3

13 4 0
                                    

Di umur enam belas aku mulai bekerja, awalnya hanya serabutan macam bantu bersih-bersih di rumah tetangga, borongan kupas bawang, hingga akhirnya ditawari pekerjaan di bidang memproduksi racun tikus. UMKM-lah ceritanya.

Pemiliknya adalah dua saudara berdarah Tionghoa, yang perempuan berumur enampuluh dan belum menikah sedangkan yang laki-laki adalah adiknya aku tak tahu umurnya dan juga belum menikah.

Pekerjaanku adalah membantu produksi racun tikus, hanya aku sendiri karyawannya sedangkan di bagian depan Ruko dialihfungsikan menjadi toko reparasi komputer yang dikelola si adik laki-laki.

Sehari aku digaji tigapuluhribu, lebih besar dari gajiku selama ini. Kakak-adik itu sering membelikan es campur, yang perempuan beberapa kali minta dipijit kakinya lalu memberiku upah tambahan dua puluh ribu.

Tapi pekerjaan ini hanya bertahan dua minggu, setelahnya aku dirumahkan. Aku cemas karena memikirkan kemungkinan kalau aku dipecat karena kurang kompeten, selain itu kuakui aku juga kurang disiplin dan beberapa kali melakukan kesalahan. Tapi ruko itu memang benar-benar tutup untuk jangka waktu yang lama, dan setelah dibuka kembali, itu sudah bukan lagi toko reparasi komputer.

Setelah itu ada banyak pekerjaan yang kulakukan, dan sejak saat itu juga karena terinspirasi drama Korea, aku berusaha bekerja sebaik dan seloyal mungkin pada bosku. Sampai akhirnya aku mendapatkan lagi tawaran bekerja, kali ini di kota, di toko aksesoris sepeda motor dan pemiliknya sudah tentu orang Cina.

Bosku di sini punya standar khusus untuk menerima seorang pekerja, ijasah dan KTP sudah pasti adalah dokumen penting untuk mendapatkan pekerjaan. Tapi kedua benda itu aku tak punya dan belum punya. Jadi bisa dibilang aku diterima bekerja hanya bermodalkan belas kasihan.

Untuk seorang yang dibelaskasihani, ada beban berat yang seenak jidat diletakkan dipundakku. Aku seakan-akan diharuskan lebih patuh dan loyal dibandingkan karyawan lain, karena akulah yang membutuhkan pekerjaan ini sedangkan Bosku tak butuh aku sama sekali. Ada semacam ucapan tak tercetus bahwa, aku bisa saja pilih orang lain, tapi aku pilih kamu karena kasihan.

Atau semacam itu.

Sebulanan awal kerjaku di setiap pagi adalah membuang tai, oh hidupku memang dipenuhi dan dikelilingi tai. Macam kata Mark Manson "Akan ada banyak tahi yang akan dilemparkan padamu. Maka bersiaplah!"

Ada orang gila yang hobi sekali berak di depan pintu gudang. Tai lembek itu harus dilumuri pasir dulu, baru setelahnya disekop dan dibuang ke sungai di belakang gudang. Tapi selain tai aku juga pernah membuang bangkai tikus di sungai itu. Saat menyekop tai, usahakan untuk menahan napas, karena rasanya sial sekali kalau aromanya terhirup. Membagongkan.

Ada dua bajingan di tempat kerjaku ini, walau sebenarnya hampir semua orang adalah bajingan bagiku. Tapi ada batas-batas tertentu yang kadar kebajingannya masih bisa dimaklumi. Bajingan pertama adalah laki-laki yang ngaku-ngaku manajer padahal cuma kuli, haha!

Dia adalah pelopor aku benci pada suku Jawa. Bukan rasis, dia sendiri mengagung-agungkan sukunya lalu merendahkan sukuku. Perilakunya gila dan tak bermoral, mulutnya apalagi, lebih-lebih kotor dan bau dari tai.

Di toko aksesoris sepeda motor ini, aku mendapatkan pengalaman "ditembak", dianiaya, dikhianati, dilecehkan baik verbal maupun fisik, dan juga... Jatuh cinta.

Hanya dua tahun aku kerja di sana, tapi pengalaman yang aku dapatkan lebih dari cukup untuk mendewasakanku secara paksa. Aku mulai dari urutan awalnya walau sebenarnya konsep waktunya kacau balau,  harap maklum karena tulisan ini hanyalah sebuah memoar hidupku.

Aku ditembak oleh seorang pemuda Kristiani yang baru tiga hari bekerja, kutolak secara malu-malu dan setelahnya dia jadi membenci dan memusuhiku habis-habisan. Dia hina fisikku, hina sukuku, hina agamaku. Setelah pengalaman itu, aku selalu mengingat untuk tidak menolak ajakan pacaran secara langsung, itu yang menyakiti hatinya.

Pengalaman itu mengajarkanku kalau lelaki tak pasti menyukaimu hanya karena dia bersikap manis dan mengajakmu pacaran. Terkadang ada maksud tersembunyi dibaliknya, dan mau kau menolak atau menerimanya, selalu ada kemungkinan hal itu akan merugikanmu.

Karena dia juga tak mungkin baca wattad, jadi kusebut namanya aslinya. Woi, Panjes, woiii! WOI!!! Aku ingat semua kata-kata kasarmu, tatapan menghinamu, mukamu! Aku ingat! Mampus napa kau!

Dianiaya, yang ini sebenarnya kurang tepat juga, tapi aku tak tahu padanan kata yang tepat untuk orang-orang yang memukul atau mencubit dengan alasan gemas. Kadang aku sampai menangis saking sakitnya, cubitan itu tentu saja berbekas, tapi aku tidak bisa melampiaskan amarah karena mereka hanya ... gemas.

Lagipula di masa itu aku tidak memiliki keberanian untuk marah. Aku bukan seorang pemaaf, kalian udah tahu itu. Aku hanya takut untuk marah.

Tapi aku yang sekarang sudah biasa marah-marah. Tapi entah bagaimana, melampiaskan amarah itu hasilnya nggak sesuai ekspektasiku. Orang-orang kebanyakan malah senang lihat aku ngamuk. Adik-adikku yang paling hobi memancing amarahku demi hiburan mereka. Kutanya Yogi (teman kerja) kenapa dia selalu ketawa kalau aku marah, dia bilang, "Kakak marahnya lucu. Kayak ngelawak."

Kak Sekar juga bilang kalau wajah dan ekspresi marahku nggak ada seram-seramnya sama sekali. Malah bikin orang pengen nampol. Jahat kamu, Kak!

Lanjut lagi soal pengalaman dua tahun bekerja yang menyakitkan. Aku juga pernah dikhianati, aku akhirnya memiliki seorang yang nyaman untuk diajak bicara. Dia laki-laki, non muslim juga, dan rada kemayu.

Aku mau sebut nama aslinya, walau kami tak panggil dia pakai nama itu. Kepler. Aku ngakak waktu lihat nama aslinya di KTP. Dia laki-laki pertama yang akrab denganku, mulutnya penuh dengan gosip, dan selalu ngaku mendapat datang bulan dari burit.

Itu mah berak!

Tapi aku tak bilang begitu, aku hanya senyum-senyum saja.

Kami sama-sama tak nyaman bekerja di sini, ada banyak faktor dan kurasa memang rata-rata pekerja dalam bidang apapun memiliki ketidaknyamanan tertentu dalam skala yang berbeda-beda.

Tapi waktu itu aku terlalu bodoh untuk mengerti hal itu, dan memang ketidaknyamanan yang kurasakan sudah diambang batas sanggupku.

Lalu semua curhat serta diskusi kami berakhir di tanggal satu januari 2014. Aku dan dia bolos kerja, kami mengirimkan SMS yang mengatakan kalau kami berhenti melalui handphone masing-masing.

Aku yang tidak mendapatkan pendidikan reguler, juga tidak bergaul secara umum, sama sekali tidak sadar kalau tindakan itu sangat tidak sopan dan tidak profesional. Aku hanya mengikutinya. Tapi aku mendapat SMS balasan yang terlalu menyakitkan hati perihal utang budi dan seterusnya.

Bukankah dengan semua jasaku selama ini, kata yang tepat adalah mutualisme?

Tapi kenapa hanya aku yang berutang budi di sini?

Apa Bosku itu menjadi sangat baik hanya karena dia memberi gaji pada gadis tak berijasah, miskin, yang memiliki kekurangan?

Sedangkan aku, tenagaku, keringatku, semuanya tak akan pernah sebanding dengan kemurahan hatinya itu?

Tapi apa boleh buat, dunia memang sebuah kakus dengan orang-orangnya yang macam tai.

(.)

EromantikaWhere stories live. Discover now