Nol

118 22 1
                                    

Tubuh ringkih dalam pengaruh alkohol itu menepi dari kerumunan orang di lantai dansa setelah puas bergoyang. Langkah gontainya membawanya kembali ke salah satu stool didepan meja bar yang sempat ia tinggalkan tadi. Beberapa kali ia sempat menepis tangan-tangan yang mencoba menjangkau tubuhnya. Pria hidung belang yang mencoba mencari kesempatan.

Tidak ada yang wah dari pakaian gadis itu, justru terkesan formal. Meski sekarang sudah kusut dimana-mana. Lengan blus berwarna salem yang ia kenakan sudah tergulung sampai siku. Ujungnya juga sudah keluar dari pensil skirt yang ia pakai. Tak heran, setelah jam kerjanya usai, dia langsung mengarahkan taksi yang dia tumpangi ke Petrazone, klub malam penghilang penat kaum megapolitan alih-alih ke indekos tempatnya bernaung.

"Tolol!" umpatnya untuk diri sendiri setelah memukul kepalanya dua kali.

Ia menyangga kepalanya dengan tangan yang berbantalan siku diatas meja bar. Kesadarannya tinggal setengah tapi dia tetap menyesap tequilla. Persetan dengan uang, malam ini saja ia akan keluar uang sedikit lebih banyak— ah, bukan,  sangat banyak karena hampir tidak pernah ia menginjakan kaki di klub mewah ini. Pacarnya yang ia percaya habisan-habisan saja bisa membuat dia keluar uang demikian banyak, sampai menguras tabungan dan membuatnya menggadaikan sertifikat rumah, lalu kenapa untuk dirinya sendiri dia pelit?

"Tolol!" umpatnya lagi setelah bayangan senyum mengejek kekasih rampoknya melayang dikepala.

Semua gerak-gerik gadis itu terpantau oleh mata lelaki yang duduk di sudut kursi dalam gelap sejak tadi. Dia mengenal gadis itu sebagai kekasih salah seorang rekan kerjanya di kantor. Ini kali pertama dia melihat gadis itu berkunjung di klub ini. Penasaran itu tentu datang seketika melihat sosoknya.

"Cantik, boleh juga buat malam ini," kata Sam, temannya yang duduk disebelahnya. Tapi laki-laki tak banyak peduli, fokus menatap lagi gadis itu.

Kali ini ia melihat tiga orang lelaki datang pada sang gadis. Mencoba merangkul, mengelus, meraba, memegang bagian tubuhnya yang dapat terjangkau. Gadis itu masih bertahan untuk mengusir dan mendesak pergi ketiganya. Semua laki-laki disini tau, meski dengan balutan blus sederhana, ada lekuk tubuh yang indah sedang disembunyikan. Semua  mata insan lelaki dibuat penasaran. Menerka bentuknya, ujurannya, bahkan tanpa sadar bayangan kotor juga menghinggapi. Laki-laki dalam kegelapan yang sejak tadi menonton juga sadar akan itu. Dia normal.

Sampai akhirnya lelaki itu tidak kuat hanya melihat saja perempuan dilecehkan di matanya. Dia biasanya tidak peduli dengam wanita manapun, tapi hanya dirinya disini yang mengenal gadis itu. Mau tak mau dia harus membantu, nuraninya terketuk. Atau mungkin jiwa naif kelakiannya yang yang tak rela.

"Sorry bro. Her with me, please let it go, okay."

Lelaki itu datang dari punggung sang gadis dan merangkul bahunya sebagai tanda kepemilikan.

Dengan nada penekanan, dengan mudah ketiga hidung belang tidak tahu diri itu pergi, setelah melirik dari atas sampai bawah tampilan laki-laki yang mengusirnya. Ia merasa kalah segalanya, tampang, tampilan, tentu saja uang. Dengan sekali lihat saja semua orang tau, yang melekat ditubuh pria itu tidak murah.

Gadis itu mendongak, menatapnya dengan senyum cengiran. Setidaknya gadis itu juga mengenalinya, kan?

"Jane, righ?" tanyanya memastikan setelah ikut mendaratkan bokong di salah satu stool.

Gadis itu terkikik, benar-benar sudah mabuk. "Pak Irsyad?" Gadis itu terkejut sebentar lalu tersenyum. "You look always very  sensasional." Jane terkikik. "Malam ini pun sama."

Gadis yang dipanggil Jen itu kembali menyesap tequilla, namun tangan kokoh lain berhasil merebut gelasnya saat teguk pertama baru saja mengalir di tenggorokan.

JENAHARAKde žijí příběhy. Začni objevovat