06 | Masih Sakit Walau Kamu Hilang

567 20 0
                                    

Gerimis membasahi kaca mobil Farhan yang terparkir asal di depan rumah. Adel mengernyit, sedikit bingung melihat hal itu. Selama ini Papa selalu pulang ketika dia sudah tidur. Sebab posisinya di perusahaan Bunda makin tinggi, tentu tanggung jawab Papa membesar. Adel pun maklum, meski hal itu membuatnya jarang bercengkrama dengan Papa.

Walau seingatnya dari kecil, Papa memang tak suka mengajaknya ngobrol, menghabiskan waktu bersama seperti hubungan ayah anak lainnya. Canggung kah? Karena itu juga Adel memberi perhatian penuh pada hal-hal kecil seperti kapan tepat waktu Farhan pulang dan pergi, agar ia bisa mencuri celah untuk menyapa sang Papa sesekali.

Gesekan pintu dengan tehel menggema begitu Adel mendorong pintu masuk setelah menekan knop. Bunda jelas belum pulang, terasa dari hawa ruang tamu yang sepi. Biasanya Bunda akan duduk di sana dengan semangkuk salad dan tablet di tangan, tak lupa memberinya senyum hangat saat Adel pulang.

"Papa? Papa udah pulang?" panggilnya sambil menyalakan lampu. Sudah jam sepuluh malam. Andai hujan deras tidak tiba-tiba turun, ia tak akan terhalang di rumah teman sekelasnya setelah kerja kelompok.

Tak ada sahutan.

"Mungkin cuma mobilnya yang dipulangin," gumam Adel sambil melangkah melewati dapur, hendak menuju tangga ketika bunyi panci jatuh mengejutkannya tiba-tiba.

"Papa?!" Adel terbelalak kaget, terus memanggil Farhan yang berjalan cepat meniti unduk demi unduk anak tangga dengan siluet berkeringat. Belum ada lampu yang menyala di atas tangga, makanya Adel sebegini paniknya memikirkan jika itu adalah maling.

Bunyi bedebam kala pintu kamar ditutup akhirnya mengembuskan napas Adel yang sempat terjeda. Benar, itu Papa. Huh, hampir saja dia mengambil sapu ijuk dan berjinjit takut untuk menyergap pria itu.

Sudahlah. Tidak usah terlalu dipikirkan. Mungkin Papa sedang buru-buru dan tak sempat menyapa. Papa, 'kan, memang selalu sibuk. Wajar kalau dia berlari tiba-tiba.

Seperti biasa, Adel berjalan menuju pintu bercorak kuning gelap milik Novi untuk melihat gadis itu. Apa ya yang dia lakukan? Pasti Novi bosan karena Maya selalu pulang setelah melatihnya berjalan dan olahraga. Lagian, tumben dia tidak berkeliaran di dapur, padahal Novi sangat suka nyemil di depan kulkas.

"Kak? Kakak udah tidur?" Adel mengetuk pelan, tak ingin mengganggu dan mengejutkan gadis sensitif itu. Satu yang Adel syukuri, Novi masih bisa mendengar, jadi walaupun Adel tak bisa bahasa isyarat, dia yakin Novi mendengar apa pun hal yang dia katakan.

Lagi-lagi tak ada jawaban.

"Aku masuk ya." Terbiasa akan diabaikan, Adel memilih segera menggenggam handle perak itu dan langsung masuk dengan senyum cerah.

"Pergi!"

Lemparan gelas kaca yang melesat cepat nyaris menghantam muka Adel. Dia menutup mata dengan jantung berdegup kencang, apalagi sedetik setelahnya, bunyi benturan lantai dengan kaca kian menambah rasa panik di dada.

"... Kak?" Telanan ludah Adel lakukan kaku. Tangan yang memegang knop masih bergelantungan dengan tremor yang tak bisa Adel tutupi.

Dia tidak bisa melangkah masuk. Ini sama persis saat Novi baru dipulangkan dari rumah sakit dengan tubuh penuh lebam dan perban. Kakaknya menjadi antisosial akut. Kerjaannya cuma meraung seperti orang gila tiap Adel berusaha mendekat.

Dan itu terjadi lagi.

Dagu Adel bergetar begitu mendengar desah tangis Novi. Suaranya cempreng dan sengau, membuat jantung Adel bak disayat-sayat sembilu. Adel memejamkan mata kalut. Tak kuat untuk melihat pemandangan yang sebenarnya menjadi memori yang paling ingin ia lupakan. Adel belum bisa menerima fakta, bahwa dalang dari segala kehancuran yang Novi dapat hari ini, adalah karena kelalaiannya. Semuanya salahnya.

Tangisan putus-putus Novi melemahkan sendi kaki Adel. Adel luruh, hanya mampu bersandar di kusen pintu dengan air mata yang ikut jatuh.

"Maaf, Kak Novi..."

-oOo-

Satu yang membuat Adel tidak betah di rumah; kehadiran Papa dan Bunda yang sama sekali tak terasa karena keduanya sibuk dengan dunia masing-masing.

Besoknya, sepulang dari sekolah, Adel segera mengetuk pintu ruang kerja Bunda meski wanita itu tak membalas panggilannya. Raut wajah Adel pucat. Dia tidak bisa tidur semalaman memikirkan apa yang jadi alasan Novi kembali drop seperti itu. Melihat dari tremor parah yang Novi punya semalam, Adel yakin masih banyak rasa sakit yang bersemayam di tubuh kakaknya.

"Bunda,"

Firasat Adel langsung tidak enak ketika mendapati Sera tengah membuka salah satu arsip dengan tergesa. Sera tampak sibuk. Riasan wanita itu nyaris luntur, tapi waktu seakan tak henti mengejarnya sampai sanggulan yang hampir lepasnya tak lagi Sera pedulikan.

"Aku mau ngomongin soal Kak Novi."

"Ah, Sayang, nanti malem aja, ya? Bunda ada rapat tiga puluh menit lagi. Kamu istirahat dulu di kamar. Bunda sibuk."

Tatapan Adel merendah. Bola mata yang menatap penuh harap dan cemasnya berubah jadi datar. Adel bahkan belum melangkahkan kakinya masuk, tapi Sera sudah mengusirnya.

"Kak Novi drop kemarin malam." Adel tetap kukuh. "Dia teriak histeris dan lemparin aku gelas sampe pecah," terangnya dengan suara lelah.

"Oh ya?" Sera menjawab abai. Matanya terlalu fokus menilik file mana yang harus ia bawa sampai suaranya terlampau kentara. Dia hanya pura-pura antusias tiap Adel bercerita.

"Bun, aku ngomongin soal Kakak. Bisa nggak sih Bunda peduli sebentar aja?" Emosi mulai merayapi dada. Kerutan di kening Adel menguat. Jari-jari pucatnya mengepal, diiringi deru napas memburu.

"Maaf, Sayang, ya? Bunda buru-buru banget. Kita bicara nanti bisa, 'kan?" Sera melangkah menuju pintu setelah menemukan berkas yang ia cari. Matanya bergerak tidak fokus, seakan ada banyak cabang yang menjalar di pikiran dan berebut untuk dipikirkan saat itu juga.

Dengan gampang Sera membuka pintu lebar-lebar dan melewati Adel setelah menepuk pundaknya sekali.

"Nanti?" Adel mendecih. "Selama ini Bunda selalu ngomong gitu. Nanti aja, kamu istirahat dulu. Makan dulu, tidur dulu. Gitu aja terus!"

Bisa Adel tangkap ekspresi kaget Sera di sana.

"Kalau Bunda nggak punya waktu buat aku, nggak papa, tapi kalo buat Kak Novi, apalagi pas dia lagi sakit begini, aku nggak habis pikir kenapa Bunda sedikit aja nggak pernah mau peduli? Aku takut, Bunda. Takut! Gimana kalo Kakak kenapa-napa? Mentalnya nggak keliatan baik-baik aja sampai Bunda bisa seenaknya ngomong nanti-nanti! Gimana kalo Kakak bunuh diri?!" Adel melotot murka. Marah, khawatir, dan rasa tidak nyaman bercampur jadi satu. Dia tidak peduli air mata yang mengalir berhasil membungkam Sera. Adel terlanjur kecewa.

"Sayang, kamu—"

"Udahlah!" Adel mengibaskan tangan gerah. "Percuma ngomong sama Bunda. Bukan kerjaan yang buat Bunda abai, tapi emang Bunda yang nggak mau luangin waktu buat aku sama Kak Novi."

Setelah mengatakan itu dengan mata yang tepat menyorot sang Bunda lurus, Adel mengambil langkah lebar ke kamarnya. Membanting pintu hingga debaman keras mengaum, kemudian luruh bersama tangisannya sendiri.

Tidak ada yang peduli.

Bagaimanapun Adel berusaha, pada akhirnya, rasa bersalah itu akan terus merambati hatinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan, ketika seharusnya ia yang paling bertanggung jawab untuk kesakitan yang Novi dapat.

Adel marah. Kesal pada Bunda, pada Papa, dan dirinya sendiri.

Sebenarnya, apa gunanya ia di sini? Kenapa ia sangat tidak berguna untuk Novi?

Adel kian frustrasi. Siang itu, ia tak pernah keluar dari kamar dan membunuh waktu dengan lamunan tak berkesudahan. Yang meski hening mengungkungnya, tapi hati dan otak jelas berperang hebat.

Dipayungi rasa bersalah dan takut.

Lagi.

-oOo-

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang