Hitam

301 59 3
                                    


 "Awan sedang mendung..."

Aku tersadar dari lamunan dan mencari-cari keberadaan Tay dengan hidungku. Baunya jauh.

"Kamu mau bergabung denganku di dekat jendela dan memperhatikan awan hitam?" agaknya dia sadar kalau aku ingin tahu keberadaannya, tapi ucapannya terasa salah buatku.

"Tidak, terima kasih, aku sudah kenyang melihat hitam."

"Apatis sekali."

"Kamu bilang apa?"

"Tidak ada apa-apa."

Aku mengisi paru-paruku. "Mungkin kamu akan mengerti jika mengalaminya sendiri lalu tidak seenak perutmu mengatai orang lain apatis..."

"Ayolah... berapa lama kamu sudah buta? Dua bulan, tiga bulan?"

"Dua tahun!" desisku.

Kurasakan pergerakan Tay menujuku, sofa yang sedang kududuki merespon hempasan bokongnya. "Dan sudah selama itu kamu masih saja ingin memposisikan dirimu seolah-olah cuma kamu satu-satunya makhluk di bumi ini yang buta? Masih ingin beranggapan bahwa hidupmu begitu terpuruk? Bahwa kamu cuma punya kegelapan saja untuk diumbar dan diteriakkan ke seluruh benua?"

Aku mengeraskan rahangku. "Kamu gak tahu bagaimana rasanya jadi aku!"

"Oh ya? Kalau begitu mari sadarkan aku!"

"Percuma, kamu tak akan pernah tahu."

"Iya. Aku memang tak akan pernah tahu. Yang kupahami, Tuan Muda New Yang Terhormat, hidupmu semilyar kali lebih beruntung dari orang buta yang pernah kulihat di luar sana. Kamu punya asisten untuk mengawasi langkahmu sementara banyak orang buta di luar sana kerap tersandung ketika melangkah. Kamu punya fasilitas berkecukupan dan tempat tinggal yang nyaman sementara banyak orang buta di luar sana harus jadi pengemis dikarenakan kebutaan mereka, demi apa? hanya demi bisa makan. Terus, kamu punya adik yang begitu menyayangimu hingga─"

"Setidaknya, banyak anak-anak buta di luar sana yang masih punya orang tua..." Aku menunduk dalam. Aku tak bisa menyalahkan perkataan Tay. Dia sepenuhnya benar. "Hidupku begitu beruntung, seperti katamu. Aku punya segala-galanya. Aku hanya tidak bisa melihat, hanya tidak bisa melihat." Aku menggigit bibirku, berusaha membendung tangisku, lagi.

Tay terdiam.

"Kamu bahkan dengan seenaknya mengejekku. Kamu pikir aku menikmati keadaanku? Untuk apa baju mahal dan segala yang kamu sebutkan jika aku tidak dapat melihatnya? Kamu benar-benar menyebalkan. Aku membencimu Tay Tawan. Sangat." Aku menekankan nadanya di akhir kalimat.

"Kamu membenciku?"

"Ya, apa kamu sudah tuli sehingga tidak bisa mendengarnya dengan baik? Aku membencimu."

"Jadi kamu mau melihat lagi?"

Aku diam.

"Apa... Jika kamu bisa melihat lagi, kamu tidak akan membenciku?"

"Ya." Ujarku sekenanya.

Aku merasakan Tay bangkit dari duduknya, karena baunya perlahan mengabur.

"Aku hanya tidak tahan melihatmu seperti ini. Hidupmu masih panjang, New. Menjadi tunanetra bukan berarti dunia berhenti berputar buatmu. Aku mau kamu optimis, gembira dan hidup dengan semangat yang sama seperti dirimu sebelum kegelapan ini. Kamu boleh buta, tapi kamu tidak mati."

Langkah kakinya terhenti. "Jangan gigit bibirmu begitu, nanti sobek."

Aku tertawa pendek dan berhenti menggigiti bibirku.

Tay menuntun tangan kami ke mulutku. Aroma segar teh lemon menyerbu hidungku. Tangan Tay tidak meninggalkan tanganku selama aku menyesap teh dari mulut gelas.

"Kamu akan baik-baik saja kan jika nanti aku tidak ada?"

Aku terdiam. Benar-benar diam. 

A Pair Of EyesWhere stories live. Discover now