Prolog

210 39 46
                                        

Pada tahun 3.088 Lux, tragedi berdarah mengguncang Negara Shaviel, meninggalkan luka yang tak terhapuskan dalam sejarah Klan vampir Arter. Di bawah terik matahari yang membakar, para tetua Klan Arter dirantai dengan emas, masing-masing rantai memiliki berat hingga lima puluh kilogram. Dengan tubuh yang tak berdaya, mereka diseret menuju tengah lapangan yang dikelilingi pepohonan kering, sementara kulit mereka melepuh di bawah panas matahari yang berada di puncaknya. Teriakan anak-anak vampir, yang menyaksikan kebrutalan ini dari kejauhan, menciptakan melodi tragis yang menggetarkan hati. Asap tebal mengepul di udara, membumbung tinggi seiring dengan kobaran api yang melalap setengah dari wilayah mereka, membuat suasana semakin mencekam dan penuh duka.

Di tengah kengerian itu, berdiri seorang pria berambut hitam panjang, mengenakan jubah hitam yang megah dengan mahkota berlambang kelelawar, simbol kekuasaan yang tak terbantahkan. Ia melangkah maju dengan aura angkuh, tatapannya penuh kebencian dan tak ada belas kasihan sedikit pun. Dengan satu gerakan cepat, pria itu meraih leher salah satu tetua vampir yang kini berlutut di hadapannya, tubuhnya sudah ringkih dan penuh luka akibat panas matahari. "KATAKAN! DI MANA VAMPIR ITU?" Suara pria itu bergema dengan penuh amarah, menuntut jawaban yang tak kunjung ia terima. Tetua vampir yang dicekiknya berusaha melawan rasa sakit yang semakin mencekik napasnya, wajahnya pucat pasi, kulitnya mengelupas karena terbakar matahari.

Namun, tidak ada jawaban. Wajah pria itu semakin mengeras, kemarahannya memuncak. Dengan kekuatan yang mengerikan, ia memuntir leher vampir tua itu hingga kepala si vampir terlepas dari tubuhnya, darah segar menyembur deras, membanjiri dada dan lantai di sekitarnya. Kepala yang terpenggal itu menggelinding ke tanah, darahnya mengalir, membasahi tanah yang sudah berwarna merah. Pemandangan ini membuat semua mata terarah pada kepala itu, yang kini tergeletak seperti bola berdarah di tengah lapangan. Ketakutan memenuhi hati setiap yang menyaksikan, namun mereka tak berani bergerak atau berkata-kata.

Pria itu, meskipun telah membunuh satu vampir, tidak menghentikan aksinya. Ia melangkah mendekati sembilan vampir lainnya, yang juga merupakan tetua klan. Mereka berbaris, menyaksikan dengan tatapan kosong, seolah sudah pasrah menerima nasib. "Di mana vampir itu?" tanya pria itu lagi, suaranya semakin dingin dan tajam, penuh dengan ancaman. Namun, sembilan vampir itu tetap membisu, seolah-olah pertanyaan itu tak berarti apa-apa bagi mereka. Tak satu pun dari mereka menjawab, hanya keheningan yang menggantung di udara, membuat suasana semakin mencekam. Pria itu melihat mereka dengan tatapan membara, sadar bahwa mereka tidak akan mengungkapkan apa yang ia cari, meskipun hidup mereka menjadi taruhannya. Tragedi di Shaviel terus berlanjut, dan kebisuan para tetua klan hanya memperburuk nasib mereka.

Amarah penguasa Kerajaan Vallahuela mencapai puncaknya ketika ia berhadapan dengan para tetua vampir Klan Arter yang membangkang. Tanpa peringatan atau belas kasihan, ia mengayunkan pedangnya dengan kecepatan kilat, menebas tiga kepala vampir dalam satu gerakan. Kepala-kepala itu terpental jauh, jatuh ke atas tanah tandus yang kini mulai berlumuran darah. Tubuh mereka yang tak bernyawa segera tumbang, meninggalkan genangan darah yang gelap di bawah sinar matahari yang membakar. Udara di sekeliling mereka terasa tegang, setiap orang yang menyaksikan peristiwa itu bisa merasakan betapa kejamnya penguasa ini.

Dari sembilan vampir, kini hanya tersisa lima tetua yang tubuhnya perlahan melepuh akibat paparan sinar matahari. Kulit mereka yang terbakar mengeluarkan aroma menyengat, menambah kesan horor yang menguar di sekitar lapangan eksekusi. Penguasa itu menatap satu per satu dari mereka, matanya penuh dengan api kebencian dan determinasi untuk menemukan apa yang ia cari. Sorot matanya terhenti pada vampir yang paling muda di antara para tetua itu, seorang pria dengan janggut panjang dan pakaian compang-camping. Pemuda ini, meskipun lebih muda dari yang lain, jelas merasakan tekanan yang tak tertahankan dari tatapan penguasa.

"Kamu, yang paling muda di antara mereka. Katakan, di mana anak keturunan hasil kawin silang itu berada?" suara penguasa itu terdengar dingin namun penuh kuasa, setiap kata keluar dengan intensitas yang memotong udara seperti pisau. Kedua tangannya yang kokoh terangkat, bersiap melemparkan bola api suci-senjata mematikan bagi vampir-yang telah siap di tangannya. Wajah vampir muda itu memucat, keringat dingin mengalir di dahinya. Dengan tubuh yang gemetar, ia merasakan ancaman mematikan yang tergantung di atas kepalanya.

JANUS [SERIES 1 - VAMPIRE]Where stories live. Discover now