Villar, si Tudung Merah

1 0 0
                                    

"Kau adalah tudung merah, pemburu kesayanganku. Kau masih ingat targetmu?"

"Ayah, kau adalah pemburu idolaku. Aku tak akan membuatmu dan ibu kecewa. Aku pasti mendapatkannya. Akan kuhadiahkan serigala itu saat peringatan kematian ibu."

Kukenakan tudung merah yang menjadi ciri khas ibu saat ia remaja. Kini aku pewarisnya, aku puterinya. Kisah cinta ibu dan ayah begitu terkenal. Ibuku, Laila adalah si tudung merah yang pernah diintai serigala kelaparan di sepanjang perjalanan menuju rumah nenek. Serigala itu bahkan sudah menelan nenek dan saat itulah ayah datang. Peluru dari senapannya membunuh si serigala tanpa perlawanan. Sang pemburu menyelamatkan si tudung merah dari serigala, begitulah kisah berakhir. Cerita mereka berlanjut hingga pemburu itu kini dengan bangga kupanggil ayah. Darah pemburunya mengalir di nadiku, keberanian si tudung merah juga diwariskan padaku.

Semenjak kematian ibu karena sakit, kami memutuskan untuk tinggal di rumah yang ditinggalkan nenek. Sebuah vila kecil di tengah hutan. Aku hanya tinggal berdua dengan ayah. Setiap hari pekerjaanku hanya berburu dan terus berburu. Lebih banyak aku memburu serigala untuk dikuliti dan dijadikan mantel saat musim dingin. Udara dingin di tengah hutan terkadang lebih menyulitkan daripada sekawanan serigala. Hari ini aku hanya dapat tiga ekor serigala dan luka robek di sekujur tubuhku karena perlawanan mereka.

Mendung menggantung di langit sore, memang sering terjadi. Bahkan hampir setiap sore pasti turun hujan. Sayang sekali sepertinya malam ini aku terlambat pulang. Gerimis mulai jatuh perlahan seiring dengan tertutupnya tirai cahaya terakhir matahari yang dititipkan pada senja. Malam benar-benar menjadi dingin dan permukaan mantel bulu yang melapisi tubuh mulai basah.

Aku terus berjalan semakin dalam ke hutan, sedikit terhindari hujan karena atap kanopi dari pepohonan. Malam rasanya turun dengan sebuah kesunyian. Aku tak mendengar bebunyian lain kecuali langkah kakiku sendiri yang semakin berat karena tanah basah. Awalnya biasa saja, kuabaikan keheningan yang tak terasa semakin lama semakin membuatku tak nyaman.

Biasanya binatang hutan akan riuh menyambut malam tak peduli apakah malamnya basah atau kering. Tapi malam ini telalu hening. Hanya terdengar suara jatuhan air hujan yang sesekali mematahkan ranting dan dedaunan. Telingaku menangkap suara ranting terinjak dan itu terdengar dekat. Itu bukan langkah binatang hutan, pasti. Langkah itu terdengar mendekat perlahan dengan salah satu kaki yang terseret. Dia bergerak dengan hati-hati dalam sunyi. Aku mempersiapkan anak panah yang segera berjajar dengan busur. Aku bersembunyi di balik batang pohon ek besar dan menanti sosok itu berada dalam jangkauan panahku. Kilat menyambar-nyambar di langit. Jantungku berdebar lebih cepat seiring dengan tiap gelegar di langit dan kudapati bayangan yang kutunggu. Aku keluar dari perlindungan dan segera mengancamnya dengan busur.

"Sial!" umpatnya.

Seorang pemuda muncul di hadapanku. Cukup normal kecuali daun telinga berdiri yang menyembul dari balik singkapan rambut coklat pucat. Telinga serigala yang berwarna putih bagai hamparan salju yang melapisi rerumputan di musim dingin. Pakaiannya terkoyak dengan luka yang masih terlihat merah berlumur darah. Luka di kaki kanannya sedikit menjelaskan mengapa langkahnya terseok-seok. Kini dia hanya memandangiku yang tak lebih baik darinya. Jubah merahku juga koyak, luka cakaran serigala masih membekas merah di pipi kiriku.

"Berhenti di sana atau kubunuh kau!" teriakku lantang.

"Apa itu akan membuatmu merasa lebih baik?"

Dia bisa bicara? Dia bahkan membalas ancamanku dengan tenang. Keheningan meliputi penyergapan dan keterkejutanku. Dia diam saja sambil menatapku dengan matanya yang sayu. Gelap memang sedikit membatasi penglihatanku, tapi dia jelas terlihat. Apalagi matanya yang bersinar ketika sekitarnya gelap. Gelegar petir menyambar batang pohon ek tempatku bersembunyi. Aku tak mengunci pergerakannya dan hanya mencari tempat berlindung dari ranting juga dahan besar yang menimpaku. Tapi nampaknya tubuhku telah kepayahan dan semuanya jadi gelap.

*

Nenek ditelan oleh seekor serigala besar nan buas. Serigala itu juga mengincar si tudung merah. Tapi saat cakarnya mendekati si tudung merah, dentum senapan sang pemburu segera merubuhkannya. Serigala besar itu tumbang dengan darah yang mengucur dari lubang peluru tepat antara dua matanya. Taringnya menyembul tak berdaya, dia terkapar di lantai dengan empat kaki berbulunya.

Lalu aku melihatnya. Dia tidak tampak seperti serigala dengan empat kaki berbulu dan bercakar tajam. Dia menatapku dengan tatapan seorang manusia kebingungan. Dia juga berjalan dengan dua kaki dan memiliki dua tangan sepertiku. Dia menggendongku melewati hujan tepat setelah petir menyambar. Dia tidak seperti seekor serigala, Ayah.

*

Red Riding Hood: the TruthWhere stories live. Discover now