"Wen, ini udah malam, wajar aku kaget. Apalagi aku tahu jelas dia siapa di hidup kamu sebelumnya,"

"Iya tapi dia kan bukan siapa-siapa sekarang. Please, aku bahkan tadi nggak bisa berdiri tegak, Sakti. Wisnu juga masih sakit perutnya. Aku nggak bisa bohong kalau kehadiran dia tadi membantu banget buat aku karena dia udah tahu jelas harus gimana kalau aku kambuh,"

"Poinku bukan itu. Kasih tahu aku, Wen. Seenggaknya kamu bisa bilang kamu sama siapa selama perjalanan tadi kan?"

Wendi memutar bola matanya dan bereaksi malas. Ia memijit keningnya entah untuk keberapa kalinya sambil menghela napas, "Keadaanku tadi boro-boro bisa pegang hp .... Lagipula di situasi tadi menurut kamu emangnya aku bisa lapor 'Sakti, ada mantan crush aku sekarang,' ketika aku bahkan mau duduk tegak aja kepalaku sakit banget. Kamu juga coba pikirin dari sisi aku gimana,"

"Berarti kalau aku nggak kesini tadi, kamu mungkin nggak akan cerita sama sekali ya kalau dia nganterin kamu kesini,"

"Jangan ngarang hal-hal yang nggak terjadi deh. Mending sekarang kita ke depan, nganter teh ini biar Seno juga bisa cepet pulang. Aku masih agak pusing,"

"Wen ...."

"Sakti, please not today. Okay?"

Wendi dengan sigap mengangkat nampan yang diatasnya sudah ada beberapa cangkir berisi teh dan cemilan, meninggalkan Sakti yang tidak punya pilihan lain selain mengikuti langkah Wendi keluar dapur. Dengan cepat Wendi menghampiri sofa tempat Ibunya dan Seno berbincang sejak tadi. Wendi bisa tahu jelas kalau aura wajah keduanya begitu cerah sekarang, bertolak belakang dengan aura wajah dirinya dan Sakti yang baru datang.

Seno memeriksa isi cangkir dan dengan cepat menegur Wendi, "Wen, masih sakit gitu padahal kasih aja gue air galon,"

"Maunya juga air keran aja sih tadi. Tapi gimana," sahut Wendi asal yang kemudian dibalas sikutan pelan Ibunya. Wendi hanya mendumel dalam hati lantas memilih duduk di samping Sakti yang duduk bersebrangan dengan Seno dan Ibu Wendi. Sakti hanya diam sambil meneguk tehnya, membuat Wendi hanya bisa ikut terdiam melihat orang-orang didepannya menikmati teh sajiannya. Seno dengan cepat menghabiskan tehnya sambil tersenyum kearahnya.

"Gue pulang ya, Wen. Seno langsung pulang ya, Bu. Besok nggak ada Wisnu di kantor pasti sibuk nih," ujar Seno sambil mengarahkan pandangannya bergantian antara Wendi dan Ibunya.

"Iya, terima kasih banyak Seno. Salam buat Mami sama Teh Sarah," sahut Ibunya sambil kini mengalihkan wajahnya ke Wendi, "Wen, pesenin taksi deh, udah malem banget ini,"

"Udah pesen kok, Bu. Ini udah di depan harusnya," jawab Seno sambil kepalanya celingukan ke arah luar. Benar saja sebuah taksi dengan cat biru mencolok sudah sampai di depan rumah.

Sakti pun ikut berdiri sambil berpamitan. Wanita itu tersenyum sambil berulang kali menampakkan rasa terima kasihnya, "Sakti, nanti ngobrol lagi ya. Terima kasih banget sudah jemput Tante,"

"Anytime Tante, kabari ya kalau ada apa-apa. Wendi, aku pulang dulu,"

Wendi tampak bergeming dan hanya mengangguk perlahan ke arah pria itu. Keempat manusia itu kemudian berjalan beriringan keluar dari rumah, mengantar kedua pria itu yang mulai terpisah begitu keluar pagar. Sakti dengan cepat masuk ke mobilnya sementara Seno menaiki taksinya sambil terus melambaikan tangan hingga taksinya benar-benar menghilang di tikungan.

Hanya tersisa Wendi dan Ibunya, dengan pikiran berkecamuk dan perasaan yang saling bertolak belakang satu sama lain. Ibunya tampak bahagia, senyumnya begitu lebar dibanding Wendi yang pikirannya sedang kemelut. Ibunya dengan wajah cerah ceria kemudian merangkul anak gadisnya erat-erat sambil tersenyum, "It's good to be sick sometimes,"

Into The Light (Seungwoo X Wendy) | COMPLETEDWhere stories live. Discover now