Part 4 - Unjuk taring 2

147K 6.2K 1.2K
                                    

Fianer cattleya pov

“Giliran lo!” sentakku pada Rafan yang enak-enakan minum cola. Aku tahu dia akan menolak mentah-mentah, tapi aku langsung mendorongnya ke panggung.

“Nggak, nggak. Nggak mau!” Benar saja, dia langsung protes keras.

Untungnya pembawa acara melihat Rafan dan langsung tersenyum. “Ya, Mas Rafan, silakan naik.” Aku mengatupkan bibirku menahan senyum melihat muka Rafan sudah membeku melihat tamu undangan yang juga melihatnya semua. Akhirnya dia menyerah. Rasakan!

Dengan misuh-misuh dia naik ke atas panggung. Tapi aku nyengir melihatnya. Melihat tingkah konyol Rafan membuat aku lupa sejenak dengan apa yang aku katakan tadi. Air mataku memang sudah aku hapus habis. Tapi jauh di dalam hatiku, aku tahu luka itu terbuka lagi.

Selama ini aku selalu melindungi lukaku sekuat tenaga jangan sampai terbuka, jangan sampai terlihat. Tapi tadi aku justru membuka semuanya. Aku buka isi hatiku, aku biarkan semua orang melihat lukaku. Aku menghela nafas.

Bodoh ....

Enam tahun sejak kami berpisah, Aku selalu bersikap kuat, tak pernah menunjukkan air mata di depan orang lain. Enam tahun aku berdiri tegak walaupun sebenarnya ingin rebah. Dan sejauh ini walaupun aktingku tak terlalu bagus, tapi aku masih merasa aman. karena sisi lain di hidupku masih mau menerimaku tanpa harus menatapku sedih. Masih ada sisi dunia yang melihatku bahwa aku baik-baik saja. Dunia yang selalu membuat aku nyaman. Dunia terluar yang baru aku kenal. Duniaku yang baru, pergaulan baru, teman-teman baru, orang-orang baru, orang-orang yang bukan keluargaku.

Itu alasanku pindah ke apartemen. Aku sudah merasa tak aman lagi tinggal bersama keluargaku. Mereka akan melihat lukaku setiap hari dan aku tahu mereka melihatnya sudah sangat lama. Aku tak kuat melihat tatapan sedih mereka tiap hari, sedangkan di sini aku mati-matian berakting baik-baik saja.

Aku tak sanggup bersama mereka, terus berpura-pura sedangkan aku tahu aktingku gagal total. Mereka tahu sebaik aku. Mereka tahu lukaku sedalam apa. Dan mereka tahu aku tak ingin mereka membahasnya. Mereka memang diam. Dan aku berterima kasih untuk itu. Aku berterima kasih karena mereka membiarkan aku sendiri. Membiarkan aku menghadapi perasaaanku sendiri.

Dan ini terjadi hingga enam tahun ini ...

Membuka diri di depan semua orang membuatku tahu aku sudah bertindak bodoh. Kini, melihat Ayahpun aku tak berani. Aku takut melihat tatapan apapun dari Ayah sebagai reaksi kata-kataku tadi.

“Oke, tenang, saya di sini tidak akan membuat kalian menangis.” Rafan mulai bicara dan langsung disambut tawa oleh penonton. Aku menoleh dan menatap Rafan dengan senyum tipis. “Jujur saja, saya baru mendengar cerita Ayah yang melamar Bunda 15 menit dari perkenalan pertama mereka. Ayah dan bunda tidak pernah menceritakannya. Dan kalian bisa lihat dia?” Rafan menunjuk Diya. Saat aku menoleh ke Diya, aku tahu mukanya sudah tertekuk sebal karena Rafan membuatnya menjadi pusat perhatian sekarang. Saat aku menoleh ke Rafan lagi, aku yakin melihat cengiran puas yang bisa aku artikan 'dia tak peduli dengan reaksi Diya nanti'. “Namanya Rediya. Pacarku dari SMA. Kami bertemu waktu hari pertama MOS. Dan aku menembaknya selang 20 menit setelah kami bertemu.” ceritanya. Aku sedikit kaget mendengarnya, tapi hanya senyum tipis yang bisa aku berikan sebagai reaksinya.

Percayalah, Tidak ada yang bisa menebak sikap Rafan. Dia bisa melakuan apapun yang diluar dugaan. Aku sudah cukup dibuat terkejut 20 tahun terakhir ini dan memikirkan itu aku langsung maklum. Kegilaan Rafan tadi tidak ada apa-apanya di banding dengan apa yang biasa dia lakukan selama ini.

“Bukan membela ayah, tapi aku mengalaminya sendiri. Saat kita melihat seseorang yang kita yakini kita inginkan, maka waktu 20 menit masih terlalu lama untuk menjadikannya milik kita. Percayalah.”

She (Fianer) Season 2Donde viven las historias. Descúbrelo ahora