Prolog

8 0 0
                                    

Perkiraan cuaca hari ini benar, hujan besar dengan petir menyambar membuat Sunha merasa beruntung karena ia batal pergi ke luar kota. Di rumah luas nan besar ini, tidak ada sosok ayah yang terlihat di ruang tengah. Pria yang selalu serius dengan kacamata dan janggut terawatnya itu selalu mengunci diri di dalam ruang kerja, mengerjakan sesuatu yang entah apa pada buku-buku di mejanya.

Sunha berniat pergi menghampiri suaminya, akan tetapi urung ketika mendengar petir menyambar hingga kilatnya menerangi jajaran kamar selama beberapa detik. Lampu-lampu mendadak mati, dan jeritan anak-anak mulai terdengar.

Anak kecil pertama yang terlihat menghampiri Sunha adalah Mingi. Pangeran kecil itu berlari dengan langkah kakinya yang cepat dan banyak. Terisak memeluk lutut sang ibu yang berinisiatif berjongkok untuk membalasnya. Tubuh Mingi bergetar ketakutan, letak kamarnya memang berada di paling ujung dan jendela besar disana pasti langsung menyuguhinya untaian listrik di langit.

"Tidak apa-apa, ibu disini."

Mingi enggan melepaskan pelukannya, ia menunduk sembari memaksa matanya agar tak pernah lagi terbuka untuk melihat hal menyeramkan seperti itu.

"Tidak mau," katanya.

"Mingi sayang, lihat ibu."

Perlahan anak laki-laki itu menuruti apa kata ibunya, percaya bahwa ibunya tidak akan pernah mengatakan kebohongan.

"Lihat, sekarang sudah tidak apa-apa, kan?"

Mingi mengangguk mengeratkan bibirnya.

"Sekarang ayo pergi ke kamar Dalha, berani ya?"

"Berani."

Mereka bergandengan tangan menuju pintu tinggi dan besar.

"Dalha?"

Dilihatnya anak perempuan satu-satunya itu sedang bersembunyi dibalik selimut berbulu. Dalha memastikan agar tidak ada celah, dia sudah menutup semuanya agar cahaya terang itu tidak bisa masuk kedalam selimut. Tiba-tiba ia merasakan punggungnya di usap perlahan, diiringi panggilan lembut, membuat Dalha menyingkap selimut itu dan beralih memeluk sang ibu.

Syukurlah, ibu dengan kak Mingi datang. Sebab ia sangat ketakutan hingga tak berani melompat dari kasur.

Saat Dalha selesai memeluk ibunya, dia memberanikan diri untuk bertanya, "Kenapa ibu ada disini?" Sebab ia jarang sekali berada di rumah.

Sunha menjawab, bahwa ia sedang libur dan memilih untuk tetap tinggal di rumah menemani mereka.

Dalha dan Mingi terpaut tiga tahun usianya. Mingi delapan tahun dan Dalha lima tahun. Sejak masih berusia satu tahun, mereka sudah dibiasakan tanpa keberadaan ibu dan ayah. Sunha merasa sedikit menyesal karena tidak bisa terlalu sering memeluk dan menemani mereka di saat-saat tertentu.

"Seonghwa bagaimana?"

Sunha menoleh ke sebelah kiri tempat kamar Seonghwa berada. Anak sulungnya itu tidak berteriak ataupun melakukan reaksi yang menandakan bahwa ia terganggu dengan cuaca hari ini.

"Kak Seonghwa berani, bu. Kakak tidak pernah takut dengan petir," sahut Mingi. Rambutnya yang berwarna perak berantakan dirapikan oleh Sunha.

"Ibu mau lihat kakak dulu sebentar, Mingi mau kembali ke kamar?"

Mingi beralih menatap Dalha, ia turut meraup selimut berbulu disana. "Boleh tidak kalau aku tidur bersama Dalha?" Dalha mengangguk.

"Tentu saja," jawab Sunha.

Sunha tersenyum, mencium puncak kepala anak-anaknya.

Sunha beralih ke kamar anak sulungnya, Seonghwa. Yang sejak kecil memang berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Namun Sunha tidak pernah membeda-bedakan atau memisahkan kasih sayang ketiga anaknya.

Seonghwa hanya berbeda. Dalam artian, dia spesial.

"Seonghwa?"

Pintu kamarnya tidak terkunci, Sunha mendorong daun pintu itu hingga terbuka seluruhnya. Seonghwa berdiri menatap jendela besar di kamarnya, membelakangi Sunha. Tirai besar itu ia sibak dengan sempurna. Tak ada rasa khawatir tentang ketakutan bahwa sewaktu-waktu petir bisa memecahkan kacanya lalu melukai dirinya. Ia menatap langit yang masih mengguyur bumi dengan derasnya hujan.

"Seonghwa, jangan terlalu dekat dengan jendelanya."

Sunha menghampiri anak laki-lakinya yang kini semakin bertambah tinggi. Tidak terasa, putranya itu kini sudah sejajar dengan bahunya.

"Ada apa, bu?" ucapnya tanpa mengalihkan pandangan dari lukisan air di langit.

"Ibu hanya ingin melihatmu, hwa," ucapnya. Hening menjajah sepersekian detik. "apa kamu tidak merasa takut dengan petir-petir itu?"

Seonghwa menggeleng. Ia tersenyum manis karena justru senang hari ini hujan besar dengan cahaya kilat menghiasi kamarnya. Senyum Seonghwa saat itu benar-benar cantik. Matanya yang memantulkan cahaya dan wajahnya yang—meski dia adalah laki-laki—kecantikan itu tidak mungkin dimiliki oleh seorang anak laki-laki lainnya.

Sunha ikut tersenyum. "Seonghwa memang pemberani. Ibu akan mengambil beberapa lilin untuk kamar kalian.

"Bu, apakah..."

Sunha menghentikan langkahnya, kembali menoleh.

"Kenapa, sayang?"

Seonghwa menggeleng. "Aku tidak mengatakan apapun."

Sunha menghela nafasnya pelan.

"Baiklah."

Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Oct 23, 2022 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

Seonghwa; Seventeen.Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt