Mawar dari Sang Pemburu

1 0 0
                                    

Hujan semalam menyisakan pagi yang basah tak menyenangkan. Kuputuskan untuk pulang pagi ini juga. Hari memang masih gelap, dingin menjadi satu-satunya teman perjalanan pulangku. Kutenteng tiga ekor serigala hasil buruan. Saat aku sampai di rumah, kutemui ayah yang tengah menguliti buruannya. Memisahkan lapisan kulit dari daging dan membuat darahnya menetes merembes mewarnai lantai. Kulemparkan hasil buruanku, lalu menyambar ayah dengan sebuah sergapan peluk dari belakang. Ia hanya tersenyum.

"Ibumu bisa dengan cekatan menguliti lima ekor rubah. Senyumnya indah menawan, tapi ia tetaplah mawar yang rapuh," kata ayah.

Ya, itulah yang selalu kudengar tentang ibu. Bahwa ibu sudah cekatan sebagai pemburu namun indah bagai mawar. Tapi entah mengapa aku mulai meragukan kata-kata ayah. Bagaimana mungkin ibu bisa cekatan menguliti rubah jika melihat tanganku berdarah saja air matanya bisa langsung mengalir? Cerita ayah seolah-olah mengatakan bahwa ibu adalah wanita yang dingin. Benarkah? Tapi yang kurasa ibu dan pelukannya adalah yang terhangat yang pernah kutemui. Tentang lavender liar, dalam hatiku masih menganguk mengiyakan.

"Ayah, tak ada yang kau sembunyikan bukan?"

"Tentu saja. Hanya kabut yang menyembunyikan bahaya dari balik rimbun pepohonan. Aku bahkan membantumu menyibak kabut itu agar kau menjadi lebih berani. Bagaimana perburuanmu? Aku khawatir karena kau tak kembali."

"Maaf membuatmu khawatir. Hujan menahanku untuk pulang jadi aku menginap di sebuah gua."

"Kau memang tangguh seperti mawar," puji ayah. Aku hanya merenungi kalimat ayah dan kalimat pria serigala itu. Benarkah apa yang ayah ucapkan? Tentang ibu.

"Aku lebih ingin jadi lavender liar," gumamku.

"Apa?"

"Ah tidak. Bukan apa-apa, lupakanlah."

"Villar? Tak ada yang terjadi bukan? Aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Ayolah, kau masih ingat peraturan yang sudah kita sepakati bukan? Tak ada rahasia."

"Ayah, boleh aku bertanya tentang serigala itu?" tanyaku penuh kehati-hatian. Biasanya, ayah akan langsung menjelaskan dengan menggebu-gebu. Tapi hari ini, dia malah menatapku dan seolah sedang mempertimbangkan akan bicara atau tidak.

"Ada apa?"

"Aku sedang kekurangan motivasi."

"Baiklah. Dia serigala besar yang bahkan bisa menelanmu. Cakarnya bahkan lebih tajam dari anak panah, taringnya bisa langsung merobek perut seekor kerbau. Karena itulah aku ingin kau memanahnya dengan tepat di antara dua mata buasnya. Dengan begitu, dia hanya bisa terkapar menunggu mati," jawab ayah.

"Apa dia berwujud serigala sebesar itu?"

"Apa yang sudah kau tahu?"

"Aku melihatnya. Tapi makhluk itu sama sekali tak terlihat seperti serigala. Dia berjalan dengan dua kaki... seperti manusia..."

"Kau membunuhnya?" potong ayah. Aku sedikit terkejut dengan sambarannya. Apalagi dengan raut wajahnya yang berubah drastis dari sebelumnya.

"Tidak, aku hanya melempar belati dan meleset. Dia sekarat, ada banyak luka di tubuhnya juga darah. Tapi aku hanya meninggalkannya di sana."

"Kembalilah. Bunuh dia sekarang juga," seru ayah.

Matanya melebar menyeramkan seolah dendam telah memenuhinya. Untuk sesaat aku merasa kehilangan ayah yang kusayang. Untuk sesaat aku hanya melihatnya sebagai pemburu tua yang ingin sekali menuntaskan dendamnya. Tapi mengapa ayah sampai berbuat demikian?

Aku diam di ruang belakang, mengemasi peralatan berburu dan menajamkannya. Ayah sudah selesai dengan para serigala. Ia kini menghilang ke bagian lain rumah. Menyendiri dan mengasingkanku dengan tugas perburuan.

Ibu, kurasakan ayah semakin dingin saja. Apalagi setelah kau meninggalkan kami di sini, di tengah hamparan salju. Tapi salju akan pergi seiring musim berganti. Kecuali salju yang menyelimuti ayah dan menjadikannya dingin. Sebenarnya apa arti serigala ini bagi ayah? Mengapa ia sampai tega melemparkan anak gadisnya ke tengah hamparan musim dingin hanya untuk memburu serigala yang sekarat? Apa benar ini hanya bentuk cintanya padamu, ibu? Apa dia begitu terluka karena kehilanganmu? Tapi bukankah ayah sudah membunuh serigala yang melukai ibu? Apa ia harus memburu semua serigala sampai habis tak bersisa? Aku ragu ini cinta. Bagaimana jika ini hanya dendam?

*

Red Riding Hood: the TruthWhere stories live. Discover now