"Gimana telinga kamu?" tanya Marshall, memecahkan keheningan. "Masih berdenging?"

Jacqueline mengangguk pelan.

"Besok pagi mau aku temenin ke dokter?"

"Nggak usah," gumam Jacqueline. "Aku bisa sendiri."

"Aku tahu kamu bisa sendiri. Yang mau aku berikan bukan tumpangan kendaraan, tapi moral support."

"Moral support? Buat apa? Aku nggak kenapa-napa. It's nothing serious."

"Aku tahu. Tapi, kadang hati kita lebih lega kalau ada teman yang mendampingi."

Jacqueline mendengus. "Teman?"

"Iya, teman. Don't you consider me as your friend?"

"Yang namanya teman nggak akan kabur melihat kesusahan orang," ujar Jacqueline sinis.

Raut wajah Marshall berubah. Dia tidak bodoh. Dia peka. Dia tahu apa maksud Jacqueline.

"Kamu marah karena aku pergi begitu aja waktu kamu nangis?" Suara Marshall melembut.

Jacqueline tidak menyahut.

"Aku minta maaf. Saat itu aku—" Marshall menggigit bibir. "—a-aku nggak tahu harus berbuat apa. Nggak pernah ada perempuan yang nangis di depanku sebelumnya."

Jacqueline terdiam.

"Sama seperti saat aku ngelihat luka-luka di tubuh kamu. I didn't know what to do, so I avoided you. Aku tahu nggak seharusnya aku bersikap kayak gitu. Aku pengecut."

Marshall menunggu Jacqueline membalas ucapannya. Apa saja. Tetapi, Jacqueline cuma memejamkan mata dengan tangan terlipat di depan dada. Marshall tidak peduli apakah Jacqueline sungguhan tidur atau cuma berpura-pura, dia lanjut meneruskan ucapannya.

"Aku nggak mau hal seperti itu terulang untuk ketiga kalinya, Jacqueline. Aku nggak mau pergi dari kamu begitu aja kali berikutnya aku ngelihat kamu kesusahan. Please let me know what I should do."

Hening.

"Jacqueline? Aku tahu kamu nggak lagi tidur. Please, don't ignore me."

"Nggak ada lain kali, Marshall." Jacqueline mengucap lirih. "Lain kali aku nggak akan bersikap seperti itu lagi di depan kamu. I'm sorry for making you confused."

Tiba-tiba Jacqueline merasa bodoh. Hanya karena Marshall berbuat baik padanya, dia punya hak apa untuk menuntut Marshall menganggapnya teman? Maybe, she's just a charity case for him. So what? Jacqueline tidak bisa mengatur bagaimana orang lain menganggapnya, apa yang dirasakan Marshall terhadapnya. Salah dia sendiri yang terjebak ekspektasinya semata. Salah dia sendiri mengharapkan Marshall tidak melakukan sesuatu yang membuatnya kecewa. She should not have burst out and cried in front of him in the first place. What's wrong with her anyway? Tidak biasanya Jacqueline hilang kendali atas emosinya dan meledak di depan orang lain. Nope, she has never done that, not as a child, not as a teenager, definitely not as an adult.

"Nggak, Jacqueline. Aku nggak mau hubungan kita balik lagi kayak dulu, di mana kamu selalu dingin dan kaku sama aku. I want you to be able to open up to me, to be vulnerable around me. Dan aku juga ingin jadi orang yang lebih mengenal kamu, yang lebih tahu gimana harus menghibur kamu di saat kamu susah. I need to learn. I want to learn. Please let me know."

Dua tahun Jacqueline menikah dengan Alfons, tidak pernah sekalipun terucap kata-kata seperti yang diucapkan Marshall dari mulutnya. Sementara Marshall, this little piece of prick, he cares.

"You are not a charity case." Marshall menegaskan. "Aku mau kamu menganggapku teman karena aku juga menganggap kamu teman. A good friend, someone I care about, someone I want to protect. Dan aku yakin, itu juga alasan kenapa aku pergi begitu aja kemarin. I was afraid. Kalau aku lihat kamu nangis, aku juga jadi sedih. Lalu, aku nggak tahu akan seperti apa reaksiku, bisa jadi malah bikin kamu semakin bingung. I didn't want that to happen. Itu sebabnya aku pergi. And please believe me, aku langsung menyesal begitu keluar dari pintu itu. I wanted to be with you. Aku mau menghibur kamu, tapi aku nggak tahu gimana caranya. Daripada cuma membebani kamu, aku pikir lebih baik aku pergi."

WASTED LOVE (Completed)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ