Part 6 : Dilema

14 2 0
                                    

'Apakah aku memang tak berhak bahagia? Bahkan untuk terwujudnya sebuah mimpi yang telah lama kudambakan?' batinku.

"Uhuk ... Uhuk ...."

Suara batuk dari kamar sebelah mengusikku yang tengah tertegun di atas pembaringan. Waktu telah menunjukkan pukul 22.50. Namun, aku belum juga bisa terlelap. Padahal lelah telah menyelimuti sekujur raga dan kantuk pun telah menari-nari di pelupuk mata. Pesan dari Akmal tadi siang masih membekas dalam benak, meninggalkan sebuah dilema.

Segera aku beranjak menuju kamar sebelah. Kulihat sosok ringkih Mama tengah memegangi dadanya dengan napas tersenggal-senggal. Tubuh kurus itu terlonjak-lonjak seirama suara batuk yang membuatnya terlihat semakin mengkhawatirkan.

Serta merta, kuhampiri sosok paling berjasa dalam hidupku itu.

"Sesak lagi, ya, Ma?" tanyaku khawatir yang hanya dijawab oleh Mama dengan senyuman. Batuknya memang belumlah mereda, sehingga ia belum mampu berbicara.

Kuberanjak menuju dapur dan segera kembali dengan segelas air hangat. Kudekatkan air hangat itu tepat di depan bibir Mama, agar ia meminumnya. Lantas, kuurut lembut punggungnya. Ya, hanya itu yang mampu kulakukan untuk membantu melegakan napasnya. Ingin rasanya bisa membelikan nebulizer untuk Mama, namun aku belum sanggup untuk membelinya.

"Terima kasih, Nak. Maafkan Mama, sudah mengganggu istirahatmu," ucap Mama setelah napasnya terasa lega dan batuknya mulai mereda.

"Nggak apa-apa, Ma. Ini sudah kewajibanku. Maafkan aku belum bisa membawa Mama berobat secara layak," tuturku lirih.

"Tak mengapa, Nak. Insyaa Allah Mama akan baik-baik saja. Keberadaanmu di sisi Mama sudah lebih dari cukup. Terima kasih, ya, Nak," ucap Mama seraya membelai lembut kepalaku.

"Iya, Ma. Insyaa Allah, aku akan selalu ada di sisi Mama," balasku yang kemudian segera menunduk, menyembunyikan netraku yang berkaca-kaca.

Ya, mungkin memang inilah jalan hidupku. Aku harus rela melepaskan kembali mimpi yang hampir saja kugenggam. Kini terpecahkan sudah dilema itu, antara mimpi atau bakti, mana yang harus kupilih?

Tangisku pecah juga akhirnya, setelah kumenahan diri agar air mataku tak tumpah ketika di hadapan Mama. Beruntung saat itu aku telah kembali ke kamarku, karena Mama memintaku untuk kembali beristirahat. Sekuat tenaga kutahan isakanku agar tak sampai terdengar ke kamar sebelah.

'Maaf, Ma. Tak seharusnya aku begini. Bukannya aku tak rida jika harus tetap berada di sisi Mama untuk merawat Mama. Sungguh, itu sudah menjadi kewajibanku dan tak seujung kuku pun akan mampu menandingi jasa Mama padaku selama ini. Namun, rasanya berat melepas mimpi yang telah lama kudamba, yang kini hampir saja berada dalam genggaman. Terlebih ini bisa dibilang kesempatan terakhirku. Namun, jika aku lebih memilih mimpiku, aku takut ini pun menjadi kesempatan terakhir untuk bisa berbakti pada Mama. Ya Allah, mohon beri aku keikhlasan,' rintihku dalam hati.

Drrt... Drrt... Drrt. Getar ponsel di atas nakas mengundang tanganku untuk meraih benda pipih itu.

[Ukhti? Kenapa tak balas chat ana? Anti baik-baik saja, kan?]

'Kenapa harus sok peduli padaku? Mengapa tak urusi dirimu sendiri saja, Akh?' rutukku dalam hati. Tiada lagi bunga-bunga bermekaran di hatiku kala menerima pesan darinya.

[Tidakkah Ukhti senang dengan kabar gembira yang ana sampaikan? Ukhti terpilih sebagai salah satu penerima beasiswa di kampus tempat ana kuliah. Tidakkah ukhti bahagia, impian Ukhti kini telah di depan mata?]

'Apa yang aku rasakan, masihkah menjadi urusanmu? Bahkan kau tak mengerti apa pun tentang itu. Jadi, berhentilah sok peduli!' Aku masih merutuk dalam hati. Namun segera jari-jemari ini beraksi, memberi balasan atas pesannya. Balasan pamungkas.

[Terima kasih untuk semua kebaikan Akhi selama ini, juga kepedulian Akhi atas mimpi saya. Tapi, maaf, ternyata saya belum bisa. Dan saya harap, Akhi tidak lagi menghubungi saya, terlebih Akhi akan menikah. Lebih baik, kita sama-sama menjauhkan diri dari fitnah]

Klik. Segera kumatikan ponselku. Semoga besok takkan lagi kujumpai pesan darinya.

****

Aku masih enggan beranjak dari sisi pusara yang masih basah itu. Netraku yang tak berhenti menitikkan air mata menatap nanar batu nisan yang mengukir nama separuh dari hidupku. Adisty masih setia menemani, meski pelayat yang lain telah meninggalkan pemakaman sejak tadi.

"Semoga Allah menguatkan kesabaranmu, Sahabatku. Memudahkanmu untuk bisa ikhlas meski berat. Allah tahu betapa besar rasa sayangmu pada Mama, namun Allah lebih menyayanginya. Kini, Mama tak lagi merasa sakit, beliau sudah tenang di alam sana. Dengan baktimu selama ini, kamu telah membuktikan bahwa kamu adalah putrinya yang shalihah. Do'amu akan sangat berarti untuk Mama," hibur Adisty sembari merangkulku.

Namun, air mataku tak kunjung berhenti berderai. Isakanku tertahan dalam lisan yang masih membisu.

Jika sejak awal kutahu, akhirnya akan begini, maka saat itu tak perlu ada dilema itu. Beruntung, pilihanku jatuh pada hal yang tepat. Tak bisa kubayangkan, akan sebesar apa penyesalanku jika pilihanku jatuh pada hal lain. Sungguh, jika aku diberi kesempatan untuk mewujudkan seribu mimpi, maka aku rela menukar kesempatan itu asal Mama tetap ada di sisiku.

'Mama, maafkan aku yang tak pernah mampu melukis bahagia di jiwamu. Aku bukan putrimu yang membanggakan," rintihku dalam hati bernada penyesalan.

"Tidak dengan gelimang harta. Tidak dengan keberlimpahan materi duniawi. Cukup jadikan dirimu shalihah, Nak. Maka, Mama akan luar biasa merasa bahagia, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak ...." Seketika terngiang-ngiang kembali pesan Mama, seolah mencoba menepis segala resahku.

Shalihah ... Layakkah diri ini menyandang gelar itu?

****

Hampa ... kata yang tepat untuk menggambarkan hati yang tengah merana ditinggal separuh jiwa untuk selama-lamanya. Waktu yang terus bergulir rasanya tak sanggup mengikis lara yang seolah kian menebal di dinding sukma. Semakin lama, malah semakin pedih yang kurasa. Sungguh, ini lebih dari sekadar kehilangan. Separuh jiwaku seolah pergi bersamanya.

Belumlah dikatakannya ikhlas, jika masih terasa sakit ... begitu kata pepatah. Namun sungguh, bagiku semua ini memang tak mudah.

'Mama, akankah aku sanggup menjalani hari-hari tanpamu?' batinku.

Aku tidaklah sebatang kara. Namun selama ini, hanya bersama Mama-lah aku terbiasa menjalani hari-hari. Rasa segan menghalangiku untuk menyambut uluran beberapa kerabat agar tinggal bersama mereka. Aku tetap memilih berada di rumah mungil kami, berteman berbagai kenangan yang takkan pernah mati.

3 bulan sudah kepergian Mama dan aku masih belum bisa melepaskan diri dari duka yang menyelimuti jiwa.

"Sampai kapan aku akan begini? Bukankah Mama juga akan turut bersedih, jika aku terus berlarut-larut dalam kesedihan?" lirihku seolah terinsyafi.

"Ya, sampai kapan kamu akan seperti itu? Ibumu ingin melihatmu menjadi gadis yang tangguh. Tidakkah kau ingin membuktikan bahwa dirimu tidak rapuh? Bangunlah, waktu terlalu berharga untuk disia-siakan dalam keterpurukan! Bangkitlah, sudah terlalu lama kamu merasa tak berguna. Saatnya mencari arti diri untuk hidup yang lebih berarti, tak hanya untuk dunia ini, tapi hingga di kehidupan yang abadi ...," ucap seseorang seketika membuatku tertegun.

****

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Finally, I've Found You... Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang