"Dia tidak boleh meninggal sebelum tiba hari di mana dia dihukum mati," kata kepala penjara tersebut dengan ketegasan penuh. "Tapi segala risiko bisa saja terjadi. Wajar saja bila dia jatuh sakit. Terakhir kali dia jatuh sakit saat terserang diare tiga tahun lalu. Saat itu dia bisa bersikap baik dan tidak menimbulkan masalah sama sekali. Kupikir kali ini dia juga benar-benar sakit."

"Apa kita harus merawatnya di klinik?" tanya petugas satunya.

"Tentu. Tiga hari yang lalu, salah satu narapidana meninggal karena terkena malaria . Virus bisa saja menyebar dari nyamuk yang masuk melalui ventilasa udara di plafon karena satu jalur. Kalau gadis itu tidak cepat ditangani, kita semua yang ada di sini bisa mati secara bergiliran."

Setelah berdiskusi panjang, mereka akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam sel nomor 203. Tiga petugas mengenakan perlengkapan keamanan seperti helm yang dilengkapi penutup telinga, satu orang memegang senjata api dan mereka berkomunikasi menggunakan bahasa komando berisyarat. Mereka juga membawa masuk seorang dokter yang diberi perlengkapan khusus yang sama untuk melihat kondisi narapidana yang sakit.

Monica masih terbaring lemas, kesadarannya menipis, tubuhnya panas dan kulit pucatnya membuat mereka semakin yakin bahwa narapidana spesial mereka benar-benar sakit. Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk, mereka memasang penutup mulut yang terbuat dari besi pada Monica. Dokter tersebut menyarankan kepada para petugas untuk membawanya ke klinik penjara setelah selesai memeriksa tubuh Monica.

Tubuhnya di baringkan di atas bed dorong dengan kedua pergelangan tangan yang terborgol di rangka besi. Mata Monica terpejam dan ia merasakan tubuhnya seakan melayang di udara. Suara roda bed terdengar menggema saat melewati lorong-lorong sel. Ia tidak tahu seberapa jauh jarak dari sel ke klinik penjara, tetapi ia masih sadar sepenuhnya ketika mereka telah memasukkannya ke dalam sebuah ruangan berbau obat-obatan.

Kepala penjara berbicara dengan dokter yang tadi mendampingi mereka. Sampai di sana, Monica masih sadar sepenuhnya untuk mendengarkan.

"Kami minta kerja sama Anda, Dokter Marcos. Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, berhati-hatilah dengan narapidana yang satu ini. Anda bisa saja mati mengenaskan jika membiarkan mulutnya terbuka," kata si kepala penjara.

Monica merasakan keningnya disentuh oleh telapak tangan seseorang. "Suhu badannya sangat tinggi. Aku akan memeriksa apakah dia benar-benar sakit karena malaria atau hanya lemas karena kekurangan cairan." Dokter Marcos melakukan pemeriksaan kembali pada tubuh Monica, masih percaya bahwa gadis itu benar-benar tidak sadarkan diri. "Gadis ini harus makan dan minum, tapi kau tidak membiarkan mulutnya terbuka walau hanya sedikit," protesnya.

"Aku tidak menganjurkannya, Dokter. Kau bisa melakukan apa saja pada tubuhnya agar asupan makanan bisa masuk asalkan kau tidak membuka mulutnya."

Dokter Marcos adalah tenaga medis yang sudah sepuluh tahun bekerja di penjara Lower Saxony, tetapi ini pertama kalinya ia kebingungan menangani narapidana yang sakit. Akhirnya, ia menyerah dalam satu tarikan napas. "Ini sulit, tapi aku akan mengusahakan agar dia sehat kembali. Kami akan membawa sampel darahnya ke laboratorium untuk diperiksa. Kau bisa mengandalkanku."

"Baik. Kalau begitu, satu anak buahku akan membantu mengawasi. Mereka akan bergantian setiap tiga jam."

Dokter Marcos setuju, membiarkan kepala penjara itu keluar dan meninggalkan satu petugas bersenjata berdiri siaga di depan pintu. Satu perawat wanita membantu dokter Marcos mengganti pakaian Monica yang sudah lusuh dan bau pesing setelah sebelumnya bicara pada si polisi penjaga untuk membiarkannya menutup tirai. Setelah itu, Dokter Marcos mengambil sampel darah Monica kemudian menjauh dari samping ranjang untuk menaruh tube berisi darah itu ke wadah guna dibawa ke laboratorium. Monica sempat mendengar dokter Marcos memanggil si perawat dengan nama Cathrine sebelum menyuruhnya memasang jarum infus ke lengan Monica.

Under The MirageWhere stories live. Discover now