11 | Bicara Terakhir Kalinya

279 14 0
                                    

Novi tak pernah mengungkapkan apa yang ia rasa atau keinginannya pada siapa pun. Kehilangan kemampuan berbicara sejak lahir otomatis membuat Novi jadi introvert dan cenderung pemalu. Sejak dia berumur empat tahun, atau saat dimana ia bisa mengerti keadaan sekitarnya, Novi sudah sering merasa kecewa. Kolega-kolega Papa dan Bunda kadang datang demi memberi selamat atas lahirnya adik yang saat itu, Novi tak mengerti dia siapa. Kesibukan Bunda membuat Novi jarang bersamanya, apalagi menjelaskan bahwa kehadiran Adel di rumah mereka adalah suatu hal yang mesti Novi terima dengan tangan terbuka.

Waktu itu, Novi baru masuk TK beberapa bulan. Tentu saja dia masuk ke taman kanak-kanak yang khusus untuk penyandang disabilitas, apalagi selain bisu, otak Novi juga bermasalah. Anak itu harus berpikir lebih lama saat guru menjelaskan angka dan abjad, kadang butuh waktu tidak sebentar sampai Novi sering meraih peringkat terbawah, yang berujung omelan Bunda padanya.

Novi tidak mengerti kenapa Bunda suka sekali mengomel, sementara saat bersama Adel yang masih dalam gendongan dan tahunya hanya menangis, Bunda selalu tertawa. Saat Novi merengek ingin ditemani tidur karena dihinggapi mimpi buruk, Bunda menyuruhnya agar berani dan membentak sampai Novi cuma bisa cemberut lantas berbalik menuju kamar dengan boneka kelinci yang ia peluk susah payah.

Baru saja Novi tiba di depan pintu kamar dan menjinjit untuk meraih knop pintu, tangisan Adel terdengar. Meski samar-samar, Novi bisa mendengar karena kamar Bunda dan Papa tidak terlalu jauh dari tempatnya berdiri saat ini. Karena Novi sudah melihat Adel beberapa bulan, Novi jadi kasihan. Walau dia tidak kenal bayi itu siapa, melihatnya setiap hari dengan mata cokelat belo dan pipi gembilnya, Novi jadi tidak tahan mendengar napas tersendat-sendat itu. Makanya, meski sempat ragu, Novi memutuskan beralih haluan dan membawa kaki mungilnya menuju kamar Papa dan Bunda.

Tangisan itu diselingi cegukan tidak nyaman. Novi tahu rasanya, karena dia sering begitu. Entah karena senang Adel merasakan hal yang sama dengan dirinya, Novi pun mempercepat langkah. Berlari kecil dengan tubuh bergoyang-goyang dan berhenti di tepi ranjang di mana Adel tengah bergerak gelisah. Bayi itu memakai beberapa lapis baju yang lucu. Ada gambar kelinci dan wortelnya. Celana dan kaus kakinya pun sama. Novi jadi mau menyentuhnya. Kenapa Bunda tidak membelikan untuknya juga saat membeli itu untuk Adel? Novi bahkan tidak tahu kapan Bunda ke mall.

"Kelinci. Kelinci." Batinnya berkata begitu, tapi hanya suara sengau dan leletan lidah yang berakhir jatuhnya air ludah di spring bed yang susah payah Novi cengkeram. Mata hitamnya berbinar, napas yang memburu sama sekali tak Novi perhatikan karena yang berputar cepat di kepalanya hanya kaus lucu itu. Pakaian bayi, 'kan, memang lembut dan hangat, sampai dilihat dari jauh saja, sudah terbayang akan seenak apa rasanya saat disentuh.

"Jangan nangis. Jangan nangis." Seiring mendekatnya Novi ke tumpukan bantal yang menjadi pagar pengawas agar Adel tidak jatuh dari ranjang, matanya tak pernah berhenti memandangi muka adiknya yang basah. Pipi sekenyal squishy itu memerah, hidung mungilnya kembang kempis dan bibirnya basah dijatuhi air mata, apalagi kala Adel menyadari kehadirannya dan menggerakkan tangan berbungkus sarung tangan mungil itu gemoy ... ada detak hangat yang membuat Novi tertegun.

Apa ini?

Novi mengempas bokongnya lelah. Anak itu menduduki dua kakinya dengan jemari mengepal di atas paha. Dia berkedip-kedip memerhatikan Adel yang meraung dengan napas yang nyaris habis.

Apa dia tidak capek?

Perasaan, kalau Novi nangis, dia tidak mendengar suara sekeras itu deh. Pasti capek sekali jadi seperti bayi ini.

Entah arahan dari mana, bukannya menarik kaus lembut yang Adel gunakan, Novi justru membungkuk. Mengarahkan tangan kecilnya ke bawah mata Adel, kemudian mengusapnya pelan. Menghapus jejak basah yang mengalir tanpa henti.

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang