"Lo mati bunuh diri dan dengan sengaja buat gue terlihat kayak pembunuh. Seneng kan lo lihat perlakuan orang-orang ke gue setelah lo mati?"

Almara mengingat kejadian di masa lalu bagaimana dirinya diperlakukan tidak adil karena Vaniya.

*Flashback On*

Saat itu sore hari, Almara duduk di pasir pantai sambil menatap matahari yang akan terbenam. Hembusan angin menerpa wajahnya membuat rambut yang tergerai beterbangan. Matanya perlahan terpejam menikmati suasana yang tenang. Melupakan sejenak masalah yang menimpanya beberapa hari yang lalu.

Almara membuka matanya dan menangkas sedikit roknya. Dia sedikit meringis saat menyentuh lebam kebiruan di kakinya. Kemarin, ayah Almara menendang seluruh tubuhnya karena dirinya pergi keluar sendirian. Alasannya sederhana, dirinya ingin bertemu dengan Ruha dan menyelesaikan masalah mereka.

"Sudah membuat keputusan?"

Seorang pria kini berdiri tepat di hadapan Almara yang sedang duduk. Pria yang memakai pakaian serba hitam.

"Aku tidak akan pernah menerima tawaranmu." Ucap Almara sambil membuang muka ke samping.

"Bukankah hidupmu tidak adil selama ini? Aku tahu kamu ingin membalas dendam, kan?"

"Orang tuamu, bahkan semua orang yang kamu sayangi mengkhianatimu. Apa kamu ingin menghabiskan sisa hidupmu dengan tidak adil?"

Almara terdiam sebentar mencerna semua ucapan Zerio, pria yang selama ini mengaku sebagai penghancur. Dalam sehari Zerio sering menemuinya untuk bertanya apakah dirinya akan menerima tawaran.

"Almara!" Panggilan seseorang membuat Almara menoleh ke belakang. Dia mendapati Vaniya yang kini berjalan ke arahnya.

"Silahkan buat keputusan setelah melihat apa yang akan di perbuat wanita itu." Ucap Zerio sebelum menghilang dari hadapan Almara.

Almara berdiri dari duduknya saat Vaniya sudah dekat darinya. Mereka beradu tatap lama tanpa bicara sepatah kata pun.

"Apa yang kamu katakan pada Ruha sampai dia membelamu di depanku?" Tanya Vaniya.

"Lalu, apa masalahnya dengamu? Dari awal Ruha milikku." Ucap Almara sambil berjalan menjauh dari hadapan Vaniya.

Vaniya mengejar Almara dan menarik tangannya sampai tersentak ke belakang. "Aku akan membuat Ruha membencimu dan kembali padaku!"

Almara melepaskan tangannya dengan kasar. Ucapan Vaniya terdengar gila di telinganya.

Tiba-tiba Vaniya mengeluarkan pisau dari belakang dan mengarahkan tepat ke lehernya. Dalam hitungan detik Vaniya menggoreskan pisau tersebut ke lehernya.

Almara yang melihat itu membulatkan matanya kaget. Dia tidak pernah menyangka Vaniya akan berbuat seperti itu.

"Vaniya!" Teriak Almara saat tubuh Vaniya merosot ke bawah. Almara menekan luka di leher Vaniya agar pendarahannya berhenti.

"Kalau aku tidak bisa memiliki Ruha, kamu juga tidak bisa, Almara."

Almara menatap Vaniya yang tersenyum miring menatapnya. Dia menggelengkan kepalanya berkali-kali saat Vaniya menutup matanya rapat.

"Vaniya! Sadarlah!"

"Apa yang terjadi?" Ruha berlari ke arah Almara dan Vaniya.

Ruha mengambil alih Vaniya dan memeriksa keadaannya. Dia menatap Almara tidak percaya saat tidak merasakan denyut nadi Vaniya.

"Apa yang kamu lakukan?!" Tukas Ruha yang membuat Almara langsung menatap Ruha.

"Kenapa kamu membunuhnya?!" Bentak Ruha dan berhasil membuat Almara terlonjak kaget.

"Aku tidak membunuhnya, dia sendiri yang menggoreskan pisau ke lehernya."

"Apa itu masuk akal? Aku tahu kamu membenci Vaniya, tapi kamu tidak berhak untuk membunuhnya!"

Almara menggelengkan kepalanya berkali-kali. Bukan dia yang membunuh Vaniya, tapi kenapa dia dituduh?

Tatapan Almara beralih ke Vaniya. Dia baru berbaikan dengan Ruha tapi Vaniya sudah mengacaukan semuanya. Dia tidak akan pernah bisa menerima hal itu. Almara menarik kerah baju Vaniya dan mengguncangkan tubuhnya berkali-kali.

"Bangun! Berhenti berbohong, Vaniya! Aku tidak membunuhmu!"

"BANGUN!"

Plakkk

Satu tamparan keras mendarat di pipi kiri Almara. Dia memegang pipi kirinya yang perih akibat tamparan dari Ruha. Dapat dilihatnya kini tatapan Ruha yang penuh amarah.

"Apa ini lelucon bagimu, hah?!"

"Kamu sudah membunuh Vaniya! Jangan bertindak seperti kamu korbannya!"

Semua ucapan Ruha bagai ribuan tombak yang menghujam jantungnya. Bahkan sampai akhir pun tidak akan ada orang yang akan percaya padanya. Pada akhirnya dia hanya sendirian menyimpan semua kebenaran.

"Kamu tidak percaya dengan penjelasanku?" Tanya Almara yang membuat Ruha mengepalkan kedua tangannya.

"Bagaimana aku bisa percaya dengan pembunuh?"

"Kemarin kamu berkata akan percaya padaku!"

"Jadi karena itu kamu sampai berani membunuh Vaniya?"

Almara memejamkan matanya. Sakit sekali saat orang yang paling disayang menuduhnya. Entah bagaimana lagi dia harus meyakinkan Ruha kalau dia tidak membunuh Vaniya.

Dari kejauhan Almara melihat banyak pengawal yang berlari ke arah mereka. Entah sudah direncanakan atau memang kebetulan, para pengawal itu langsung menahan kedua tangan Almara dan memaksanya untuk berdiri.

Saat Almara akan dibawa para pengawal, Ruha hanya diam memperhatikan Almara.

*Flashback Off*

"Gue harus nahan semuanya gara-gara lo!" Almara menangis dengan pilu setelah mengingat semuanya.

Vaniya seolah tuli dan buta dengan penderitaan yang dialami Almara. "Kalau lo menderita, semuanya gara-gara lo sendiri. Lo yang udah buat hidup lo menderita."

"Harusnya lo minta maaf dan ngembaliin semua milik gue! Lo yang jadi peran antagonis dalam hidup gue, kenapa lo nyalahin gue!"

"Lo mau buat hidup gue semenderita apa lagi, hah?! Apa semuanya gak cukup buat lo?!"

Almara lagi-lagi mendekat ke arah Vaniya dan berusaha meraih tubuhnya sendiri. Tapi tangannya tertarik ke belakang.

"Mau nerima tawaran gue lagi?"

Pengantin Untuk Hantu ✅Where stories live. Discover now