15 | Be My Truly Friend

263 13 0
                                    

"Hei, Del, ini aku. Aku nggak bakal nyakitin kamu, inget? Sekarang masuk dulu."

Sebisa mungkin Egi tidak melakukan sesuatu yang bisa menyakiti Adel seperti meremas pergelangan tangannya, atau membentak saat emosi mulai merangkak naik. Egi ikut mengatur napas yang memburu diterpa panik, memejamkan mata sebentar, kemudian mengulurkan tangan. Ingin merangkul gadis itu dan membawanya ke bangsal sebelahnya.

Dengan bahu yang tersentak-sentak dan tangis sesenggukan, Adel menurut. Membiarkan sang mantan mendekap pundaknya dan masuk lebih dalam setelah menutup pintu. Menggunakan mata bengkak dan berairnya, Adel melihat Egi dari samping. Sedikit mendongak, cukup tersentuh akan cara cowok itu memperlakukannya. Egi tampak benar-benar khawatir. Meski ringisan terus terdengar dari bibir, dia tetap sigap menaikkan sandaran bangsal agar Adel bisa berbaring lebih nyaman. Adel sempat menolak saat Egi menyentuh tali sepatunya, tapi diabaikan. Santai sekali cowok itu membuka sepatu Adel hingga cewek itu dia pastikan nyaman dalam pengawasannya.

"Aku ambil kapas sama alkohol dulu, oke? Bentar."

Segera Egi nyelonong ke bilik tempat Nella biasa duduk. Membuka lemari kaca, dan mengambil beberapa benda yang dia perlukan. Adel memerhatikan dari sudut. Memandangi punggung telanjang kecokelatan yang dihiasi memar keunguan. Punggung yang dulu terasa amat nyaman untuk Adel peluk saat mereka dalam perjalanan ke destinasi air terjun.

"Betadinenya mana ya? Duh, bentar ya, Del. Betadine ... Betadine...."

Sial, Adel tertawa. Kenapa Egi lucu sekali sih? Aneh rasanya tersenyum saat tubuhnya masih tersengat getar sesekali.

Cukup lama Adel menikmati detik yang entah bagaimana mau memberinya kesempatan menikmati pemandangan yang sering tiba-tiba ia rindukan sebelum tidur. Egi masih Egi yang sama. Cowok bertubuh tinggi, tegap karena otot yang selalu dilatih dengan workout, dan suara bariton yang sedikit serak entah karena apa. Tak bisa Adel pungkiri, memandangi raga Egi dalam ruangan di mana tak akan ada yang menyadari kelakuannya, berhasil menurunkan debaman cemas yang sempat membuatnya gemetar.

Egi berhasil membuatnya ... tenang.

"Nah dapet!" Seruan penuh lega yang agak lebay itu serentak membikin Adel sadar dan mengerjapkan mata refleks. Dia buang muka, melirik ke objek lain karena Egi sudah berjalan ke arahnya sekarang.

Kaki kursi besi yang ditarik menjadi latar suara selama Egi mempersiapkan pengobatan yang ia tahu. Hening terus menaungi, antara Adel yang tak tahu mau bilang apa—tentu saja karena perih dan syok, juga oleh canggung yang tak pernah lebur semenjak pertengkaran-pertengkaran tak berujung setelah keduanya putus—dan Egi yang tak mau membuat Adel merasa disudutkan.

Egi penasaran, apa yang sudah terjadi sampai Adel bisa terluka separah ini. Meski darah di telapak tangannya mulai kering, melengketi kaus olahraganya, cewek itu tetap terlihat ketakutan. Adel kembali menunjukkan reaksi defensif, hal yang sama persis saat mereka beradu emosi setelah Egi memaksa ingin menciumnya.

Itu otomatis membikin Egi disirami perasaan bersalah dan satu-dua denyut ngilu di hati. Sebab kala itu, dia juga terluka akan keputusan Adel yang langsung memutuskan hubungan mereka tanpa pikir panjang.

"Aku nggak akan nanya apa pun kalo itu ngeganggu kamu." Pita suara Egi menggema, ditemani ringisan perih Adel karena cowok itu tengah membersihkan lukanya dengan kasa dan tetesan alkohol. Egi memangku jari-jari mungil Adel di atas tangan kekarnya. Menjaganya seakan itu adalah kaca yang bisa retak bila ia mengasarinya sedikit saja.

"Aku nggak larang kamu nanya." Adel menelan ludah awkward.

"Tetep aja kamu bisa tiba-tiba nggak nyaman atau langsung marah kalau aku salah ngomong—kalau itu yang kamu heranin kenapa aku nggak bicara dari tadi."

[END] Balikan BangsatOnde histórias criam vida. Descubra agora