Ia memilih berkeliling sebentar, menatap kamar sang ibu yang sudah lama tidak ia masuki. Kini fokusnya tertuju pada ranjang empuk, lalu mendudukinya dengan perlahan. Dingin, pula sejuk.

Sudah berapa lama kamar ini tidak dimasukin dan bercampur dengan hawa manusia? Fukube pun sepertinya tidak berani jika memasuki kamar ini, bagaimanapun juga ini bukan rumahnya.

(Y/n) masih mengedarkan tatapannya, hingga berakhir pada lemari yang masih berdiri kokoh tepat di hadapannya. Tubuh bangkit perlahan, melangkah sebentar dan segera membuka pintu lemari.

Sedikit gelap, (Y/n) menyipitkan mata untuk meningkatkan konsentrasinya. Tangannya mulai bergerak, mencoba mencari sesuatu diantara tumpukan baju sang ibu yang terlipat rapi.

Diri terkesiap rendah, tangannya berhasil meraih sebuah kotak yang berada di bagian paling belakang. (Y/n) mengeluarkan kotak tersebut dari lemari yang mulai berdebu itu, lalu menatapnya dalam diam untuk sejenak.

Di dalam kotak ini, berisi uang tabungan Akita.

Apa (Y/n) boleh membukanya? Gadis itu sedikit ragu, ini pertama kalinya ia berani memegang benda ini, karena ini bukanlah benda miliknya, rasanya tidak sopan. Namun, jika tidak dibuka lalu akan diapakan? Tidak mungkin jika disimpan saja untuk selamanya.

Kotak itu tampak tidak terkunci oleh apapun. Apa Akita begitu yakin bahwa tidak akan ada maling yang mengambil uangnya? Pikir (Y/n). Gadis itu mengangkat bahu tak acuh, tidak ingin memikirkan sesuatu yang tidak perlu, menambah beban saja.

Ketika kotak terbuka, beberapa tumpuk uang lembaran menyambutnya. Gadis itu tak bisa mengira-ngira berapa jumlah uang yang berada di dalam kotak tersebut. Namun, diantara semua hal yang biasanya menarik minat itu, (Y/n) lebih tertarik pada kertas putih yang tersimpan di atas semua uang itu.

(Y/n) mengambil kertas tersebut, lalu menyimpan kotak tabungan ibunya di kasur, sementara dirinya masih berdiri ketika membuka secarik kertas itu. Coretan demi coretan yang membentuk kata, kata demi kata yang membangun sebuah kalimat, satu-satunya hal yang (Y/n) temukan di dalamnya.

Singkatnya, sebuah surat.

(Y/n) melebarkan netranya ketika iris mata tidak sengaja meloncat ke bawah, menampilkan nama sang penulis surat, membuat rasa keingintahuan (Y/n) meningkat pesat dan segera membaca deretan kalimat itu.

Halo, (Y/n)-chan sayang!

Kamu udah buka surat ini, artinya Ibu udah gak ada, ya? Haha, iyalah, kalau masih ada buat apa buka kotak tabungan Ibu, selama masih dikasih uang jajan kamu gak akan susah-susah ngelakuin itu, hahaha!

Jadi, udah berapa lama kamu hidup tanpa Ibu?

Kamu kesepian, ya?

Maaf, Ibu benar-benar minta maaf. Ibu tidak bisa membimbingmu hingga dewasa, dan menemanimu lebih lama lagi. Padahal Ibu sangat ingin melihat (Y/n) tumbuh sebagai anak yang membanggakan, Ibu sangat ingin berada di sisimu hingga seorang pria melamarmu kelak.

Sekali lagi ibu minta maaf, entah apa yang menyebabkan ibu meninggalkanmu, tetapi ibu benar-benar tidak menginginkannya. Maaf jika Ibu pergi dengan tiba-tiba, kau mungkin terkejut. Tapi tenanglah, Ibu pasti baik-baik saja.

(Y/n)-chan, kau boleh menangis, kau boleh mengingat Ibu, tapi jangan sampai terpuruk dan menyalahkan dirimu sendiri atau orang lain. (Y/n)-chan kuat, Ibu tau itu, kau pasti bisa melewati semuanya dengan baik.

Kau bisa melanjutkan usaha Ibu sebagai penghasilan. Maaf karena kau harus bersusah-payah untuk hidup tanpa Ibu. Dan untuk uang tabungan ini, kau bisa menggunakannya untuk kuliah nanti. Kau sangat ingin kuliah, kan? Pakai saja, Ibu yakin kau akan menjadi orang yang hebat di masa depan nanti.

Sekarang, apa (Y/n)-chan sudah mengingat Mama? Hahah. Sudahlah, tidak apa, kau tidak perlu memaksakan dirimu sendiri. Kau harus tau, setiap detik dalam hidup Ibu, Ibu selalu menyayangimu, sebagai Ibu, maupun sebagai Mama. Ingat atau tidak (Y/n)-chan terhadap Ibu, kasih sayang ibu tidak pernah berubah sedikitpun.

Oh iya, Ibu sering bercanda bahwa anak Ibu bukan kau, melainkan Fukube-kun, ingat? Ibu bercanda. Kau, adalah satu-satunya anak Ibu yang paling Ibu sayangi. Ibu benar-benar bersyukur memilikimu sebagai anak Ibu.

Meskipun Ibu pergi, ibu tidak benar-benar akan meninggalkanmu. Ibu selalu berada di dekatmu, dan menyayangimu. Ibu akan selalu menyayangimu, sebelumnya, kali ini, dan seterusnya, sampai kapanpun.

Bahagia selalu, (Y/n)-chan.

Tertanda, Shimizu Akita, Ibumu.

Tes

Tes

Tes

Gadis itu menutup mulutnya erat menggunakan telapak tangan, menahan isakan yang berlomba-lomba mengeluarkan diri. Tetesan air mata dari netranya jatuh, membasahi selembar kertas yang masih digenggam erat, teramat, hingga sedikit kusut.

Tangisnya pecah, bahunya bergetar hebat, kepalanya pening luar biasa. (Y/n) jatuh terduduk pada lantai yang dingin, menyandarkan tubuhnya pada ranjang. Ia tak bisa mengalihkan tatapannya dari kertas itu, terlalu sakit, ia sama sekali tidak menyangka ibunya menyiapkan hal ini untuknya.

Bagaimana bisa ia berhenti menangis jika ibunya menuliskan hal semacam ini? Rasa rindunya menggebu-gebu, satu bulan tanpa menangkap sosok Ibu dalam pandangnya membuat (Y/n) merasa begitu sendirian.

Ia tau ini bukan keinginan ibunya untuk pergi, tetapi mengapa? (Y/n) masih bertanya-tanya, kenapa Tuhan harus mengambil sosok Ibu darinya? Sekarang harus kepada siapa ia bersandar kali ini?

(Y/n) sedikitnya mengerti jika Tuhan lebih menyayangi ibunya, tetapi apakah Tuhan tidak bisa menyayanginya juga? Dunia gadis itu terasa runtuh tanpa sosok wanita yang penuh kasih sayang itu.

Kosong, hampa, sepi, dirinya hancur tanpa kehadiran ibunya. Berapa kali lagi? (Y/n) sudah lelah dengan sesuatu seperti kehilangan. (Y/n) bisa merelakan semuanya, karena Ibunya selalu ada untuk menghiburnya. Lantas, jika ibunya sendiri tak ada di sampingnya, apa yang bisa (Y/n) lakukan?

(Y/n) menatap lekat pada tulisan tangan ibunya yang begitu indah, merangkai kata yang mengandung pilu begitu banyak. Semua ini malah membuat air matanya semakin deras, surat dari ibunya tak membuat perasaannya membaik.

Tatapannya terpaku pada sebuah kalimat sederhana, yang mengandung makna lebih banyak dari ribuan bintang yang bertebaran.

Ibu akan selalu menyayangimu.

Empat kata itu membuat dadanya sesak, tetapi juga menghangat di saat bersamaan. Setidaknya ia tau, atau mungkin berusaha meyakini, bahwa Ibunya akan selalu berada di sisinya, dan selalu menyayanginya.

(Y/n) melipat kedua tangan dan menyimpannya di atas kasur, lalu menenggelamkan wajah berantakan itu di dalamnya. Ia kembali terisak, tidak berniat berhenti, setidaknya hingga sesak dalam dada berangsur-angsur menghilang.

"Udah lah, kita kan bisa foto lagi nanti, segitu ngefansnya kah kamu sama Ibu?"

Gadis itu mengeratkan genggamannya terhadap lengan pakaian, meringis, menahan nafas seraya mengigit bibir bawah kuat. Bolehkah jika ia berpura-pura tidak tau akan hal ini dan mencoba tidak mempercayainya?

Sekalipun (Y/n) tidak pernah menyangka, bahwa itu adalah foto bersama Ibunya yang berhasil ia tangkap untuk terakhir kalinya.

.
.
.
.
.
**•̩̩͙✩•̩̩͙*˚TBC˚*•̩̩͙✩•̩̩͙*˚*

Waiting for You || Hyouka (OrekixReaders) [✔]Where stories live. Discover now