"Itu karena aku nggak punya waktu lagi di kantor. Lagipula, semakin tinggi pohon, semakin kencang anginnya. People don't want to be my friends." Jacqueline membela diri. "And if they do, they have an agenda."

Marshall menghela napas. "Yeah, you're right. Kalau aku bukan the so called putra mahkota, aku rasa nggak mungkin orang-orang bersikap sebaik itu denganku."

"You know best."

"Tapi, seriously kamu ikut tim basket? Yang butuh teamwork yang begitu kuat?"

"Shall, aku tahu soal teamwork. Sebelum aku ada di posisi sekarang, kamu pikir aku kerja sama siapa? Sewaktu aku masih jadi management trainee, kalau aku nggak pintar soal teamwork, menurutmu aku bisa mencapai semua yang aku capai?"

Marshall tertawa. "Oke, oke, I get it. Tapi, aku masih nggak percaya kamu bisa main basket sampai kamu tanding one-on-one sama aku."

"Anytime. Sekarang juga bisa. Tuh, ada lapangan di bawah."

"Ya, nggak sekarang juga, Jacqueline. Kamu mau kelar main malah jalan pakai tongkat? Nggak, kan?"

"That way I can go to the office and claim bahwa aku cedera saat main basket."

"Main basket with me? Yang ada aku ditampol ayahku gara-gara bikin aset terbaiknya cedera saat main basket yang nggak penting. Anyway, later okay? Saat kamu udah sembuh. In the meantime, terima aja kalau aku masih belum percaya. Hahaha!"

"Sama halnya aku juga nggak percaya kamu bisa masak sampai aku cicipi sendiri hasil masakanmu." Jacqueline melirik bahan makanan yang sudah siap di atas talenan. "Bœuf bourguignon. T'es sûr?"

"Hah?" Marshall melongo. "Hei, kalau aku bisa nyebut nama makanannya, bukan berarti aku bisa bahasanya. Kamu bisa bahasa Perancis?"

Jacqueline tidak menjawab, hanya tersenyum tipis. "Kenapa kamu pengen masak bœuf bourguignon?"

"Karena aku suka makanan ini."

"Really?"

"Yeah."

"Tapi, masaknya kan ribet. Butuh waktu tiga-empat jam."

"Worry not, aku akan pakai pressure cooker." Marshall mengeluarkan pressure cooker dari lemari. "Kamu betul-betul tahu banyak tentang makanan ini, ya?"

"Cukup banyak untuk bisa nge-judge hasil masakanmu dengan tepat."

"Yes, Chef!" Marshall mengolok dengan memberi tanda hormat. Setelahnya dia tertawa keras. "Kamu pernah student exchange di Perancis atau apa?"

"Nggak." Jacqueline menggeleng.

Marshall menumis bahan-bahan makanan dan aroma yang menggugah langsung memenuhi seisi ruangan. Jacqueline memejamkan mata sejenak. This smell, it's been too long.

"Lihat, baru saya tumis aja kamu udah keenakan kayak lagi ngelem." Marshall menoleh, meledek Jacqueline.

Buru-buru Jacqueline membuka mata. Dia tidak menyahut, membiarkan Marshall fokus mengolah makanan. Jacqueline punya soft spot untuk laki-laki yang pandai memasak. Marshall tidak kalah menarik dibanding Alfons dalam balutan celemek. Tangannya sigap dan cekatan menari di atas kompor. Raut wajahnya begitu serius, padahal biasanya saja dia tidak pernah seserius ini di kantor. Gerakannya begitu lembut namun yakin.

"Okay, all set. Tinggal nunggu jadi 40 menit lagi." Marshall menutup pressure cooker dan mencuci tangan, lalu melapnya di celemek.

"Kamu bilang, kamu pernah sekolah masak di Amerika?"

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now