"Lah, A Mbin emang lemah!" Tanpa beban Donghyuk meledek Hanbin yang memang kurang suka pedas.

"Mulut lo, noh! Lebih pedes dari sambel geprek!" balas Hanbin yang sudah bercucuran keringat.

Makan malam kali ini disponsori oleh menu baru di kafe Mas Jinan. Rice Box dengan berbagai topping dan sambal pilihan. Sayangnya rice box tersebut berukuran kecil untuk kerakusan para adiknya. Haruto saja sudah menghabiskan lebih dari 5 box.

Tenang, si bungsu itu tidak sedang cacingan.

"Mas, ini menu baru lo launching barengan sama kelahiran anak kedua?" tanya Dahyun. "Sambel jadi komponen utama?"

"Udah pasti ini anak Mas Jinan mulutnya pedes," sahut Haruto yang sudah membayangkan beban menjadi pengasuh dadakan di masa depan. "A Mbin sama Teh Hayi kalo mau produksi nanti-nati aja, ya."

Jisoo ikut mengangguk. "Kasih Uto waktu buat napas dulu," kata Jisoo. "Kasian dia baru selesai jadi korban benih Mas Jinan masa lanjut ke Hanbin."

"Lah, pas gue kagak ada jeda." Hanbin tak mau kalah. Ia mengeluarkan unek-uneknya. "Mba Sana, lanjut Teh Jiwoon, terus Teh Jisoo, udah itu Jeongyeon."

"Mana nggak ada yang gabung jadi anggota Hanbin Empire." Jungkook menyahut dengan nada meledek kakak dari kekasihnya. "Semua pada belok ke Raden Kian Ruto."

Dengan angkuh Haruto membusungkan dadanya. "Nggak sia-sia aku ditransfer ke rumah Bang Ogi subuh-subuh."

💃

"Hayi, nih. Kapan isi?" Salah satu tetangga--di komplek Sana tinggal--yang datang menjenguk bertanya kepada. "Udah berapa bulan nikah?"

Hayi hanya tersenyum. Terlalu malas juga untuk menjawab. Jelmaan seperti tetangga Sana sudah sering ia temui saat berada di rumah neneknya Hanbin.

"Anak saya waktu itu abis nikah nggak lama isi, loh."

"Bukan dp duluan, kan?" balas Ahra pelan. Hanya Haruto yang mendengar perkataannya dan remaja itu sudah mengangguk, menyetujui ucapan Ahra.

"Coba sering-sering makan kurma muda, Yi. Atau sayur toge."

Hayi masih tetap tersenyum. Sebenarnya ia sudah tak nyaman, ingin segera pergi dari situasi seperti ini.

"Mau pacaran dulu ya, Yi?" Bunda langsung turun tangan. Mertua idaman ini dapat membaca gerak-gerik menantunya. "Puas-puasin dulu. Nanti kalo punya anak harus pinter bagi-bagi waktu."

"Iiih, padahal kalo punya anak seru, loh."

"Dia sedang melakukan sebuah jebakan agar tidak pusing sendiri," sahut Jisoo yang ikut nyinyir bersama Ahra dan Haruto. "Punya anak seru, sisanya stres mikir biaya hidup."

Ahra mengangguk setuju. "Apalagi kalo anaknya macem Haruto."

"Aku lagi yang kenaaa," sewot Haruto dan disusul tawa Jisoo dan Ahra.

"Atau coba periksa ke dokter." Tetangga Sana benar-benar toxic. "Biar kalo ada yang salah bisa diobati."

"Sebelum nikah juga udah diperiksa, Bu." Hayi mulai menjawab. Ia tak lagi tersenyum. "Alhamdulillah sehat semua."

"Panggil Hanbin, To," titah Jisoo. "Siaga dua, singanya mau keluar, nih."

Haruto tahu ini bukan candaan. Ia langsung beranjak dari ruang keluarga, bergegas menuju teras rumah dimana Hanbin dan yang lain sedang mengobrol.

"Emang belum rezeki aja, Bu." Bunda kembali menengahi. "Kalau sudah rezeki pasti nanti dikasih."

"Atau coba adopsi anak, buat mancing gitu."

"Fix, tetangga Mba Sana mancing keributan," bisik Ahra yang masih tetap menjadi komentator.

"Nikahnya juga belum la--"

"Yang, udah malem, nih. Pulang, yuk." Hanbin datang memotong perkataan sang istri. Ia tiba di waktu yang tepat. "Kamu juga belum istirahat, tadi dari bandara langsung ke sini."

"Iya, Yi. Gue juga mau balik," sahut Jisoo. "Jemput Jihan sama Dihan dulu di rumah eyangnya."

"Jisoo emang nggak khawatir anak-anaknya dititipin ke orang lain?"

"Buseeet," gumam Ahra. "Masih ada yang jadi masalah rupanya."

Sebuah senyuman Jisoo beri kepada wanita seusia Bunda. "Bukan orang lain, Bu. Anak-anak lagi main sama orang tua saya, kakek dan neneknya," balas Jisoo masih berusaha berbicara sopan dan setelah itu beranjak mencari suaminya.

"Jangan dipikirin, Teh. Itu ibu-ibu aja nanyanya nggak pake mikir." Ahra menepuk-nepuk pundak Hayi yang mendekat ke sofa di mana Ahra berada.

.
.
.

Suasana mobil Haruto yang Hanbin begal benar-benar sepi. Hayi hanya diam dan menatap kosong pada jendela di sampingnya.

Hanbin sesekali melirik ke arah sang istri. Ia tak begitu mengetahui masalah yang terjadi di ruang keluarga tadi. Haruto hanya menyuruhnya membawa Hayi keluar dari rumah itu.

"Tetangganya Mba Sana ngomong apa?" tanya Hanbin. Ia membuka topik pembicaraan. "Ada yang buat kamu kepikiran?"

Hayi masih tetap diam. Tatapan matanya kosong. Pertanyaan Hanbin bahkan tidak terdengar oleh telinganya.

"Yang?" Tangan Hanbin menggenggam jemari Hayi. "Tetangga Mba Sana emang nanya apa?"

Belum ada jawaban dari Hayi, tetapi matanya sudah membalas tatapan Hanbin. "Bin, terakhir kita cek kesehatan sebelum nikah. Nggak ada masalah kan?"

Tangan kiri Hanbin semakin erat menggenggam jemari Hayi. "Emang belum rezeki kita. Kalo kamu terus-terusan mikirin jadinya malah nggak sehat loh." Hanbin sudah tahu arah pembicaraan ini.

"Aku juga nggak mau mikirin, tapi setiap minggu ada aja yang nanya kayak gitu," keluh Hayi yang mengeluarkan unek-uneknya. "Mereka nanyanya nggak mikir, sok-sokan ngeluarin saran, terus buat spekulasi nggak jelas."

Ibu jari Hanbin mengelus punggung tangan istrinya. Ia membiarkan Hayi meluapkan emosi. Dalam posisi seperti ini, menjadi pendengar adalah tugas utama Hanbin.

"Seakan mereka yang paling tau sama hidup aku. Seakan aku nggak tau apa-apa tentang diri sendiri." Mata Hayi sudah berkaca-kaca. Ia tak lagi bisa menahan tangisnya. "Terlalu sering nerima kayak gitu buat aku kepikiran tau."

Tbc

[3] KIMcheees 3x✓Where stories live. Discover now