Season 2 | Bab 10

303 51 13
                                    

Enjoy
.
.
.

Cukup!

Oke. Peter lelah. Tadinya dia mau menenangkan diri menikmati angin laut di balkon aula. Tapi apa yang dia lihat membuat batinnya meraung-raung lelah.

Padahal baru tadi pagi dirinya melihat keakraban adik lelaki dengan sang pujaan hati.

Harusnya dia senang. Bukankah dengan begitu Edmund mungkin akan lebih mudah memberikannya restu agar ia bisa menikah dengan Eva?

Tapi yang dia lihat saat ini adalah kejanggalan besar. Adiknya berperilaku aneh karena habis disuap Eva.

Bisa-bisanya adik sedingin es utara itu berjongkok menutup wajah malu-malu seperti itu? Mana sikap dingin nan kakunya?

Entahlah. Mungkin lima hari menghabiskan waktu dengan Eva yang sehangat sinar mentari mampu melelehkan hatinya?

Jangan dong! Akan sulit bagi Peter untuk menjadi rival cinta adiknya sendiri.

Ia menghela napas kesal. Lantas berbalik kembali ke kamar.

Terima kasih pada dirinya karena tak biasa membawa lentera saat malam. Dengan begitu dia bisa datang dan pergi diam-diam tanpa ketahuan.

Apa Peter boleh jujur? Dia cemburu. Sangat. Tapi tidak mungkin dia mengatakannya langsung pada dua orang tadi

Hal itu hanya akan membuatnya jadi terlihat aneh. Maksudnya dia bahkan tidak pernah menyatakan rasa suka yang sudah dipendam selama enam tahun terakhir.

Seperti biasa, bantal dan kasurlah yang senantiasa menemani kala lara menghampiri.

Iya, seperti kalian dan juga aku.

Rebahan adalah nomor satu jika raga dan batin sedang lelah. Kecuali jika ada makanan favorit. Kesampingkan hal itu, ini sudah larut malam.

Tidak ada jatah makan bagi seorang raja karena kokinya telah tertidur lelap. Walau dia bisa memasak, tapi lupakan saja. Tubuh dan hatinya sedang lelah.

Karena itu dia berbaring, berguling-guling di ranjang. Niatnya ingin tidur agar dirinya bisa bermesraan ria dengan Eva di alam mimpi. Sayangnya, akibat dua kejadian menyakitkan hati tak bisa membuatnya tidur.

Lantas ia mendudukkan diri. Kembali berjalan keluar dari kamar. Berharap angin malam mampu membuatnya mengantuk.

Cukup lama kakinya melangkah mengelilingi lorong-lorong Cair Paravel. Rasa kantuk tak kunjung menghampiri. Membuatnya mengacak surai kesal.

Baru kali ini dia kepikiran sampai seperti ini. Netranya menatap pada langit bertabur bintang. walau tak membaca waktu malam, dia bisa yakin sekarang sudah lewat dari tengah malam.

Ia melangkahkan diri menuju dapur. Mungkin saja ada bunga chamomile yang bisa diseduh dan dijadikan teh penenang.

Tapi kakinya berhenti saat sadar kalau dia tak tahu cara menyeduh teh.

Benar juga. Dari sejak lahir dan tumbuh besar di London, hingga tinggal disini selama 6 tahun, dia tidak pernah sekalipun belajar cara menyeduh teh.

Alasannya simpel. Karena dia lelaki, dan menyeduh teh adalah urusan perempuan.

Karena itu dia hanya belajar tentang pelajaran pedang dan akademis lainnya. Tak ia sangka kalau kemampuan menyeduh teh dibutuhkan saat begini.

Lantas menghela napas kasar dan kembali berjalan gontai.

"Peter?"

Tubuhnya menegang kala mendengar suara yang sudah dihapal itu. Netranya menatap surai merah dengan selendang hijau diseberang yang tengah melangkah dari arah berbeda.

High Witch of Narnia [END]Where stories live. Discover now