"Oke, kabari saya kalau butuh apa-apa," balas Jacqueline. "Speaking of which, boleh minta tolong laptop kantor dikirim ke sini? Ada di meja kerja saya, nanti Kana bisa—"

"Jacqueline, istirahat aja. Nggak usah mikirin kerjaan." Marshall menyela. "Kapan terakhir kali kamu cuti? Probably never."

"Saya cuti sewaktu nikah."

"Jadi, udah dua tahun kamu nggak pernah cuti?"

"Nggak—" Jacqueline lekas membantah, namun kemudian sadar bahwa ucapan Marshall sepertinya benar. "—juga."

"Udah, pokoknya kamu istirahat aja di rumah."

"Saya masih butuh laptop. Mau ngapain kalau nggak di sini?"

"Nonton kek, baca kek."

Alis Jacqueline terangkat sebelah. "Buku? Memangnya kamu baca buku? Katanya kamu nggak baca buku."

Marshall menghela napas. "Ada di laci meja sebelah ranjang. It should be enough entertainment sampai saya datang lagi siang ini."

"Kamu akan datang lagi siang ini?"

"Of course. Kalau nggak, kamu mau makan apa?"

"Saya bisa pesan makanan. Saya masih bisa ngesot ke kamar mandi dan ke pintu masuk." Jacqueline meyakinkan.

Marshall menatap Jacqueline dengan ragu.

"Marshall, jangan khawatir. Aku baik-baik aja."

"Uhuk!" Marshall terbatuk. "Uhuk! Uhuk! Uhuk!"

"Kamu nggak apa-apa?" Jacqueline refleks hendak berdiri untuk mengambilkan minum, lupa dengan kakinya yang masih cedera.

Marshall menahan tangannya sambil menggeleng. Wajahnya merah padam. Dia berusaha meredamkan batuknya dengan minum sisa susu yang belum diaduk dengan oats.

"Hhh." Marshall menarik napas dalam-dalam setelah batuknya mereda. "Hhh. Hhh."

"Kamu nggak apa-apa?" Sekali lagi Jacqueline bertanya.

Marshall menggeleng. "Nggak apa-apa. Uhuk! Aku baik-baik aja."

"Kenapa tiba-tiba keselek, sih?" Jacqueline mengernyit. "Ada-ada aja."

"Gara-gara kamu."

"Aku kenapa?"

"Tuh." Marshall menuding, setengah mati menahan senyum.

Jacqueline meraba-raba sekitar mulutnya. Apa dia makan belepotan?

"Bukan itu." Senyum Marshall mengembang. Dia tidak bisa menyembunyikannya lagi. "Kamu sekarang nyebut dirimu 'aku', bukan 'saya' lagi. That is a huuuge leap."

"Hah?" Jacqueline mengerjap bingung. Sesaat kemudian dia tersadar maksud Marshall. Rona merah langsung mewarnai seluruh wajahnya. Jacqueline membuang muka, menunduk fokus pada semangkuk oats di depannya. Sungguh, dia sama sekali tidak sadar!

"Dari manggil 'Bapak', lalu 'kamu', lalu 'AKU'. Jacqueline, ternyata hubungan kita udah sedekat itu!"

"Please, stop," gumam Jacqueline, masih tidak berani menatap Marshall. "Why is it a big deal anyway?"

"Jelas, it's a big deal." Marshall masih tersenyum, berusaha membuat kontak mata dengan Jacqueline. "Berarti tanpa sadar kamu udah merasa nyaman denganKU."

Jacqueline tidak menyahut. Dia melahap makanannya dengan cepat. If it's not a big deal, kenapa juga dia harus salah tingkah? Oke, harus Jacqueline akui bahwa hubungannya dengan Marshall tidak sama seperti dulu saat baru mengenalnya. To be fair, he has become a lot more civil nowadays. Dia tidak lagi bersikap tengil dan membuat Jacqueline gusar. Dia banyak membantu Jacqueline. So it's natural that they became closer, right? Not close as in 'close', but close 'close' alah apa sih, Jacquees? Ribet banget!

"Anyway, AKU berangkat dulu, ya." Marshall beranjak dan membawa mangkuknya ke bak cuci piring. Cepat-cepat dia mencucinya, lalu mengeringkan tangan dengan lap. "Kalau butuh sesuatu, telepon AKU."

Jacqueline menarik napas dalam-dalam sambil memejamkan mata dan mengangguk.

"Oh ya, nanti siang—"

"Please, jangan datang nanti siang. Yang ada ak—" Jacqueline menghentikan ucapannya, buru-buru meralat. "S-sa-saya jadi nggak bisa istirahat."

"Kenapa? Kamu deg-degan setiap aku sama kamu?" Marshall nyengir badung.

"Please, please, stop."

"Hahaha!" Dia tertawa puas. "Oke, aku akan datang lagi nanti pulang kerja. Kita makan malam bareng. Boleh, kan?"

Jacqueline hendak menolak lagi, tapi Marshall buru-buru melanjutkan ucapannya.

"Ini kan apartemenku. Aku bebas datang, dong? Lagian, kamu masih berhutang banyak sama aku. Mana voucher makan dan nonton yang kamu janjikan?" Telapak tangan Marshall terulur dan membuka.

"Maaf, nanti aku—" Jacqueline menggeleng. "Saya—"

"Jacqueline, it's fine." Marshall tersenyum kecil. "Jangan merasa canggung. Aku senang kalau kamu merasa lebih nyaman denganku. Nanti malam aku ke sini. Aku akan bawain makan malam buat kamu, lalu kita main catur bareng lagi. Oke?"

Sorot mata Marshall begitu hangat namun serius. Senyumnya ramah namun tegas. Jacqueline luluh. Dia mengangguk pelan, menuruti ucapan Marshall.

"Sampai nanti, Jacqueline."

"Hati-hati di jalan—" Jacqueline menggumam. "—Shall."

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now