"Apa?" dia bertanya terheran.

Aku menghela napas sebelum berkata sedikit lebih lambat kemudian. "Aku akan ke Paris. Aku sudah mendaftar sejak awal tahun di sebuah sekolah seni dan menunggu cukup lama untuk dapat di terima."

Ia tersentak untuk beberapa saat, terlihat jelas ia tak tahu apa yang akan ia katakannya. Namun, setelah beberapa menit saling bertatapan, ia mengumpulkan ketenangannya dan berkata.

"Aku turut gembira untukmu," ia memasang ekspresi ceria (palsu) namun matanya mengkhianati senyumnya.

"Tidak.. kamu tidak," sambil bergumam, menyilangkan lengan di atas dadaku.

"Sialll, oke. Ini tidak seperti kamu akan berangkat besok. bukan? kita masih tetap dapat menjalaninya, bukan? maksudku kita masih memiliki waktu," ia mencoba mencari alasan, mencoba terlihat tenang sebisa mungkin. Ia berhenti sesaat, mencari mataku sebelum melanjutkan. "kan?"

Walaupun ia mencoba menyembunyikannya, rasa depresi dari suaranya terdengar jelas seraya membutuhkanku untuk berkata ya. Tapi aku tahu kebenarannya. Aku melihatnya dengan tatapan sedih. itulah masalah sebenarnya.

"Luke," aku mendesah, "Aku akan berangkat besok."

Matanya melebar ketika kata-kata lepas dari mulutku.

"Kamu apa?" berkata dalam keadaan tidak percaya

"Aku akan berangkat besok," aku mengulanginya terbata-bata

Ia berteriak "hah", hampir terlihat jika dia sedang tertawa, sambil tersungkur di atas lapisan selimut. Ia meletakkan tangan keatas wajahnya, mengosok-gosokkannya secara terus menerus.

Kemudian ia terduduk, menatapku dalam keadan terluka, kesedihan, pengkhianatan dan amarah.

"Sial.. Mengapa kamu tidak mengatakannya padak- " ia memulai.

"Aku tak yakin bagimana reaksimu." Aku menjawabnya bersamaan dengan air mata yang mulai turun.

"Kenapa sekarang, kenapa baru sekarang!" ia menyindir.

"Mengapa kamu tidak mengatakannya padaku?" Ia kembali bertanya, membuang tangannya ke udara.

"aku takut," saya berbisik, mencoba sebisa mungkin untuk tidak terdengar sedih.

Bahkan oleh gelapnya malam, aku masih dapat melihat air mata terbentuk di mataku.

"Aku adalah pacarm-." menghentikan dirinya sendiri dan menggelengkan kepalanya, "Kamu seharusnya mengatakannya padaku! Aku setidaknya dapat memberikan lebih banyak waktu denganmu daripada bermain dengan band sialanku!"

"Jangan berkata seperti itu!" aku menjerit. Itulah masalahnya. Aku dan Luke tidak pernah melabeli diri kami. Kami selalu berpikir bahwa kami adalah sahabat dengan sesuatu sedikit lebih antara kami berdua. Tapi tak lebih dari itu.

"Mengapa kamu peduli? Kamu bahkan tidak mengenal mereka!"

"Luke, tenangl-"

"Aku sangat tenang!" Ia marah sambil menyilangkan lengannya. Melihat kearahku dengan kening mengerut. Matanya dipenuhi dengan frustasi dan ia menatapku dengan tatapan merendahkan. Namun tatapannya melembut ketika melihat uraian air mata di wajahku. Ia mendesah dan menggelengkan kepalanya.

"Ughh, Brooke. Apa yang telah kamu perbuat terhadapku?" ia berkeluh sambil kembali berbaring, suaranya sedikit meredam dengan tangan yang menutupi wajahnya.

"Maafkan aku."

Ia mengambil tanganku dan membawanya ke sisinya, memegangiku secara kokoh di atas lengannya.

Amnesia by Irh Vanillacid (novel translation)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora