resmi menjadi istri dari seorang Ghazi Alif Prasetya. Entah apa yang dirasakan oleh gadis itu. Di satu sisi ia bahagia bisa melaksanakan amanat sang ayah. Namun di sisi lain, hatinya terasa miris.

Beberapa hari ini, Alif merasa dilema besar. Pernikahan baginya adalah sesuatu yang sakral. Ada tanggung jawab yang besar ketika sebuah akad terucap dari bibir seorang pria. Hatinya terombang-ambing antara logika dan rasa. Ada sebuah hati yang menantinya di sana, namun dirinya tak sanggup untuk mengecewakan seorang Virdiano. Seseorang yang tidak akan sanggup ia balas kebaikannya.

Semalam, Harumi menelponnya. Bibir Alif bahkan tak mampu mengucapkan kata penghiburan untuk kekasihnya. Gadis blasteran Jepang itu hanya bisa tersedu selama dua jam di telepon. Hanya kata maaf yang berulangkali ia ucapkan.

"Makasih, Mas. Terima kasih sudah datang dan tidak mengecewakan Ayah dan Bunda," lirih Ai.

"Huum." Alif hanya tersenyum tipis. Kata-kata gadis di sampingnya menyadarkan Alif dari lamunan bahwa kini ada status baru yang diembannya.

Semburat jingga terlihat di angkasa ketika rumah berasitektur Jawa ini kembali lengang. Para kerabat sudah kembali pulang. Hanya terlihat para pekerja yang membersihkan sisa-sisa keriuhan pesta.

Raut keletihan tak melunturkan senyum di wajah Ayah Virdi dan Bunda Jihan. Akhirnya apa yang ia impikan terwujud, menitipkan sang putri semata wayang kepada pria yang bisa ia percaya sepenuh hati.

"Jadi, kalian mau bulan madu ke mana? Biar Ayah yang urus semua nanti," ucap Ayah Virdi dengan semringah.

"Hmm, kalo itu terserah Ai saja, Yah. Alif ikut aja." Alif berkata dengan tenang seraya tersenyum.

Ai yang baru menyuap makan malam langsung tersedak. Matanya langsung melebar mendengar jawaban pria di sampingnya.

"Eh, ntar aja, Yah. Maksud Ai ... ntar aja sekalian di Jepang. Lagian banyak hal yang harus di urus. Ai baru dapat kabar kalo harus berangkat dua minggu lagi." Aisyah terkekeh, berusaha menyembunyikan rasa gugup. Ia berharap Ayah tidak membahas masalah bulan madu lagi.

"Ya Allaaah ... kok cepet sekali, Ai. Bunda masih kangen sama Alif." Bunda terlihat sedih.

"Ish, Bunda ... sama anak sendiri gak kangen?" ucap Ai dengan bibir mengerucut.

Bunda Jihan langsung menyentil ujung hidung Ai dengan gemas. "Ya jelas kangen to. Kamu berdua sama-sama anak Bunda. Lagian jeles kok sama suami sendiri." Bunda Jihan terkekeh melihat sikap manja Ai.

Malam kian merangkak naik. Wajah letih menggelayuti semua orang di rumah besar itu. Ayah Virdi pun menyuruh Aisyah dan Alif untuk segera beristirahat.

Aisyah dan Alif beriringan menuju kamar pengantin. Keheningan tercipta sesampainya mereka di kamar. Sepasang suami-istri itu saling menatap dan melempar senyum dengan canggung.

"Ehm, Mas ... makasih karena sudah menepati janji. Ai berjanji akan membalasnya. Mas, nggak usah khawatir." Aisyah tersenyum tulus. "Nanti setelah di Jepang, Mas Alif bisa bilang ke semua orang bahwa kita hanya kakak beradik, termasuk pada kekasihmu," tutur Aisyah. Selanjutnya Ai menjelaskan berbagai skenario yang telah dirancangnya sendiri.

Alih-alih menjawab Alif hanya terpaku menatap wanita yang kini resmi menjadi istrinya berbicara. Pria itu tidak bisa lagi menjabarkan perasaannya. Gamang. Sejak pagi dirinya hanya menjalankan peran sebaik mungkin sebagai 'lakon' utama sebuah drama sesuai arahan sang sutradara.

***

Yuk, jangan lupa komen😘

Terikat Akad (Spin Off Injury Love -sudah Terbit)Where stories live. Discover now