"Jacqueline," panggilnya.

"Hmm?" Jacqueline menyahut, mengambil teko air di kitchen island dan menuangkan ke gelas. Dia berdiri memunggungi Alfons.

"Laki-laki yang kemarin itu, kamu sungguhan nggak kenal dekat?"

Tubuh Jacqueline menegang. Kenapa Alfons membahasnya lagi? "Iya, aku nggak kenal dekat sama dia."

"Are you sure?"

Jacqueline menuangkan air ke dalam gelas. "Iya."

TAK! Saat hendak minum, tiba-tiba ada benda keras menghantam punggungnya begitu keras, membuat Jacqueline nyaris menjatuhkan gelas di genggamannya. Dia meringis sambil membalikkan badan. Alfons baru saja menimpuk ponsel Jacqueline ke punggungnya.

"Alf—

"Kalau kamu nggak dekat sama dia, NGAPAIN KAMU DI APARTEMENNYA?!" Alfons berteriak.

Genggaman tangan Jacqueline di kuping gelasnya semakin erat. Dia melihat kilat marah yang menyala-nyala di mata Alfons. Jacqueline mundur selangkah. Dia sudah hafal bagaimana gelagat Alfons sebelum melayangkan tangan dan menghajarnya.

"Orang itu berkali-kali telepon kamu pas kamu mandi tadi." Alfons mendesis, menunjuk ponsel Jacqueline yang tergeletak di lantai setelah dia lempar. "Wajah yang muncul, itu wajah yang nonjok aku kemarin, aku masih ingat!"

Tubuh Jacqueline mulai gemetar. Meski demikian dia masih berusaha menatap balik mata Alfons agar tidak terlihat lemah.

"Setelah nggak diangkat-angkat, dia kirim message ke kamu. Dia nanya kamu ke mana, kenapa nggak ada di apartemennya malam ini." Alfons mendekat. "Kalau ternyata kamu bohong, kalau ternyata kamu ada hubungan khusus sama dia, AKU BUNUH KAMU JACQ—"

PRAK! Jacqueline mengakhiri teriakan Alfons saat Alfons hendak mencengkeram lehernya. Jacqueline baru saja memukulkan gelas di tangannya dengan keras ke kepala Alfons sampai pecah. Alfons terhuyung. Darah mengucur dari pelipisnya. Napas Jacqueline memburu. Dia segera menyambar ponselnya di lantai dan bergegas membalikkan badan.

"Jacq—"

Jacqueline tidak lagi menoleh untuk memeriksa keadaan Alfons. Dia hanya ingin kabur secepatnya. Tangannya gemetar hebat saat mengambil kunci mobil di atas rak sepatu.

"BRENGSEK KAMU, JACQUELINE!"

Jacqueline memekik saat dia tiba-tiba merasakan sakit yang luar biasa. Dia terjatuh dan merasakan kaki kanannya berdenyut hebat. Tetapi, Jacqueline tidak mau berhenti untuk melihat apa yang baru saja terjadi. Dia mengumpulkan seluruh tenaga untuk segera bangkit lagi. Setengah mati dia menyeret langkah, dengan napas yang tersengal dan rasa sakit yang berdenyut-denyut. Dia membuka pintu mobil yang terparkir di carport dan menekan remote control untuk membuka pagar rumah. Jacqueline melihat Alfons muncul tertatih-tatih di pintu rumahnya, berusaha mengejar.

BANG! Belum sempat pintu gerbang terbuka penuh, Jacqueline sudah menekan pedal gas kuat-kuat untuk mundur, menabrak sebagian dari pintu gerbang itu sebelum memacu mobil secepat yang dia mampu. Keringat dingin seketika membasahi sekujur tubuhnya. Jacqueline menggigit bibir, sekuat tenaga berusaha menahan rasa sakit yang semakin menghujam. Dia mengabaikan bunyi klakson mobil-mobil lain yang berkali-kali disalipnya di jalan. Begitu memasuki jalan tol, Jacqueline menyetir mobilnya semakin cepat, seolah sedang kesetanan.

Di tengah-tengah jalan tol, Jacqueline tidak tahan lagi. Napasnya terasa semakin berat seiring rasa sakit yang tidak tertahankan. Dia menyalakan lampu sein, menghentikan mobilnya di bahu jalan tol dan menyalakan lampu hazard. Langit sudah gelap. Dia menyalakan lampu interior mobil, melepas sabuk pengaman dan mendorong kursi kemudi mundur.

Ada pisau yang menancap di betisnya Jacqueline menatap dengan horor. Jantungnya berdegup cepat karena panik dan takut. Untuk beberapa detik, dia hanya bisa menatap pisau yang menancap itu tanpa tahu harus berbuat apa. Dia menjulurkan badan untuk membuka laci dasbor, mengeluarkan kotak P3K dan melemparnya ke kursi penumpang di sebelahnya. Jacqueline menarik ujung lengan sweatshirt yang tengah dia kenakan dan menggigitnya. Satu... dua...

Jacqueline mengerang tertahan saat mencabut pisau dari betisnya. Rasanya luar biasa sakit, membuat air matanya menggenang. Cepat-cepat dia membuka pintu mobil dan membuang pisau yang berdarah-darah tersebut. Dengan tangan gemetar Jacqueline membuka kotak P3K dan menarik keluar perban.

Jacqueline berkali-kali melap telapak tangannya yang basah berkeringat sambil membalut betisnya sekencang yang dia bisa. Di antara ketakutan, keringat dingin dan bercak darah di mobilnya, tiba-tiba Jacqueline merasa mual. Dia kembali membuka pintu mobilnya dan muntah. Setelahnya, Jacqueline menyandarkan kepala ke kursi, berusaha mengatur napasnya sambil memejamkan mata. Calm down. Dia melirik darah yang merembes dengan cepat ke perban yang membungkus betisnya. Calm down. Pandangan matanya berpindah ke kursi penumpang, ke arah ponsel yang layarnya retak. Calm down.

Apa yang harus dia lakukan sekarang? Ke mana dia harus pergi? Siapa yang bisa melindunginya? Berbagai pertanyaan berseliweran di kepala Jacqueline. Dia tidak mungkin lagi kembali ke rumahnya hari ini. Dia tidak mungkin pergi ke kantor dan berlindung bersama dalam keadaan seperti ini. Dia tidak ingin ke rumah sakit atau kantor polisi dan membuat identitas dirinya terekspos sebagai korban kekerasan. Calm down. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Jacqueline merasa begitu takut dan putus asa. Tidak ada yang bisa menolongnya.

Tepat saat itulah ponselnya bergetar. Nama dan wajah Marshall berpendar-pendar di layar. Jacqueline menatapnya dengan ragu. Marshall. Dia adalah satu-satunya yang bisa membantu Jacqueline saat ini. Panggilan telepon dari Marshall berakhir tanpa sempat terjawab, tetapi nampaknya Marshall tidak menyerah begitu saja. Dia kembali menelepon Jacqueline. Kali ini tangan Jacqueline yang gemetar terulur untuk meraih ponselnya.

"Halo? Jacqueline?" Terdengar suara Marshall di seberang sana.

Jacqueline membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar.

"Jacqueline? Halo? Kamu dengar nggak?"

Sekujur tubuhnya gemetar sekarang. Calm down. Tidak, Jacqueline tidak bisa bersikap lagi bersikap tenang. Tiba-tiba dia terisak. Sekuat tenaga dia menggigit bibir agar tidak menangis, tetapi air matanya malah mengalir semakin deras.

"Jacqueline?! Kamu kenapa? Halo?!" Suara Marshall berubah panik. "Jacqueline?!"

Rasa sakit kembali menyengat betisnya tiba-tiba, membuat Jacqueline mengerang pelan.

"Jacqueline! Jawab!"

"Ma—Marsh—" Suara yang keluar dari mulut Jacqueline terdengar sangat pelan. "Marshall."

"Jacqueline! Kamu kenapa? Kamu di mana? Ada apa? Jawab, Jacqueline!"

"Marshall." Jacqueline menyeka matanya dan menarik napas dalam-dalam. "Marshall."

"Iya! Ada apa?! Stop nyebut nama saya berulang-ulang! Bilang, ada apa?! Jangan bikin saya ketakutan, Jacqueline!"

"Marshall." Jacqueline menarik napas dalam-dalam. "Tolong."

"Kamu kenapa? Apa yang terjadi sama kamu? Jacq—"

Jacqueline memutuskan sambungan telepon. Dia membuka aplikasi pesan dan mencari nama Marshall. Dia hanya mengirimkan lokasi tempatnya berada sekarang. Dua detik kemudian, Marshall kembali menelepon.

"Jacqueline! Kamu dengar saya?" serunya panik.

Jacqueline mengangguk lemah. Tentu saja Marshall tidak bisa melihatnya.

"Jacqueline! Tunggu saya di tempat kamu sekarang. Jangan ke mana-mana, saya ke sana sekarang juga!"

Sekali lagi Jacqueline mengangguk, lalu membiarkan tangannya menggeletak hingga ponselnya terpental jatuh.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now