Tawa samar kembali lolos dari bibir gadis itu, membuang wajahnya. Sebenarnya dia pun bingung. "Sepi, sebenarnya aku tidak merasa begitu selama Fukube-kun ada bersamaku." ia terkekeh pelan. "Tapi jujur saja, terkadang, akupun merasa sendiri."

"Shimizu-san, kau harus mencari teman. Bukan maksudku mengatur hidupmu, tapi memiliki teman itu perlu, kau akan mengerti bahwa mengikat hubungan pertemanan itu penting."

Oreki memang mengatakan itu, tapi ia tak menyangkal bahwa dirinya juga tak ingin melakukan itu. Bukan apa-apa, dia hanya malas, baginya memiliki beberapa teman saja cukup.

Namun, sedikitnya ia peduli terhadap gadis di hadapannya ini. Jalinan pertemanan itu tidak sesepele yang dikira, memiliki banyak teman tentu memiliki kelebihan tersendiri. Baik dari sisi pendidikan, karir, dan lainnya, itu akan sangat membantu.

"Yah, bagaimana ya." (Y/n) terkekeh canggung, lalu mengusap tengkuknya. "Aku ragu." tangannya turun ke bawah, bersamaan dengan kepala menunduk dalam.

"Aku pernah dikhianati temanku. Sedikitnya aku takut, bagaimana jika itu terjadi lagi?" kedua tangan di samping tubuhnya mengepal erat, meremas ujung rok yang dipakai. "Aku tidak ingin merasakannya lagi, rasanya sakit ketika mengetahui hubungan pertemanan yang ku jalani adalah suatu kebohongan."

Oreki memandangi lawan bicaranya dalam diam. Beberapa saat hening menemani, ia memutuskan menghela nafas pasrah. "Shimizu-san," panggilnya, mengangkat tangan untuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku rasa semua itu hanya asumsi mu semata."

"Dengar, kau tau kan, setiap orang itu tidak mungkin sama." Oreki menurunkan tangannya, menatap (Y/n) dalam. "Baik dan tidak itu normal dalam kehidupan, kan? Jangan menyalahkan diri sendiri atas keegoisan orang lain."

"Orang lain yang berkhianat, kenapa kau yang terkena dampaknya?"

Pertanyaan Oreki membuat (Y/n) terdiam, dengan segala pikiran berlalu-lalang dalam benaknya. Ia ingin mengakui hal itu, tetapi tetap saja, rasa takut yang ada selalu mengalahkan gadis itu. Bibirnya tergigit dengan sengaja, melampiaskan rasa bingungnya.

"Sekarang bagaimana jika begini. Seseorang disekitarmu, punya pemikiran sama sepertimu. Dia memutuskan untuk tidak berteman denganmu karena dia takut kau akan mengkhianatinya."

"Kira-kira bagaimana perasaanmu?"

Semua hal yang didengarnya membuat (Y/n) mengangkat kepala dengan reflek, menatap Oreki dengan pandangan tidak percaya. Lelaki itu tampak berwajah datar, tetapi kenapa perkataannya sekeras kepala itu untuk peduli padanya?

"A-aku, aku merasa, sedih?" jawaban (Y/n) terdengar ragu, walau begitu mampu menciptakan senyum pada bibir Oreki. "Kalau begitu, kau sudah mengerti, bukan?" tanya Oreki kemudian.

"Bagaimana rasanya ketika seseorang menghakimi sifatmu tanpa mengetahui apapun tentangmu. Setidaknya cobalah, dunia ini memang jahat, tetapi dunia ini tidak kekurangan orang baik."

(Y/n) tak mengalihkan tatapannya dari Oreki sedikitpun. Semua, semua yang didengarnya tampak begitu tulus, kenapa Oreki repot-repot melakukan hal ini untuknya? Jujur saja, (Y/n) sedikit merinding mendengar Oreki yang pendiam—lebih pada pemalas—ini mengatakan hal sebanyak itu.

Apakah (Y/n) akan tetap pada pendiriannya setelah semua ini? Padahal Oreki pasti kesulitan menyusun kata yang sesuai untuk menyadarkannya, tentu (Y/n) harus menghargainya, bukan?

Namun,

"Terlepas dari hal itu," gumam (Y/n) pelan, mengangkat tangan kanannya untuk mengusap lengan atas yang lain. "Aku masih tidak yakin. Memangnya mereka mau berteman dengan orang sepertiku?" kepalanya kembali menunduk, merasakan sesak dalam dada.

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang