"Sumpah, kamu dinginnya melebihi Kutub Utara, tau nggak?" Marshall menghentikan langkahnya dan memprotes sambil geleng-geleng kepala.

"Temperatur di Kutub Utara rata-rata 3 derajat, suhu tubuh manusia cuma 37 derajat." Jacqueline membalas. "Saya manusia, gimana caranya sama dengan Kutub Utara? Nggak masuk akal."

Marshall mengusap wajahnya. "Kamu pasti nggak punya teman ya di sekolah? Saya ini ngajak kamu komunikasi santai kayak teman. God! You are so weird."

"Bapak jangan komunikasi santai sama saya. Kalau Bapak—"

"Stop panggil saya Bapak!" sela Marshall. "Saya ini masih muda, lagipula usia kita nggak beda jauh-jauh amat."

"Saya lebih tua dari Bapak."

"Terus, saya harus panggil kamu Ibu?"

"Nggak perlu, saya kan bawahan Bapak."

"Jacques, stop panggil saya Bapak." Marshall mengulang dengan nada kesal.

"Bapak jangan komunikasi santai sama saya. Kalau Bapak nganggep saya teman, takutnya nanti saya jadi kurang ajar sama Pak Marshall. Saya kan bawahan Bapak."

Marshall melongo mendengar ucapan Jacqueline yang begitu datar dan menyindir, sampai-sampai dia tidak punya kata-kata lagi untuk membalasn. Bahkan Kana pun ikut terkesiap dan menutup mulut.

Marshall mengumpat, menyeret langkah dengan kesal dan pergi dari situ. Dia membuka satu kancing kemeja. Napasnya mendadak sesak oleh rasa marah dan malu. Marshall betul-betul penasaran, what makes her break and when will she break, dan sejak saat itu Marshall sungguhan bertekad untuk mencari tahu!

***

Adi

Jacqueline, lusa nanti Marshall ikut kamu ke SG, biar dia belajar.

Jacqueline menarik napas panjang saat dia melihat pesan dari Adi. Entah apa yang diucapkan Marshall pada ayahnya sehingga dia akan ikut dalam perjalanan dinas Jacqueline ke Singapura lusa nanti. Inginnya menjauh sebisa mungkin dari putra mahkota yang tengil itu, nasib malah terus-terusan menyatukan Jacqueline dan Marshall. Belum hilang penat di kepala Jacqueline, intercom di sebelahnya berbunyi.

"Kenapa, Na?" Jacqueline menjawab.

"Pak Marshall manggil, Mbak. Saya sambungkan, ya."

Kana segera mengalihkan sambungan sebelum Jacqueline sempat menyahut.

"Hai, Jacques."

Jacqueline mendengus mendengar suara yang memuakkan itu lagi.

"Tadi saya ngomong sama Papa. Papa benar, saya masih harus banyak belajar di kantor ini, nggak boleh sok jagoan jadi bos. Makanya, saya bilang Papa saya mau ikut trip kamu ke Singapura untuk belajar. Anyway, saya telepon mau nanya, kamu nginap di hotel mana nanti?"

Jacqueline menarik napas dalam-dalam. "Saya nggak tau, yang ngurusin Kana."

"Cool. Anggap aja kamu udah di-booking-in kamar di MBS."

"MBS?"

"Marina Bay Sands."

Darah Jacqueline segera berdesir. This piece of—

"Pak Marshall, saya ke sana untuk kerja, bukan untuk judi apalagi party."

"Siapa yang bilang kita ke sana untuk judi dan party? Marina Bay Sands itu hotel, Jacques. Kamu kan direktur, seharusnya kamu tau dong."

"Kita nggak punya budget untuk tinggal di MBS."

"Nggak apa-apa, saya punya budget."

"Saya nggak akan—"

"Bukan budget yang turun lewat tanda tangan kamu. Jeez Jacques, the world does not revolve around you. Emangnya cuma kamu doang yang bisa ngeluarin duit? Saya juga bisa, kali."

"Kalau itu uang perusahaan—"

"Itu uang pribadi saya. Kamu lupa saya ini siapa dan uang jajan saya berapa?"

"Maaf, saya nggak ngurus uang jajan Bapak karena itu bukan expenses perusahaan."

"Anyway, you're welcome."

"Buat apa?"

"Jelas-jelas buat room upgrade kamu di MBS! God, why are you so blunt?"

"Saya lebih baik tinggal di hotel awal aja, Pak."

"Nope. Saya akan minta Kana untuk cancel. You will be staying at MBS. Dan lagi, saya mau ngadain makan-makan sama kantor di Singapura malamnya. At the MBS' Cé La Vi dan kali ini kamu nggak punya alasan untuk nggak ikut."

Jacqueline terdiam. Dia melirik jam di laptop. Sudah dua menit waktunya terbuang untuk bercakap-cakap dengan Marshall.

"Oke." Jacqueline mengiyakan begitu saja sebab dia ingin segera menyudahi percakapan yang tidak bermutu dengan Marshall ini.

"Gitu dong, jadi bawahan yang nurut. Kamu tau nggak, sejak saya mulai kerja di kantor ini, kamu itu staf yang paling rebellious. Yang lain—"

"Maaf Pak, saya harus kerja lagi. Kalau nggak ada hal penting, saya tutup ya teleponnya."

Klik.

Tanpa menunggu sahutan dari Marshall, Jacqueline segera meletakkan gagang telepon dan memutuskan sambungan.

***

WASTED LOVE (Completed)Where stories live. Discover now