"Are you seriously just going to stick to Earl Grey?"

Untuk kesekian kalinya Marshall melontarkan pertanyaan itu pada Jacqueline. Untuk kesekian kalinya juga Jacqueline hanya menjawab dengan menghirup secangkir teh yang mulai dingin di hadapannya. Awalnya tidak ada yang tertawa saat Marshall terang-terangan mencemooh Jacqueline di depan Si-Ting dan stafnya. Namun, seiring dengan gelas demi gelas alkohol yang silih berganti ditenggak oleh seantero meja Marshall dan Jacqueline, semakin lepas pula kelakuan mereka, hingga akhirnya ikut terbahak bersama Marshall saat dia menyentil Earl Grey pesanan Jacqueline untuk kesejuta kalinya.

Malam itu Marshall sungguhan mengadakan perjamuan di CÉ LA VI seperti yang sudah digembar-gemborkan sebelumnya. Si-Ting serta beberapa staf yang dipilih Marshall tentu saja datang. Mereka tidak mau menyia-nyiakan kesempatan mabuk bersama tanpa keluar sepeserpun, especially not in this lion city's iconic place. Jacqueline terpaksa ikut karena tidak ingin memberi kesan bahwa dia seorang rebel, terlebih tidak di hadapan para staf di kantor cabang. Things were still normal when they were dining at the restaurant. Mereka masih membahas pekerjaan, sesekali diselingi beberapa jokes dari Marshall atau selentingan cerita dari pengalamannya kuliah di Amerika sebagai intermezzo.

Setelahnya, Marshall meminta mereka semua lanjut ke Skybar and that's when everybody started to get loose. Lagi-lagi Jacqueline terpaksa mengiyakan. Targetnya hanyalah menghabiskan secangkir Earl Grey, lalu dia akan membubarkan this stupid drinking party. Jika bukan dia yang berusaha stay sober, siapa lagi yang bisa memastikan bahwa orang-orang ini tidak minum hingga mati malam ini? Mereka masih harus bekerja besok.

"Bapak serius masih mau lanjut mabuk-mabukan?" Jacqueline mendesis, meletakkan cangkir teh Earl Grey-nya yang kini sudah habis. Badannya terasa sangat lelah. Tidak ada hal yang ingin dilakukan Jacqueline sekarang selain kembali ke kamar hotelnya, mandi, lalu tidur.

"Kenapa saya nggak boleh mabuk-mabukan?" Marshall mencondongkan tubuhnya, membalas ucapan Jacqueline sambil mengangkat segelas Macallan dan menggoyangkannya di depan wajah Jacqueline. Jacqueline mengernyit mencium bau alkohol yang berasal dari Marshall.

"Karena Pak Marshall harus kerja besok."

"Stop manggil saya Bapak! Saya bukan bapak kamu!" seru Marshall. Lalu dia menoleh kepada rekan-rekannya. "She's calling me 'father', what the f***!"

"Maybe she wants you to be her daddy?"

Kemudian tawa tanpa makna kembali pecah di meja itu. Jacqueline hanya geleng-geleng kepala, sudah cukup muak mendengar manusia-manusia mabuk yang sudah tidak ada rasa segan lagi terhadap petinggi dari headquarter. Jacqueline beranjak dari kursinya.

"Hei, kamu mau ke mana?"

Jacqueline mengabaikan Marshall. Dia mengeluarkan kartu kredit dari dompetnya.

"Jacques, mau ke—"

Plak!

Jacqueline menepis tangan Marshall dengan keras saat Marshall berusaha mencengkram pergelangan tangannya. Di antara kesadarannya yang sudah tipis, Marshall dibuat terkejut oleh Jacqueline. Dia mengerjap sementara Jacqueline menghujamnya dengan tatapan tajam.

"Get yourself together."

Jacqueline segera membayar semua tagihan di mejanya dengan kartu kredit dan meminta pelayan untuk membereskan meja mereka. Dalam hati dia bertekad bahwa hal pertama yang akan dilakukannya sekembalinya ke Jakarta adalah melampirkan bon dari CÉ LA VI di meja kerja Adi, supaya Adi bisa memberi pelajaran pada Marshall, penerusnya yang bagaikan tong kosong, dan untuk kedua kalinya menyebut Marshall tolol. 

"Jacqueline! I swear you are such a party pooper!" seru Marshall, saat pelayan yang diperintahkan Jacqueline mulai membereskan meja mereka sambil meminta maaf.

Jacqueline mengemasi barang-barangnya. Dia melipat bon panjang dan memasukkannya ke dompet bersama dengan kartu kredit.

"Orang kayak kamu pasti nggak punya teman. Kamu lebih dingin dari Kutub Utara, yang adalah tempat paling dingin di dunia!"

"Kutub Utara bukan tempat paling dingin di dunia." Jacqueline membalas dengan datar sambil mengecek ponselnya. Pukul 23:57. "Tapi Antartica."

"Tuh kan!" Marshall menjentikkan jarinya dan menunjuk Jacqueline. "Ini! Ini yang saya maksud! Gimana suami kamu bisa tahan hidup sama orang kayak kamu?!"

Raut wajah Jacqueline langsung berubah. Dia tak tahu apakah wajahnya menjadi pucat atau malah memerah, yang jelas detak jantungnya menjadi lebih cepat. Beruntung Marshall berbicara dalam bahasa Indonesia sehingga Si-Ting dan stafnya tidak mengerti. Mereka hanya terdiam, kebingungan untuk beberapa saat. Melihat Marshall yang terbahak sedetik kemudian, mereka ikut tertawa meskipun tidak tahu apa yang tengah mereka tertawakan. Jacqueline menelan ludah.

"Semoga Bapak nggak mati keracunan alkohol malam ini."

Hanya itu kalimat sinis yang mampu Jacqueline ucapkan sebelum bergegas pergi meninggalkan Marshall dan yang lainnya.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now