"Saya nggak tahu," gumam Jacqueline.

"Kamu nggak tahu siapa yang nusuk kamu?"

Jacqueline mengangguk.

"Jadi menurut kamu itu cuma orang random aja?"

"Saya nggak tahu."

PLAK! Jacqueline terperanjat saat ada tangan yang menamparnya. Bukan tangan Adi, melainkan Hilda. Dia terlihat sangat murka. Jacqueline sungguh merasa kasihan pada Marshall yang terjebak dibesarkan dua orang tua yang sangat senang main tangan.

"Jangan pura-pura!" bentak Hilda. "Saya tahu kamu tahu. Itu mantan suamimu, kan?! Alfonsus Subrata, konsultan manajemen level 8 di Matherson!"

Kedua mata Jacqueline melebar.

"Saya tahu. Adi tahu. Marshall juga tahu!" Hilda masih lanjut berteriak. "Kamu tahu yang terjadi sama Marshall setelahnya? Saat tahu kamu ditusuk, dia langsung datang ke Alfons di kantornya, menghajar dia, baku hantam di depan banyak orang dan berakhir babak belur di kantor polisi!"

Jacqueline menelan ludah. Marshall? Mengapa dia bertindak sebodoh itu?!

"Kamu itu racun buat dia." Hilda mendesis. "Kamu nggak pantas punya hubungan apapun dengannya. Kamu nggak pantas dekat-dekat dengan dia. Dan jangan pernah sekalipun kamu terpikirkan untuk bisa jadi pasangannya, karena saya nggak akan pernah membiarkan hal itu terjadi! Buka matamu, sadar kamu siapa dan dia siapa! Kamu nggak lebih dari bekas istri orang yang kebetulan beruntung punya posisi tinggi di perusahaan. Marshall nggak pantas kenal dengan perempuan hina kayak kamu."

Jacqueline meremas jarinya. Rasanya ingin sekali membalas tamparan Hilda, membalikkan semua ucapannya, berteriak dan mengusirnya keluar. Namun, Jacqueline hanya bisa duduk terpaku. Membalas tatapan mata Hilda saja dia tidak berani, sebab kali ini Jacqueline sadar, semua ucapan Hilda benar. Every single word.

"Jacqueline." Adi kembali bersuara. "Mulai hari ini kamu bukan lagi bagian dari Wardhana Group. Saya nggak mau lagi ngelihat kamu di kantor atau di kehidupan Marshall. Leave him alone. Jangan pernah lagi kamu muncul di hadapannya."

Adi meletakkan tangan di bahu Hilda dan menggiringnya keluar ruang perawatan. Hilda melayangkan tatapan tajam sekilas kepada Jacqueline sebelum menghilang dari balik pintu. Lama sekali Jacqueline termangu, menatap sprei putih rumah sakit dengan pandangan kosong. She's literally lost. Dalam sekejap dia kehilangan karir yang sudah dibangunnya. Dia juga kehilangan Marshall yang merupakan sahabatnya. Sama seperti saat itu ketika dia kehilangan ibu yang sangat dekat dengannya. Apakah dia memang ditakdirkan tidak pernah boleh memiliki apapun yang berharga di dunia ini?

Tok! Tok! Jacqueline menolehkan kepala saat ada yang mengetuk pintu ruang perawatannya. Muncul sosok Kana, yang membuat Jacqueline sedikit bernapas lega. Kana menghampiri Jacqueline dengan berlinang air mata.

"Mbak," ucapnya lirih.

Jacqueline memaksakan senyum. "Hei, Na."

Air mata Kana tumpah saat dia berhadapan dengan Jacqueline.

"Na, jangan nangis," ucap Jacqueline lembut. "Saya nggak apa-apa, kok. Palingan besok-besok juga saya bisa pulang."

"Semua salah saya, Mbak." Tangis Kana malah pecah. "Salah saya Mbak Jacqueline jadi begini."

Jacqueline meletakkan tangan di lengan Kana. Dia berusaha bercanda. "Kenapa jadi salah kamu? Memangnya kamu bodyguard saya?"

"Sa-saya—" Kana terbata di antara isaknya. "Saya yang foto Mbak Jacqueline sama Pak Marshall."

Jacqueline tercengang. Dia mengerjap tidak percaya. "Ka-kamu?"

"Saya cuma iseng. Saya cuma ingin ada obrolan sama orang yang saya suka di kantor. Saya nggak nyangka dia akan nyebarin ke mana-mana."

Perlahan Jacqueline menarik tangannya dari lengan Kana. Dia menelan ludah. Kana diam-diam mengambil fotonya dan Marshall? Kenapa dia setega itu? Bukankah selama ini mereka saling menganggap satu sama lain teman? Well, mungkin memang tidak akan pernah ada kata teman dalam hidupnya. Ketika dia menjadi anak pintar di sekolah, semua orang yang mengaku teman cuma ingin mengambil untung. Ketika dia menjadi pegawai paling berprestasi di kantor pun, hal yang sama terjadi, atau lebih parah lagi, beberapa musuh mengaku sebagai teman supaya bisa menusuknya di kala dia sedang lengah. 

"Maafin saya, Mbak." Kana menangis kencang. Dia tersedu di tepi ranjang Jacqueline yang bergeming. "Saya janji nggak akan macam-macam lagi. Maafin saya, Mbak. Jangan pecat saya."

"Saya nggak bisa pecat kamu juga, Na." Jacqueline menarik napas dalam-dalam. "Saya nggak punya wewenang lagi untuk itu."

Tangis Kana berhenti. "Ma-maksudnya?"

"Tadi Pak Adi datang ke sini untuk pecat saya," ucap Jacqueline getir.

"Ta-tapi—" Kana terperangah. "Ke-kenapa, Mbak? Kenapa Mbak Jacqueline jadi dipecat?"

Jacqueline tidak menjawab. Dia malah kembali membaringkan badan dan memunggungi Kana. "Kamu pulang aja. Terima kasih atas kerja samamu selama ini sama saya. Terima kasih udah membuat saya nggak kesepian di kantor."

"Mbak—" Kana hendak menjelaskan lagi, meminta maaf lagi, tetapi rasanya percuma. Jacqueline bahkan sudah tidak mau menatapnya sama sekali.

Kana mengerjapkan mata, membiarkan sisa air mata jatuh ke pipi tanpa repot-repot menyekanya. Dia meletakkan sesuatu di meja Jacqueline. "Ini barang-barang Mbak Jacqueline. Tadi dikumpulkan satpam dan dikasih ke saya, karena saya sekretaris Mbak. Sekali lagi, maafin saya, Mbak Jacqueline."

Jacqueline memejamkan mata. Sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Ketika terdengar suara Kana yang menggeser pintu perawatan dan pergi pun, Jacqueline tidak menoleh apalagi mengucapkan perpisahan. She never said goodbye to the people she lost. Never.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now