Sore Yang Indah, Seindah Langit Jingga

6 1 7
                                    

Tatkala langit berubah menjadi jingga. Seperti biasa, aku pergi ke dapur, meracik kopi, menabur sedikit gula. Sedikit saja, karena percuma banyak-banyak, takkan lebih manis dari senyumnya wanita yang selalu berkeliaran dalam jiwa.

Di samping rumah sebelah barat, aku duduk menghadap ufuk. Menemani senja sampai di jemput gulita.

Secangkir kopi dan rindu ku aduk bersama. Seruputan pertama seperti biasa, spontan dengan "aaahhh" nya.

Masih dengan indahnya jingga, tiba-tiba hp berdering dengan nada yang sedikit genit membuat layar berkedip menuntun rasa penasaran untuk membacanya.

"Ahh palingan juga pesan dari operator untuk segera isi pulsa," kataku sambil menyeruput kopi untuk kali kedua.
Ternyata benar saja, pesan dari operator.

Tapi sebelum seruputan ketiga, hp ku berdering lagi, muncul satu pesan singkat yang membuat aku terkejut dan seakan tenggelam bersama indahnya terang yang enggan berganti nama menjadi malam.

"Kamu apa kabar?" kata wanita yang selalu berkeliaran dalam jiwa.

Sesaat sebelum membalas pesannya, aku terus meyakinkan diri bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Tak sampai dua menit, aku langsung mengetik, dengan tangan gemetar yang berusaha untuk tenang.

"Kabar aku baik, gimana kabarmu?" balasku. Sambil menunggu balasan, bibirku kembali menyeruput kopi sambil mencoba untuk menciptakan bait-bait puisi.

"Rindu, obatnya adalah temu. Tapi, menyapa saja sudah cukup untukku." Seperti itulah kata-kata yang tertulis dalam lembaran puisiku.

Tak berselang lama, notifikasi pesan kembali muncul.

"aku juga baik." balasnya

Belum sempat aku membalas, ia kembali mengetik. Dag dig dug campur aduk lah perasaanku. Lama sekali ia mengetik, satu menit yang terasa satu tahun. Rasa penasaran pun terus menggunung, rasa ingin segera mendakinya.

Dan akhirnya, yang ditunggu-tunggu muncul juga.

"Kamu lagi apa, sudah lama ya kita tidak ngobrol dan bertukar cerita. Hmm kamu ada waktu ga, aku pengen cerita nih, hehe?"

Hati yang masih bergejolak karena tiba-tiba menyapa, ditambah bara yang menyulut dada, membuat aku terdiam tak mampu berkata.

Tapi, kupikir tak banyak lagi waktu untuk melamun, langit keburu gelap. Dengan kata yang tak sempat dirangkai, aku harap balasanku tak menjadi bangkai.

"Aku lagi ngopi, iya sudah lama ya kita tak bertukar cerita, tujuh purnama mungkin ada, hehe." Balasku yang pertama dengan sedikit bercanda.

Lalu aku mengetik lagi untuk merespon ajakannya bertukar cerita.

"Kalo sekarang waktunya terlalu mepet, sebentar lagi magrib. Terlalu singkat untuk bercerita. Gimana kalo nanti malam aja?" balasku sambil bertanya, dan berharap menyetujuinya.

"Iya, benar juga ya, sebentar lagi magrib, yaudah boleh nanti malem, nanti kamu chat aja ya kalo udah ada waktu." Begitu balasnya, sederhana namun membuat raga seperti berpisah dengan jiwa. Raga yang terdiam, jiwa melayang-layang tak karuan.

Akhirnya, dengan seruputan terakhir, aku resmi berpisah dengan kopi, juga siang.

Kumandang adzan membuat gembira menjadi sempurna. Soreku kali ini, benar-benar ceria. Kuharap seterusnya.

----------
Penulis : Iid Muhyidin

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sore Yang Indah, Seindah Langit JinggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang