"Marshall! Kamu bisa nggak—"

"KENAPA PAPA PECAT JACQUELINE?!"

Teguran Adi dipotong begitu saja oleh teriakan Marshall. Adi mengerjap. Dia kaget dibentak seperti itu. Cepat-cepat Adi menguasai diri. Dia berdiri dan mencengkeram bahu Marshall.

"Apa-apaan kamu?" Adi mendesis. "Papa lagi ra—"

Marshall menepis tangan Adi dengan kasar. Matanya menatap Adi dengan emosi yang membuncah. "Kenapa Papa pecat Jacqueline?!"

Tiga petinggi yang tengah duduk di sofa mulai menonton mereka. Manusia akan selalu suka melihat drama pertengkaran, setua apapun usianya, setinggi apapun jabatannya. Adi sadar. Dia melayangkan pandangan sekilas kepada Marshall sebelum menatap mereka.

"Maaf, nanti kita lanjutin lagi. Saya harus ngomong dulu sama anak saya."

Dengan enggan mereka bertiga terpaksa berdiri dan menyeret langkah meninggalkan ruang kerja Adi. Setelah mereka pergi, Adi tidak lagi mencengkeram bahu Marshall, melainkan menarik kaus di bagian lehernya.

"What the hell, Marshall?!"

"Papa yang what the hell! Kenapa Papa pecat Jacqueline? Dia salah apa?"

"Kamu datang ke kantor dengan penampilan kayak gini, masuk nggak pakai permisi dan make a scene di depan para petinggi?!"

"KENAPA PAPA PECAT JACQUELINE?!" Marshall berteriak lagi.

"DIAM!"

PLAK! Adi melayangkan tangan dan menampar Marshall.

"Kamu betul-betul memalukan! Teriak-teriak kayak anak kecil, maksa untuk nanya hal yang sama!" Adi mulai mengamuk. "Get yourself together, Marshall!"

"Kenapa Papa pecat Jacqueline?" Marshall mendesis sambil menyentuh pipinya yang terasa panas.

"Karena dia itu pengaruh buruk buat kamu!" bentak Adi. "Kamu cuma luntang-lantung di kantor sama dia! Kamu memancing orang-orang untuk bergosip yang nggak-nggak soal kamu dan dia! Kamu berani-beraninya mesra-mesraan sama dia di kantor! Dan terakhir kamu sok-sokan jadi pahlawan buat dia! Berantem sama mantan suaminya, menarik perhatian semua orang! Sadar Marshall, kamu itu siapa! Kamu penerus perusahaan, for God's sake act like one!"

Marshall mengepalkan tangan. Tidak pernah seumur hidupnya dia merasa begitu marah. "Menurut Papa, dia pengaruh buruk? Memangnya Papa tahu apa yang baik buatku?"

"Jelas! Kamu cuma bocah ingusan, kamu tahu apa? Kamu penerus perusahaan dan cuma Papa yang tahu apa yang terbaik buat kamu!"

"Apa Papa pernah mikir, kalau aku sebetulnya nggak mau nerusin perusahaan?"

"Nggak dan Papa nggak pernah mau mikir seperti itu. Kamu HARUS nerusin perusahaan ini and you better get your act together soon."

"Kenapa Papa selalu ngambil semua hal yang berarti di hidupku?! Cita-citaku, sekarang Jacqueline! Kenapa Papa selalu berusaha ngancurin hidup aku?!"

"Ngancurin hidup kamu?" Suara Adi meninggi. Dia kembali menarik kaus Marshall. "NGACA, MARSHALL! BERDIRI DI DEPAN CERMIN DAN LIHAT DIRIMU! Tanpa Papa, kamu bisa apa? Kamu nggak bisa apa-apa! So be grateful that I still give you chances despite you keep fucking things up!"

Adi menghempaskan Marshall, membuatnya sedikit terhuyung. Wajah Adi merah padam. Napasnya tersengal karena amarah. Marshall memejamkan mata sejenak. Dia menghirup napas dalam-dalam. Seumur hidup dia begitu patuh dengan Adi. Seumur hidup dia membiarkan dirinya disebut bodoh, dihina, diatur, dijadikan boneka dan alat oleh Adi. If life is that short, wouldn't he be wasting his time living an unhappy life? Definitely. Marshall menahan napas, satu, dua, tiga detik, kemudian menghembuskannya lagi.

Tenang, Marshall. Dia membatin. Jangan dengarkan. Jangan dimasukkan ke hati. Jangan emosi. Jangan melawan. Jangan bertingkah lagi. Jangan sia-siakan hidupmu dengan marah-marah terus, kecewa terus, sakit hati terus. Jangan.

Marshall kembali membuka mata. Dia menatap Adi dengan sorot mata yang lebih lunak. Kepala Marshall mengangguk pelan. "Oke, Pa."

Adi yang mengira Marshall akan melawan sedikit terkejut. Dia tidak menyangka reaksi Marshall akan begitu tenang. Adi tidak tahu, di balik sikap tenang Marshall, dia bukan sedang introspeksi diri apalagi menerima dan setuju dengan ucapan keras Adi. Marshall merasa begitu lelah dan terkalahkan, dia cuma mengangguk dan mengiyakan. Tiba-tiba Marshall menyadari. Adi bukan hanya membunuh cita-citanya dan mengambil Jacqueline pergi dari kehidupannya, melainkan Adi juga sudah mencuri bertahun-tahun dari hidupnya dan siap membakar masa depannya.

"Pulang dan ganti bajumu! Jangan bikin malu di kantor." Adi menghardik dengan suara yang lebih pelan, kemudian mengibaskan tangan menyuruh Marshall untuk keluar.

Marshall tidak menyahut. Dia membalikkan badan tanpa menoleh ke belakang lagi, berjalan keluar ruang kerja Adi dan keluar gedung kantor. Di tengah keputus asaannya, Marshall menemukan cara lain untuk mengakhiri hidupnya yang sekarang. Pagi itu adalah pagi terakhirnya bertemu Adi dan Marshall sama sekali tidak menyesalinya.

***

WASTED LOVE (Completed)Kde žijí příběhy. Začni objevovat