Dialog Manusia

49 12 3
                                    


Dialog Manusia

Pagiku, kuanggap selalu dihiasi dengan iringan nada-nada kehampaan, itu selalu terjadi seperti melekat di dalam pikiran saja. Kenyataannya, lebih parah dan bobrok dari anggapan itu, entah karena takdir buruk yang dibawakan sejak lahir ini atau karena hal lain yang tak aku ketahui. Gumamku, andai saja Tuhan itu benar-benar ada.

Ku hembuskan nafas dengan panjang, kuandaikan malam yang begitu panjang tadi sudah cukup untuk menjadi waktu yang nyata dan keramat. "Maaf semesta, jika itu aku gunakan untuk menelaah dan mencaci maki cideranya cerita di hari siang ku sebelumnya."

Selanjutnya kumulai kehidupan palsu ini dengan lamunan-lamunan butut, hidup ini memang terasa goblok dan konyol, waktu ku gunakan menyusun rencana-rencana palsu saja. Bagiamana tidak? pagi yang tak lebih terasa seperti kurun waktu yang sedang  mengidap penyakit stroke, sedangkan hegemoni ini menjerat kemanusiaanku dalam bertutur. 

Pagi, itu akan menjadi momen biasa atau momen tak biasa tetap saja sebagai pretelan waktu yang aneh,

 dan karena itulah waktu memiliki peran penting sebagai wahana dan latar untuk melihat cuatan hidup, tentang apa yang akan terjadi hari ini, atau bahkan hanya penghibur rasa pesimis dan optimis yang tak karuan diasumsikan manusia. Begitulah gambaran ringan yang seorang Effict rasakan di setiap paginya.

Manusia yang mengenalnya biasa memanggilnya Eff. Dia seorang sarjana yang sudah genap satu tahun tidak berusaha menemukan tempat mana ia akan menjual tenaga dan pikirannya yang sejalur dengan studinya waktu kuliah. Kehebatan asumtif masyarakat itu mampu menyebutnya sebagai pengangguran, entah dari referensi apa manusia-manusia yang disebut masyarakat ini menyebutnya pengangguran. Yang pasti mereka punya asumsi, menjual tenaga berarti bukan pengangguran.

Bukan sebuah kekonyolan juga, ketika manusia punya kecakapan dan menyerahkan kecakapan itu untuk orang lain atau instansi tertentu yang mampu menggantinya dengan uang. Mudah ditelan dan dicerna pikiran, bahwa menjual tenaga atau pikiran dihadiahi uang, mungkin sebanding atau relevan dengan tenaga dan pikiran yang mereka persembahkan untuk tuannya.

Pagi memang selalalu ramai akan hal baru. Hal baru yang akan membuat hari itu terburu-buru.

Kebisingan narasi yang diucapkan manusia tentunya dianggap sudah mampu menggantikan suara-suara angin dan kicau burung di pagi, itupun keindahan juga. Karena yang terjadi saat ini masyarakat kehilangan kepercayaannya kepada apa yang baru saja terjadi di sekitaranya. Narasi itu, kata manusia-manusia hanyalah gurauan untuk membangun komunikasi sesama manusia saja, dan apabila itu disebut menggosipkan manusia lain tentu saja banyak yang setuju; bentuk kepedulian yang dimanipulasikan.

Ramai dialog manusia memang seharusnya terjadi, meskipun sekedar untuk menjamah pikiran manusia lain. Seperti di warung dekat rumah Effict, warung yang sudah lama berdiri, warung yang biasanya digunakan untuk berdialog para bapak-bapak penggemar politik. Tidak bisa dipahami juga kenapa para bapak-bapak begitu gemar berdialog di warung kopi itu. Praduga Effict mungkin ada relevansinya dengan tampilan warung dan penjualnya, sekiranya itu yang membuat mereka gemar berdialog di warung itu. Tapi ya tetap ada asumsi yang mendalam lagi, tentunya di wilayah latar tempat dan suasana, ini yang sulit dijelaskan asumsinya.

"Bu... pesan mie goreng sama kopi cangkir satu."

"Nggeh mas" respon lunak ibu pemilik warung kopi lalu ia menyalakan kompor.

Warung itu begitu sepi pembeli, hanya ada satu orang pembeli yang sedang menikmati kopi.

Effict duduk di bagian pojok. Sambil duduk ia menoleh jam dinding yang tidak terpasang di samping kanannya. Jam dinding yang tak dipasang di dinding dan hanya tergeletak di meja.

DEKONSTRUKSI RASA (Kamu Memang Cantik, Jika Kamu Ijinkan Aku Akan Mencintaimu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang