Si Manis. Aku akan memberinya nama si Manis.

****

Sayup-sayup terdengar suara orang bicara dari arah sungai. Aku menajamkan pendengaran. Masih terbaring lemah dekat sebuah batu besar di bawah rindang pepohonan.

Sebuah perahu kemudian terlihat melintas. Ada dua orang di atas perahu itu. Bagai oase di padang gurun. Harapanku untuk bisa cepat pulang semakin besar. 

"Tolooong ...." teriakanku tertelan bunyi arus sungai. Atau suaraku terlalu pelan. Aku pun tidak bisa mendengar jelas suara sendiri. 

Ah, susah sekali berdiri. Kedua lututku masih lemas.

Aku merangkak menuju sungai. Arus sungai yang deras membawa perahu itu menjauh dengan cepat.

Apes!

Si Manis menghampiriku. Entah dari arah mana datangnya.

"Bisa kau tolong panggilkan mereka?!" ujarku padanya. Satu tanganku menunjuk ke arah perahu yang sudah terlihat mengecil.

Dia hanya bengong. Mirip anak kecil yang tak mengerti apa-apa. 

Aku tidak bisa berharap terlalu banyak pada perempuan ini. Kupaksakan tubuh untuk merangkak mendekati sungai. Tak putus harapanku.

"Tolooong ... tolooong ...." ujarku sembari terus merangkak.

Terlambat ... perahu itu sudah tidak lagi terlihat.

"Aargh!!" Aku menghempaskan punggung kecewa.

Semoga akan ada perahu lagi yang lewat.

Bahuku ditepuk-tepuk oleh si Manis. Dia menyodorkan beberapa buah pisang yang sudah menguning. Baik sekali perempuan ini. Rupanya tadi dia pergi untuk mencari makanan.

"Makasih." Kuterima pisang itu. 

Di saat seperti ini. Buah pisang pemberian Manis nikmatnya melebihi makanan apapun di dunia. Bapak benar aku memang manusia yang tidak pandai bersyukur.

"Kamu tinggal di mana?" tanyaku dengan mulut penuh pisang. Tak peduli kalau tidak akan mendapat jawaban lagi.

Mungkin dia manusia hutan macam Tarzan.

****

Menunggu sekian lama di tepi sungai. Aku harus menelan kecewa, menyaksikan saat matahari kian tenggelam. Berganti dengan kegelapan. Tak ada satupun lagi perahu yang lewat.

Aku harus melewati malam di hutan ini lagi. Si Manis ikut duduk di sampingku. Angin malam berembus cukup kencang. Jaket hoddy warna abu-abu milik Kunto kukenakan. Lumayan sedikit bisa menahan dingin, meski ada beberapa bagian yang koyak.

"Heh, Manis." Aku menoleh pada perempuan berwajah gelap bak kertas karbon itu. Bola mata besarnya balas menatapku.

"Kalau aku bisa pulang dengan selamat, kamu kukawini," ujarku terkekeh geli.

Mungkin kewarasanku sudah mulai berkurang saat ini. Sampai berniat mengawini perempuan aneh macam si Manis. 

"Keluarga kamu tinggal di mana? Biar Pak Kimin gak susah nyari alamat," ujarku lagi masih terkekeh-kekeh.

Mulut si Manis kian bertambah mangap sampai ilernya netes-netes.

Issh ... jorok amat ni cewek!

"Bhahaha ... bhahahaha ... bhahahaha ...." Aku terbahak-bahak persis orang gila.


****

"Catur ... bangun, Nak! Waktu subuh bentar lagi habis. Buruan ambil air wudhu!" Lelaki tua itu menepuk bahuku.

"Ck!" Aku berdecak. 

Sudah tau anaknya pemalas sholat. Tiap subuh selalu dibanguni. Kapan sih, bapak bosan menyuruhku sholat?

Aku mendengkus sembari merubah posisi memunggunginya. Dapat kudengar hela napas kecewa bapak.

Buat apa sholat? Toh, hidup dari dulu tidak ada perubahan. Begini-begini saja. 

Miskin terooos .... 

Waktu kecil aku masih semangat sholat. Kata bapak mintalah apapun pada Allah saat kamu sholat. Allah Maha mengabulkan setiap doa.

Seiring beranjak dewasa aku sadar kalau itu hanya perbuatan sia-sia. Sholat nungging-nungging sampai koprol gak pernah doaku terkabul.

"Ada saatnya kamu akan merindukan sholat, Nak," bisik bapak di telingaku.

Degh!

Kelopak mataku sontak membuka. Menatap langit di atas yang dihiasi awan gelap. Kilat menyala beberapa kali. Angin dingin bertiup kencang. Gigiku gemerutuk kedinginan. 

"Bapak ...." bisikku lirih. Aku merindukan sosok itu. Rindu nasehat-nasehatnya.

Tubuhku kini terbaring di atas hamparan kerikil. Tepat di tepian sungai. Bunyi arusnya semakin terdengar bergemuruh.

TAAARRRR!!!

TAAAARRR!!!

Petir menggelegar dengan garang. Nyaliku seketika mengkerut.

Tes!

Satu tetes air jatuh ke wajah. Lalu disusul tetesan-tetesan lagi. Hujan deras mengguyur tubuh ringkihku. Si Manis tidak keliatan. Mataku berusaha menemukannya.

Ke mana dia?

Astaga! Airnya akan pasang. Aku harus segera naik ke tebing.

"Aaagh ...." Susah payah aku mencoba bangun dengan satu kaki.

Air sungai dengan cepat naik. Sebagian tubuhku sudah terendam. Semakin aku kedinginan.

"Allah ...." Tanpa sadar mulutku mengucap namaNya. Nama yang sudah sangat lama tidak terucap lagi.

Terpincang-pincang menahan nyeri aku berusaha menyelamatkan diri menuju tebing sungai. Saat mendongak kulihat si Manis ada di sana. Berdiri di atas sebuah batu besar. Wajah cengonya menatap terpaku. Sama sekali tak tergerak untuk menolongku. Padahal aku sudah melambaikan tangan ke arahnya.

BYUUURRRR ....

"Allaaaah!!!" Kali ini aku meneriakkan namaNya.

Air bah yang sangat besar tiba-tiba datang menghanyutkan tubuhku. Saat ini aku benar-benar tak berdaya menghadapi alam. Megap-megap timbul dan tenggelam dipermainkan arus sungai yang sedang murka. Kadang membentur benda-benda keras. Entah kayu, entah batu-batu. 

Wajah orang-orang yang kusayangi berkelebat satu persatu. Andai masih diberi kesempatan, aku akan membahagiakan mereka.

Sampai kemudian aku tidak merasakan apa-apa lagi



bersambung

Btw kalian pada bisa gak ngebayangin gimana tampangnya si Manis?

😅😅😅









PASAR HANTUWhere stories live. Discover now