"Kapan kamu bisa pulang dari rumah sakit?" Marshall memecahkan keheningan.

"Mungkin empat-lima hari lagi. Lukaku nggak parah-parah amat."

"Nice. Aku akan jemput kamu. By then, I shouldn't be grounded anymore."

"Kamu yakin?"

"Mau berapa lama Papa kurung aku di rumah? Aku juga punya kerjaan di kantor," balas Marshall. "Kalaupun masih dikurung, aku akan nyelinap lagi kayak malam ini."

Jacqueline merasa miris mendengarnya. Marshall sudah dewasa tetapi Adi memperlakukannya seperti anak sekolah. Ditambah lagi, Jacqueline tahu Adi tetap tidak akan segan main tangan kalau Marshall ketahuan melanggar perintahnya.

"Kamu pulang aja," pinta Jacqueline. "Jangan sampai ketahuan Pak Adi kalau kamu berkeliaran di luar. Nanti dia makin marah."

"So stupid, right? Aku udah dewasa, tapi Papa masih ngatur aku kayak gini."

"Memangnya kamu punya pilihan?"

"I might run away someday."

Jacqueline cuma tertawa hambar. "Pulang, gih. Ini juga udah malam."

"Oke, aku pulang dulu. Kamu juga masih harus istirahat. Sori udah gangguin kamu." Marshall pamit.

"It's okay. Makasih udah ngunjungin aku."

"Of course. Kasih tahu aku kalau kamu udah bisa pulang dari rumah sakit, nanti aku jemput."

"Nggak usah, aku bisa pulang sendiri."

"Aku mau jemput kamu. I insist."

"I insist on coming home by myself too." Jacqueline menegaskan. "Sori, Marshall. Tapi, aku butuh waktu sendirian dulu."

Marshall sedikit kecewa, namun dia menerima keputusan Jacqueline. "Oke kalau gitu. See you at the office then?"

Jacqueline menaikkan alis. Ternyata Marshall belum tahu soal dirinya dipecat Adi. Mungkin lebih baik jika Marshall tidak tahu sama sekali. Well, at least not now, not here.

"Iya." Jacqueline mengangguk, menyunggingkan senyum palsu. "See you at the office."

Marshall membalikkan badan dan menutup rapat pintu ruang perawatan Jacqueline dengan hati-hati. Dia tidak tahu bahwa sorot mata Jacqueline mengekornya dengan tatapan yang begitu sendu. Dia juga tidak tahu bahwa malam itu ternyata adalah terakhir kalinya dia bertemu dengan Jacqueline.

Seminggu kemudian, Marshall diperbolehkan Adi kembali ke kantor. Luka-luka di wajahnya sudah sembuh, hanya meninggalkan jejak tipis yang tidak mencolok. Dengan demikian tidak ada orang yang memperhatikan dan bertanya kepadanya, walaupun Marshall yakin orang-orang di kantor pasti sudah tahu apa yang terjadi pada dirinya.

Marshall telah menanti-nantikan saat dia bisa bertemu lagi dengan Jacqueline. Seminggu terkurung di rumah, it sucks. Seminggu tanpa ponsel atau alat komunikasi apapun, it sucks even more. Tetapi, yang paling parah adalah seminggu tidak bertemu dengan Jacqueline atau berinteraksi dengannya.

Marshall punya banyak hal untuk dibicarakan dengan Jacqueline. One thing, about that kiss. Second thing, about their relationship. Marshall dimaki habis-habisan oleh Adi dan jelas-jelas Adi menyuruhnya untuk berhenti berhubungan dengan Jacqueline. Adi mengancam jika Marshall masih nekat, dia tidak akan segan-segan mengurung Marshall lagi, termasuk juga menyita semua fasilitas yang Marshall punya saat ini.

And third, he needs to tell her about his feelings. Marshall ingin menegaskan ke Jacqueline bahwa dia sungguhan menaruh perasaan padanya. Ciuman waktu itu, it's not just about fooling around. Memang, dia sedikit mabuk saat melakukannya, tetapi dia melakukannya bukan karena mabuk, melainkan karena dia cinta. Love is a very, very strong word. Marshall belum pernah mengucapkannya kepada siapapun sebelumnya. Jacqueline akan menjadi yang pertama.

Wajah Marshall semringah ketika dia bangun di pagi hari dan mendapati ponselnya sudah kembali di atas meja. Dia buru-buru menyalakan, menelepon Jacqueline tanpa memeriksa ratusan pesan dan notifikasi yang menghujani layar. Nomor Jacqueline tidak aktif. Marshall mencoba sekali lagi. Tetap tidak aktif. Marshall mengernyit. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Jacqueline pasti sudah bangun. Malahan mungkin dia sudah sibuk bekerja di kantor. Marshall membuka aplikasi pesan dan mencari nama Jacqueline.

Marshall
Jacqueline! Aku udah dapat HPku lagi. Hari ini aku ke kantor.

Pending. Hanya ada satu tanda centang. Marshall menelan ludah. Tumben sekali. Apakah sesuatu telah terjadi pada Jacqueline? Marshall kembali ke layar utama aplikasi pesan dan menyadari sesuatu. Jacqueline Kitahara Sjahrir left. Keterangan itu berulang-ulang muncul di setiap grup di mana Marshall juga turut serta. Tubuh Marshall menegang. Dia membuka salah satu grup dan mengetik, namun menghapus semua pesannya lagi. Alih-alih bertanya di grup itu, Marshall langsung menelepon Kana.

"Halo?"

"Halo, Kana. Ini saya."

"Oh, Pak Marshall." Kana menyapa balik. Suaranya tidak antusias dan riang seperti biasa.

"Na, Jacqueline di mana? Kenapa dia left semua group chat kantor?"

"Ngg—" Kana kesulitan menjawab. "P-Pak Marshall masih belum tahu?"

"Belum tahu apa?"

"Soal Mbak Jacqueline."

Marshall mengernyit was-was. "Jacqueline kenapa?"

"Mbak Jacqueline kan—" Kana ragu sejenak. Apakah dia yang harus memberitahu Marshall? Lalu, bagaimana mungkin Marshall si putra mahkota tidak tahu kabar soal Jacqueline? "—dipecat Pak Adi."

"HAH?!"

"Pak Marshall sama sekali nggak tahu?"

Marshall tercengang. "Jacqueline dipecat ayah saya?"

"Iya, Pak."

"Alasannya apa?"

"Saya nggak tahu, Pak. Seisi kantor juga kaget. Tapi, Pak—"

Darah Marshall berdesir. Mendadak pikirannya terasa kosong. Dia bingung bagaimana harus mencerna berita itu, lebih bingung lagi harus melakukan apa. Marshall memutuskan sambungan telepon dengan Kana begitu saja dan kembali berusaha menghubungi Jacqueline. Hasilnya nihil.

Dia melempar ponsel ke atas ranjang, lalu segera masuk kamar mandi dan bersiap-siap. Marshall bahkan tidak peduli untuk memakai kemeja terbaiknya yang sudah dia siapkan sejak semalam. Dia hanya mengenakan kembali kaus tidur yang sudah belel bertuliskan Babson serta celana jins yang tergantung di balik pintu lemari.

"Marshall!" Adi menyapa Marshall ketika melihatnya menuruni tangga. "Udah siap buat ke kantor hari ini?"

Marshall cuma melayangkan pandangan sekilas kepada Adi tanpa membalasnya. Dia bergegas menuju pintu dan mengenakan sepatu pertama yang dilihatnya.

"Marshall! Kamu mau ke mana?"

Marshall tidak menjawab. Dia keluar dan membanting pintu, masuk ke mobil dan memacunya pergi. Marshall hanya ingin tahu, di mana Jacqueline sekarang. Dia tidak tahu di mana Jacqueline tinggal. Sesampainya di kantor, Marshall sama sekali tidak melihat sosok Jacqueline. Pintu ruang kerjanya terbuka lebar. Papan namanya sudah dicopot. Seisi ruangan sudah kosong, tidak ada jejaknya sama sekali. Saking desperate-nya, Marshall sampai mendatangi rumah Jacqueline, tetapi yang didapatinya hanya mobil tak dikenal di carport, barangkali mobil Alfons, entahlah.

"Sial!" umpat Marshall. Dia menyandarkan kepala pada kursi sambil memukul setir dengan kesal.

Ke mana lagi dia harus mencari Jacqueline? Harapan terakhir Marshall adalah apartemennya. Marshall memacu mobil ke apartemennya, berharap dia menemukan Jacqueline di sana, somehow, walau dia sadar betul Jacqueline tidak punya kunci. Tentu saja tidak ada siapa-siapa dan Jacqueline juga tidak meninggalkan apa-apa di sana..

***

WASTED LOVE (Completed)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora