3. Kepulangan Alif

86 18 0
                                    

🌻🌻🌻

Aisyah berjalan mondar-mandir dengan gelisah di dalam kamarnya. Sesekali ia mengentakkan kaki dan mengacak rambut panjangnya. Aksi protes yang dilakukannya selama seminggu sama sekali tidak mengubah keputusan sang ayah.

Sebenarnya gadis itu sudah memahami apabila Ayah Virdi sudah membuat keputusan sangat sulit untuk diubah. Sifat yang sama menurun pada putrinya.

Aksi menangis selama tiga berturut-turut tidak berhasil melunakkan hati pria berkaca mata itu. Aisyah merasa semua usahanya percuma. Alhasil, hanya mata bengkak dan sakit kepala yang ia peroleh.

Hari keempat Aisyah mengubah strategi dengan melancarkan serangan kepada Bunda Jihan. Ia merengek, mengiba, dan terus-menerus meminta bantuan Bunda Jihan agar bicara kepada ayahnya untuk menggagalkan ide pernikahan.

"Bundaaa ... ayo, dong tolongin Ai. Ai masih belum siap jadi istri. Masih banyak yang pengen Ai lakukan," rengek Aisyah di suatu sore. Aisyah berbaring di sofa putih dengan kepala beralaskan paha sang bunda. Wanita paruh baya itu tersenyum lembut sambil mengusap lembut kepala putrinya.

"Ai ... tidak ada orang tua yang tidak mencintai anaknya. Termasuk Ayah sama Bunda. Mungkin sulit menerima keputusan Ayah sekarang, tapi percayalah bahwa itu yang terbaik. Ayahmu bukanlah orang yang grusa-grusu ambil keputusan." Jihan menyorot lembut kepada gadis yang serupa dengannya. Masih terngiang pembicaraan semalam dengan suaminya. Akhirnya ia pun bisa memahami dan tidak lagi mendebat keputusan Virdiano. Ada banyak hal yang dipertaruhkan di belakang mereka.

"Atau ... Ai ambil magister di sini aja. Universitas di Indonesia tidak kalah dengan di luar," ujar Jihan sambil mengerling jahil.

Spontan Aisyah terbangun dan melompat dari sofa. "Nggak bisa! Ai sudah bekerja keras untuk dapat beasiswa ke Jepang," sergahnya cepat dan segera memalingkan wajah. Bibirnya mengerucut. Ia tidak ingin sang Bunda curiga bahwa ada tujuan lain yang tersembunyi.

"Ya sudah, kamu terima saja perjodohan dari ayahmu. Ikhlas Ai, itu kuncinya. Ai pasti akan mendapat kebahagiaan yang lain sebagai gantinya." Jihan menatap lembut ke arah Aisyah seraya tersenyum.

Aisyah yang hendak mendebat Bunda Jihan mengatupkan mulutnya kembali. Kelembutan sang bunda justru membuatnya tak berkutik. Bunda Jihan selalu bisa menyentil urat bersalahnya.

Bola mata Aisyah meliar menjelajah ke setiap sudut di kamarnya yang bernuansa putih. Berharap dengan menatap benda-benda penghuni kamarnya ia bisa menemukan ide brilian agar terlepas dari persoalan yang membelitnya. Gadis itu mengempaskan tubuhnya di ranjang. Rasa letih seketika menjalar di setiap inci tubuhnya.

Pandangan matanya memanah langit-langit kamar. Bola matanya berputar melirik jam yang menempel di dinding. Jam sebelas malam. Ia dilema. Hal itulah yang dirasakan Aisyah.

Ia tidak mungkin membuang mimpinya yang sudah diperjuangkan dengan susah payah. Kenapa juga harus ada syarat perjodohan segala? Perjodohan?

Angannya melayang pada satu sosok yang sempat dilupakannya. Sosok yang selalu ia idolakan dan menemani hari-harinya sejak kecil.

Ah, apa kabarnya Mas Alif?

Sejak pria itu memutuskan kuliah di Jepang komunikasi mereka makin merenggang seiring kesibukan Alif menjadi mahasiswa baru. Pesan Aisyah baru terbalas setelah berhari-hari. Kakak angkatnya itu beralasan keletihan dengan jadwal kuliah dan kerja part time. Sampai akhirnya tidak ada komunikasi di antara mereka.

Saat itu Alif adalah dunia bagi Aisyah. Pemuda itu menjadi sosok yang Ai idolakan. Segala hal yang Aisyah tidak ketahui, pastilah Alif jadi tempat pertama untuk bertanya.

Kepergian Alif ke Jepang membuat lubang besar di hati Aisyah. Kekecewaan gadis yang saat itu masih di kelas sembilan berlangsung cukup lama.

Sejak itu, Aisyah yang dulunya anak rumahan menjadi anak yang aktif ketika masuk SMU. Semua kegiatan ekstrakurikuler ia ikuti. Sampai ia menjadi atlet silat andalan sekolahnya.

Tiba-tiba gadis itu terlonjak hingga terduduk di ranjang. Sebuah ide melintas di otaknya. Senyum miring muncul di bibir mungilnya.

Aisyah mulai menyusun rencana. Ia akan menemui ayahnya terlebih dahulu besok pagi. Setelah itu, ia akan menjalankan rencanan selanjutnya.

"Yes," serunya.

Ia kembali merasakan ada suntikan adrenalin dalam tubuhnya. Ia begitu semangat mengingat rencananya.

Tadi siang Bunda Jihan sempat memberitahu bahwa Alif akan datang lusa. Bunda memberitahu bahwa Alif sampai Jakarta esok hari, tetapi ia berencana mengunjungi temannya terlebih dahulu sebelum ke Jogja.

Aisyah tahu bahwa Ayah dan Bunda pernah beberapa kali berangkat Jepang untuk menengok kakak angkatnya itu. Tiap kali diajak ia pasti menolak dengan alasan kegiatan di sekolah.

Gadis itu menggali ingatannya tentang sosok sang kakak angkat setelah sepuluh tahun tidak berjumpa. Entah kenapa hatinya tiba-tiba berdesir ketika ia membayangkan kehadiran Alif.
"Yah, Ai mau bicara." Ayah Virdi yang baru saja selesai sarapan menyorot tajam kepada sang putri. "Ai menerima keputusan Ayah. Ai ... bersedia menikah dengan Mas Alif," lirih Aisyah.

"Alhamdulillah. Ayah bersyukur. Hanya kepada Alif, Ayah bisa tenang mempercayakan kamu, harta ayah." Senyum Virdiano terkembang. Pria itu menatap istrinya yang ikut tersenyum bersama.

Aisyah pun ikut tersenyum. Hatinya mencelus melihat kebahagiaan orang tuanya. Urat bersalahnya tersentil. Mudah-mudahan mereka tidak mengetahui rencananya, begitu harapnya.

***

Aisyah baru saja selesai makan malam bersama Ayah dan Bunda. Ia hendak menuju sofa putih di ruang tengah saat rungunya sayup-sayup mendengar suara bariton mengucap salam.

Seharian ini Aisyah menyaksikan kehebohan Bunda memberi instruksi kepada Bik Sum untuk membersihkan kamar yang dipakai Alif dulu. Kamar yang bertahun lamanya kosong ditinggalkan pemiliknya.

Bunda Jihan bahkan terjun ke dapur untuk memasak aneka hidangan dan kudapan. Seingatnya itu semua adalah makanan yang disukai oleh kakak angkatnya dulu.
Bik Sum yang hendak membereskan meja makan langsung berinisiatif membuka pintu. Suara kehebohan terjadi saat Bunda Jihan dan Ayah Virdi menyambut tamu yang datang.

"Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang juga ke rumah ya, Le. Bunda kangen," ucap Bunda sambil menggandeng tangan seorang pemuda. Bunda Jihan menarik pelan lengan pemuda itu menuju sofa dan menyuruhnya duduk di hadapan Aisyah.

Aisyah bisa melihat kaca-kaca di mata kedua orang tuanya. Ayah Virdi bahkan beberapa kali memeluk pemuda itu sambil menepuk-nepuk bahunya dengan pelan.

"Ai! Kok malah diem aja. Piye to, kok malah melongo. Ini loh mas-mu sudah datang," seru Bunda Jihan sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Aisyah.

Spontan Aisyah mengatupkan mulutnya. Pandangannya terpaku pada sosok tegap di hadapannya. Gadis itu bersyukur dirinya mengenakan pakaian rumah yang tertutup beserta hijab instan.

"Mas ... Mas Alif. Apa kabarnya?" Aisyah bertanya dengan gugup kepada lelaki fotokopi dari Nicholas Saputra waktu muda. Eh, sekarang juga masih muda sih soalnya masih ganteng, serunya dalam hati sambil terkikik.

"Ehm, baik. Alhamdulillah."

Pandangan Alif bertemu dengan Aisyah. Rasa terkejut melihat perubahan gadis itu disimpannya sendiri. Mata Alif menelisik gadis di hadapannya. Ke mana wajah gadis penuh jerawat dan berminyak yang diingatnya dulu. Wajah itu terlihat putih walaupun tidak sebening gadis-gadis Jepang yang ditemuinya. Binar matanya yang mengerjap karena gugup tampak menggemaskan. Alif merutuk dalam hati kenapa malah terhipnotis dengan binar mata gadis di hadapannya.

***

Terikat Akad (Spin Off Injury Love -sudah Terbit)Where stories live. Discover now