"Kakak keluar dulu ya," Kak Firza tersenyum ke arahku, lalu tangannya terulur untuk membelai pipiku. Dengan sigap, aku menahan tangannya untuk kedua kalinya.

Aku menggeleng, dan memberi tatapan memohon agar jangan pergi.Tapi kak Firza malah tersenuyum sambil melepaskan tanganku.

"I have to go, aku ada meeting jam 8, dam sekarang aku harus mandi." Alesan! Aku tau kalau dia hanya berkilah, agar bisa meninggalkanku dan Davin.

Kak Firza berpapasan dengan Davin yang berjalan mendekat ke arahku.Kak Firza memberikan tepukan pada dada Davin, lalu ia keluar sambil menutup pintu kamarku.

Aku menghapus air mataku, saat Davin sudah berdiri satu meter dari ranjangku. Aku membuang pandanganku, dan mengubah posisi duduku, sekarang aku sedang menatap balkon kamarku.

"Sugar" Panggil Davin, yang sekarang sudah duduk di kasurku.

Aku diam, tidak menjawab Davin. Pandanganku masih saja tertuju pada balkon kamarku.

Sebuah tangan kekar melingkar di pinggangku, siapa lagi kalau bukan Davin. Dagunya ia tempelkan pada bahu kananku. Nyaman. Itu yang ku rasakan saat tangannya melingkar di pinggangku.Aku menutup mataku rapat-rapat.

"im sorry" bisik Davin di telinga kananku.

Aku diam.

"Percaya aku sugar, I know im hurting you so much, tapi ngeliat kamu nangis barusan itu membuat sisi hatiku terkoyak. Percaya apa engga, Aku bisa ngerasain sakit yang kamu rasain sugar."

Engga Davin! Kamu gatau rasanya sakitku sekarang. Percayalah ini lebih sakit daripada yang kamu bayangkan. Air mata sialan ini kembali meleleh, membasahi pipiku. Davin melepaskan tanannya dari pinggangku. Ada sisi hatiku yang memberontak ketika Davin melepaskan tangannya dari pinggangku. Aku tak rela pelukan ini akan berakhir begitu cepat.

Davin meraih pundakku, memutar badanku dengan paksa. Tapi aku hanya diam, dan bergerak mengikuti arah yang ia tujukan. Davin menangkup kedua pipiku, dengan kedua tangan besarnya. Menarik wajahku, dan mencium air mataku yang kini berada di sudut bibirku.

Cup! Cup!

mengecup dua tetes air mata di ujung kanan, dan kiri bibirku. Perlakuannya barusan malah membuat air mataku semakin deras mengalir. Aku menundukkan wajahku, sambil terisak.

"Jangan nangis princess," Davin mengangkat wajahku, dan mengapus air mataku dengan kedua ibu jarinya. "Aku janji, setelah pulang dari Jerman aku akan tebus setiap tetes air mata yang menetes pagi ini!"

Aku langsung memeluk Davin erat-erat. Menghirup dalam-dalan aroma tubuhnya, yang sebentar lagi takkan terhirup olehku untuk 5 hari kedepan. Tangan Davin mengusap punggungku, dan beberapa kali mengecup puncak kepalaku. Hening beberapa saat, yang terdengar hanya suara detak jantung Davin yang mengalun indah di telingaku. Hanya dengan mendengar degup jantungnya yang teratur seperti ini, membuatku lebih tenang sekarang.

"Dav..." Panggilku.

"Hmm?" Davin hanya bergumam, tangannya masih mengusap punggungku.

"Aku...."

"Kenapa sugar? Mau cium hm?"

Aku memukul lengan kanannya. "Kepedean," cibirku.

Davin tertawa kecil, "Terus kamu mau apa sayang?"

deg...deg...deg....

Entah kenapa saat Davin memanggilku 'sayang', jantung ini selalu bereaksi berlebihan, seperti berdebar lebih cepat seperti sekarang ini.

"Aku mau mandi,"

"Terus?" Tanya Davin, kenapa sih sekarang dia jadi bodoh sekali?

"Ya lepas dulu tanganmu Davin sayang..." Lagi-lagi Davin terkikik geli, menyebalkan.

My Beloved SugarWhere stories live. Discover now