"Aku tau, tapi," suara gadis itu kembali tertahan. Dengan upaya menetralkan nafas, ia mengedarkan pandangannya, pada ruang tamu yang sepi tanpa eksistensi satu orang pun selain dirinya. Ternyata itu membuat dadanya semakin sesak.

Membayangkan di rumah ini tak akan lagi terdengar teriakan yang memanggil namanya dengan nada menyebalkan, seseorang yang mengajak memasak bersama, atau seseorang yang mengajak ribut setiap harinya.

Rumah ini benar-benar mati.

"Ini kalian. Aku sudah menganggap Bibi, Paman, Kei dan Fukube-kun sebagai keluargaku sendiri. Apa aku bisa melupakan seseorang seperti kalian dengan mudah?" (Y/n) mendongak, menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. Ia terisak. "Bibi tau kan, tak pernah satu haripun terlewati tanpa aku menemui Fukube-kun. Lalu sekarang, aku harus apa?"

"Aku sendirian ..., setelah semuanya pergi, kenapa kalian harus meninggalkan aku juga? Padahal ketika kematian Ibu, kalian berjanji untuk terus menemani dan memberiku semangat untuk tetap hidup."

(Y/n) bisa mendengar helaan nafas yang masuk ke telinganya. Semakin lama suara Hina semakin tersendat, seakan tertahan oleh sesuatu yang memaksa keluar. "(Y/n)-chan kau tau?"

"Sebenarnya Bibi ingin mengajakmu pindah ke Tokyo bersama kami, Bibi benar-benar khawatir harus meninggalkanmu sendirian di sana." Hina terdengar terisak. (Y/n) tidak tau apa yang terjadi di sana, tetapi ia bisa mendengar nada suaranya yang begitu sedih.

"Tapi Fukube-kun melarang Bibi. Dia bilang, melakukan segala cara pun kau tidak akan mau ikut dengan kami, Fukube tau seberapa nyamannya (Y/n)-chan tinggal di sana."

(Y/n) termenung sejenak. Kedua jarinya menekan kening, menahan supaya kepalanya tidak jatuh dengan bertumpu pada pinggiran sofa. "Begitu," gumamnya, ia terkekeh pahit. "Fukube-kun itu memang selalu mengerti aku, ya."

"Aku memang tidak mungkin meninggalkan rumah peninggalan Kakek Nenek, dan lagi aku harus mengunjungi makam Ibu setiap minggu, aku tidak bisa berada jauh darinya."

Dibalik jarak yang membentang luas, Hina tengah tersenyum tulus. Kasih sayangnya kepada (Y/n) benar-benar besar, ia sudah menganggap (Y/n) sebagai anaknya sendiri, dan keputusan ini sebenarnya cukup berat bagi Hina sendiri.

Tapi di sisi lain, Hina tau situasi ini bisa membentuk kepribadian (Y/n) supaya lebih dewasa, Hina yakin (Y/n) kuat untuk menghadapinya. Setiap saat, ia selalu mengharapkan yang terbaik bagi gadis itu.

"(Y/n)-chan, dengarkan Bibi, kau tidak boleh berlarut dalam kesedihan, oke? Bibi harap kau menemukan kebahagiaanmu sendiri di sana, kehidupan (Y/n)-chan akan terus berjalan, bukan? Kau anak yang baik, Akita di atas sana pasti bangga padamu, Bibi akan selalu mendukungmu dari sini, ya."

Mendengar perkataan Hina, (Y/n) hanya mengangguk berkali-kali sembari menghapus jejak air mata di pipinya. Meski masih terasa sakit, hatinya sedikit menghangat. (Y/n) benar-benar bersyukur bisa bertemu dengan seseorang seperti Hina, itu mengingatkannya pada sang ibu.

"Meskipun jarak kita jauh, Bibi akan selalu berada di samping (Y/n)-chan. Jika butuh sesuatu, jangan ragu untuk menelpon Bibi, ya?"

.
.
.
.

Nittttt nitttt nitttt

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi."

"Bohong."

Ponsel yang semula menempel di telinga mulai turun ke bawah, seiring dengan air mata yang mengalir dengan lambat. Gadis itu menekuk kedua lututnya, lantas menyembunyikan wajah diantara keduanya, sembari memeluk kedua kaki erat.

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon