"Ayo, Sayang. Kita pulang. Mas akan menemani kamu seharian ini. Jangan berpikir yang tidak-tidak. Semua tidak seperti yang kamu duga. Percayalah pada Mas."

"Aku melihatnya lagi, Mas. Aku melihat tatapan mata Mas pada perempuan itu. Tatapan Mas itu sama seperti tatapan papa dulu saat menatap Tante Rena. Sama persis!"

Naluri Alana sangat tajam. Pengalaman telah mengasah ketajaman intuisinya. Alana ini korban keegoisan orang tua. Makanya ia trauma.

Vina termangu. Ia sama sekali tidak menyangka, kalau Alana mempunyai kepribadian lain yang seperti ini. Padahal pertemuan mereka kemarin-kemarin, Alana terlihat sangat santun dan anggun.

"Alana benar bukan?" Sesaat setelah bayangan Alana dan Aria menghilang dan pintu ruangan tertutup, Rajata mulai bersuara. Saat ini Rajata tengah bersandar di meja, dengan kedua tangan saling bersedekap. Rajata memandang lurus-lurus padanya. Vina menelan salivanya sendiri. Ia berusaha menenangkan dirinya. Ia tidak boleh tampak gugup.

"Benar apa? Maaf saya tidak tahu apa maksud ucapan Bapak?" Vina konsisten dengan ucapannya. Ia tetap tidak akan mengakui hubungannya dengan Aria. Ia memang tidak punya hubungan apa-apa dengan Aria sekarang. Situasi sedang memanas seperti ini. Dan ia tidak ingin menambahi kayu ke dalam api yang tengah berkobar.

"Saya permisi dulu, Pak. Saya masih banyak pekerjaan." Vina bangkit dari sofa dengan hati-hati. Kepalanya pusing sekali. Gerakan tiba-tiba pasti akan membuatnya oleng.

"Tunggu dulu!" Teguran Rajata membuat Vina urung melangkah. Ia berdiri tegak, menunggu instruksi Rajata. Meskipun untuk bisa berdiri tegak, ia harus memegang sandaran sofa.

Vina memperhatikan Rajata berjalan ke arah sofa. Ia membuka tas kerjanya, yang tadi ia letakkan sembarang di atas sofa. Rajata mencabut sehelai map berwarna coklat.

"Kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Itulah gambaran dirimu." Vina diam saja. Ia berupaya tetap bersikap tenang.

"Kamu boleh pergi ke mana saja, setelah kamu menandatangani ini." Rajata melempar map berwarna coklat itu ke atas meja." Vina membungkuk dan meraih amplop itu tanpa banyak bicara.

Namun tatkala ia mengeluarkan isi di dalam amplop coklat, ia tersentak. Ternyata dokumen itu berisi surat resignnya. Rajata telah mempersiapkannya segalanya rupanya.

"Saya tidak merasa membuat surat pernyataan resign ini. Jadi saya tidak bersedia untuk menandatanganinya," tukas Vina tegas.

Rajata menggeram kasar. Ia kini menegakkan tubuhnya yang sebelumnya dalam posisi bersandar di depan meja. Ia bahkan berjalan beberapa langkah untuk mendekatinya. Vina bergeming. Ia tetap berdiri teguh. Dia menolak diintimidasi oleh Rajata.

"Baik. Kalau kamu tidak mau menandatangani surat resign ini, maka saya akan memberikanmu surat pemecatan secara tidak hormat. Kamu lebih memilih opsi kedua?" cetus Rajata sinis. Vina menggeleng.

"Tidak dua-duanya, Pak. Lebih tepatnya, saya tidak bersedia dipaksa resign ataupun dipecat tanpa alasan oleh Bapak."

"Alasan? Baiklah. Katakan saja sebagai pemilik perusahaan ini, saya tidak menyukai kamu. Apakah alasan itu cukup?" Vina lagi-lagi menggeleng. Walau setelah melakukan hal itu, kepala makin pusing. Ia merasa ruangan mendadak berputar.

"Bapak memang pemilik perusahaan ini. Tetapi itu bukan berarti Bapak bisa memecat saya secara sewenang-wenang. Saya hanya bersedia dipecat kalau saya melakukan kesalahan fatal yang masuk akal seperti ; melakukan penipuan, penggelapan, kinerja yang buruk dan sebagainya. Namun tidak untuk alasan tidak masuk akal, seperti karena bapak tidak menyukai saya. Itu bukanlah jawaban yang profesional. Saya tidak terima."

Bukan Perempuan Biasa( Sudah Terbit Ebook)Where stories live. Discover now