Kedua

167 19 1
                                    

Aku bangun dari tidur saat raung alarm berbunyi untuk yang kedua kali.  Artinya ini pukul 7:30 pagi. Ini bukan alarm pertama yang ku setel, melainkan yang tiga. Kalau ditanya kenapa banyak sekali? Jawabannya karena aku nggak bisa dibangunkan dengan gampang. Kadang aku juga suka mematikan alarm tanpa sadar yang berakibat pada terlabatnya diriku masuk kerja dan kegiatan-kegiatan penting lainnya.

Setelan alarm ini aku buat sejak dua minggu lalu ketika aku ditinggal Mas Irsyad sendiri. Kalau ada laki-laki itu aku nggak perlu alarm-alarm segala. Selamat tinggal pokoknya dengan alat digital satu itu, Mas Irsyad tau cara membangunkanku.

Tadi aku sudah bangun untuk ibadah saat alarm pertama berbunyi pukul 5 pagi, tentu saja aku lanjut tidur lagi setelahnya. Kemudian alarm kedua yang ku setel pukul 6.30 berbunyi hanya aku matikan begitu saja secara sadar. Padahal aku sudah niat banget untuk nge-gym pagi ini setelah berjanji dengan diri sendiri kemarin malam. Tapi mau gimana lagi, ternyata bermalasan masih menduduki prioritas  utama akhir pekan.

Tirai kamar sudah tersibak. Cahaya mentari yang sehat sudah menembus kaca jendela. Unitku ada dibagian timur gedung apartemen, jadi setiap pagi cahaya matahari leluasa bertamu untuk memberikan asupan vitamin D pada budak korporat ini yang akrab pada engapnya ruangan AC.

Dikamar, Mas Irsyad sudah nggak ada. Tapi suara perkakas yang terbentur dan suara kompor yang dinyalakan, mengungkapkan eksistensinya yang tidak kutemukan disini.

Setelah menggelung rambut dengan penjepit, aku menguap beberapa kali diambang pintu. Sambil meregangkan tubuh langkahku dengan pasti mengarah ke dapur. Ternyata kosong. Hanya ada teflon berisi air yang nongkrong diatas api kompor.

Aku hendak berbalik dan mengekspansi ruangan lain  saat sesuatu mnyembul dari balik meja pantry yang membatasi dapur.

"Ya Allah!" aku kaget setengah mati sampai terjingkat kebelakang saat sesuatu berambut panjang itu menampakan diri.

"So-sorry aku ngagetin ya?"

Aku bertopang pada tembok, sambil mengatur nafas. Aku kira itu tadi setan Mak Kunti, tapi ternyata itu Kunti duniawi, Mbak Nindy.

"Aku kira tadi apaan, Mbak."

Ini masih terlalu pagi nggak sih untuk datang atau bertamu? Padahal semalam aku dengar sendiri kok saat Mas Irsyad telepon kalau Mas Irsyad sendiri yang akan jemput Nara.

"Ini tadi aku lagi periksa kabinet bawah, apa masih kosong kaya dulu waktu jamannya Irsyad masih kuliah. Ternyata masih kosong. Kamu nggak coba isi perkakas atau persedian rumah tangga gitu?"

Aku berhasil mengendalikan mataku untuk tidak berotasi. Jadi, unit ini sudah ditinggali Mas Irsyad sejak kuliah perguruan tinggi, artinya sejak pacaran dengan Mbak Nindy sebelum kemudian ditinggalkan sejak mereka menikah. Lalu sekarang kembali lagi karena ada aku. Aku memang enggak neko-neko, tinggal disini aja udah seneng.

"Iya Mbak, nanti aku coba pikirin," tandasku. Aku mengambil infus water yang kusimpan di kulkas. Menenggaknya beberapa kali. "Mas Irsyad sama Nara mana?"

"Oh, itu tadi mereka belanja bareng dibawah. Kamu mau teh camomile?"

Aku menggelang. Sebenarnya siapa yang tamu, siapa yang tuan rumah disini sih? Perempuan ini mungkin punya beribu pujian mengesankan antek-anteknya dari kerabat Mas irsyad. Tapi buatku dia hanya orang yang nggak tau cara menempatkan diri. Atau memang sengaja begitu didepanku. Jangan tanya dimana dia menemukan teh camomile dan gula, dia sudah pernah mengatakan secara tidak langsung kalau ia hapal tempat ini. Celana dalam Mas Irsyad saja pasti dia tau letaknya andai aku tanya.

"Mbak Nindy pagi begini udah disini, memang Pak Yogi ada yang ngurusin," tanyaku seakrab mungkin agar cibiran hatiku yang cela tidak terdengar sampai kupingnya.  Kebetulan Pak Yogi adalah salah satu klien kantorku, jadi aku nggak canggung untuk membahasnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 06, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JENAHARAWhere stories live. Discover now