"Hah?"

"For someone so smart and composed like you, pasti cuma Alfons yang bikin kamu tiba-tiba jadi panik dan linglung."

Jacqueline mengembuskan napas berat. "Dia minta ketemuan."

"No way!" Marshall berseru. "Jangan mau, lah! Gila aja. Yang ada kamu bakal babak belur!"

"Dia ke Surabaya lagi besok dan stay di sana seminggu penuh."

"So?"

"Marshall, Alfons itu statusnya masih suami saya. Nggak mungkin saya kabur dari dia begitu aja tanpa penjelasan selama-lamanya," ucap Jacqueline.

"Mau penjelasan apa lagi? Tinggal ajukan gugatan cerai ke pengadilan and see you on court."

Jacqueline membelalak mendengarnya. Marshall justru jadi kaget dengan reaksi Jacqueline.

"Rasanya nggak mungkin saya melakukan itu." Jacqueline menggumam. Keningnya masih berkerut memutar otak. Dia masih juga memilin-milin jarinya dengan tegang.

"Kenapa nggak mungkin?" Marshall mengernyit.

"Itu terlalu barbar."

"Barbar?"

"Iya, terlalu dingin."

Marshall mendengus, setengah tertawa mencemooh. "Terlalu dingin?! Kamu yang heartless dan seorang ice queen bisa-bisanya bilang itu terlalu dingin?"

"I mean, afterall—"

"Jacqueline, kamu masih cinta sama Alfons?" Marshall menyela ucapannya.

Jacqueline tidak bisa menjawab. Dia hanya mengerjap menatap Marshall, membuka sedikit mulutnya tanpa mengucapkan apa-apa.

Marshall menarik napas. Wajahnya terlihat gusar dan Jacqueline tidak mengerti kenapa. "Ya udah, terserah kamu aja, lah."

Marshall membalikkan badan dan memasukkan kedua tangan ke saku celananya, berjalan pergi meninggalkan Jacqueline.

"Marshall!" Jacqueline bergegas mencegatnya. "Kenapa kamu jadi kesal?"

"Kesal? Apa saya terlihat kesal?"

Jacqueline mengangguk. Matanya tidak lepas mengunci wajah Marshall. Ya, Jacqueline yakin raut wajah yang tengah ditunjukkan Marshall sekarang menunjukkan rasa kesal.

"Jelas saya kesal!" Marshall tidak menyangkal. "Saya capek-capek bantuin kamu, tapi ujung-ujungnya kamu malah balik lagi ke kubangan itu. Kamu ini bego atau apa?"

Darah Jacqueline berdesir mendengar hinaan Marshall. Tanpa pikir panjang, dia mengucap menuruti emosinya. "Kamu bilang saya bego? Kamu yang bego! Memangnya ada yang nyuruh kamu untuk nolong saya? And obviously you have never been in a serious relationship karena kamu bahkan nggak tahu etikanya!"

"Etika apa? Masih mau bicara etika kalau jelas-jelas laki-laki itu kerjanya mukulin kamu kayak samsak?! Kalau bukan bego, saya nggak tahu lagi apa namanya!"

Tangan Jacqueline siap terangkat untuk menampar Marshall, tetapi dia menahan diri. Jacqueline menghirup napas dalam-dalam. Tidak, dia tidak mau melanjutkan adu mulut ini seperti sepasang anak kecil. Marshall pun mulai menyadari bahwa mereka berdua mulai bertingkah layaknya anak TK.

"Terserah kamu." Marshall menggumam. "Hidup juga hidup kamu. Mati juga kamu yang mati."

Ada rasa pedih yang menyengat ketika Jacqueline mendengar ucapan Marshall. Kesannya seolah Marshall tidak peduli lagi pada Jacqueline dan itu terasa menyakitkan baginya. Jacqueline menelan ludah. Dia merogoh saku blazer dan mengetik pesan balasan untuk Alfons.

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now