"Saya tidak tuli dan juga tidak buta. Saya minta kalian berdua ke ruangan saya setelah jam makan siang berakhir." Rajata meninggalkan mereka berdua setelah memberi perintah.

"Baik, Pak." Vina dan Putri menjawab bersamaan.

"Dasar adek pelakor nggak tahu diri. Gue yakin lo pasti juga ada main dengan Pak Aria, makanya karir lo melesat seperti anak panah. Kakak adek sama saja." Putri melontarkan makian dengan wajah menghina. Putri ini memang benar-benar bertalenta seperti artis sinetron. Aktingnya sungguh sempurna.

"Daripada waktu lo habis digunakan untuk menduga-duga hal yang tidak berguna, lebih baik lo manfaatkan untuk hal yang lebih penting. Mengevaluasi kinerja lo misalnya. Pikirkan, kenapa lo yang udah kerja hampir lima tahun, tidak pernah dipromosikan."

Vina membalik ucapan Putri sembari tersenyum manis. Inilah dirinya. Ia tidak suka keributan atau memaki-maki dalam bahasa yang frontal. Cukup dengan sepatah dua patah kata. Tapi langsung mengenai sasaran rasanya lebih memuaskan bukan?

"Cakep! Gue suka pembalasan sarkas begini. Rasanya langsung nyess ke hati. Senep... senep lo sono." Suci menyambung sembari mengacungkan jempolnya.

Putri menjauh sambil melotot. Terlihat sekali kalau ia dongkol, namun tidak berani membalas. Ada Rajata yang duduk di belakang mereka semua dengan secangkir kopi di tangan.

Dengan berjalan beriringan bersama Suci dan Vina menghampiri ibu kantin. Vina memesan makanan yang sama dengan Suci. Setelahnya Vina meminjam sapu dan pengki. Vina bermaksud membersihkan tumpahan bekalnya. Namun sang ibu kantin mencegah. Ibu kantin kemudian meminta salah seorang pekerjanya yang membersihkan. Syukurlah. Dan bagi Vina waktu makan siang di hari itu terasa sangat pendek. Karena tanpa bisa ditahan Vina kerap melirik ke seberang meja. Belum lagi jika teringat bahwa dirinya harus menemui Rajata setelahnya. Vina makin senewen karenanya.

***

"Apakah kalian berdua tahu bahwa prilaku kalian berdua itu mencerminkan karakter kalian?"

Inilah kalimat pertama yang Vina dan Putri terima, saat berdiri di hadapan Rajata. Saat ini mereka memenuhi panggilan Rajata ke ruangannya.

"Tahu, Pak," jawab Vina dan Putri serempak.

"Kalau tahu, mengapa kalian berdua mempertontonkan ketidakdewasaan kalian di tempat umum?!" Kuatnya suara Rajata membuat Vina dan Putri nyaris melompat kaget. Namun mereka berhasil tetap berdiri di tempat, tanpa memperlihatkan reaksi yang berlebihan. Hanya bahu mereka berdua yang sedikit bergetar.

"Maaf, Pak. Kami berdua salah. Kami berjanji bahwa kami berdua tidak akan mengulangi kesalahan kami lagi," ikrar Putri takzim. Vina mengamini dengan menganggukkan kepalanya. Jujur, memang sudah seharusnya Putri yang menjawab. Toh dirinyalah yang mencari gara-gara. Ia hanya hanya sekedar menanggapi provokasi Dinda.

"Bagi saya, perilaku staff-staff saya itu sama pentingnya dengan pekerjaan. Karena apa? Karena kemampuan kalian untuk bekerjasama dengan rekan kerja akan mempengaruhi hasil kerja kalian. Bagaimana proyek bisa goals kalau staff-staff di dalamnya saling gontok-gontokkan. Ingat, saya tidak akan pernah mempromosikan jabatan kalian jika kalian tidak bisa bekerjasama dengan baik dan positif."

"Kami mengaku bersalah dan kami benar-benar minta maaf, Pak. Kami juga menyesali insiden memalukan saat berada di kantin tadi. Kami bersumpah, Pak!" Lagi-lagi Putri kembali meminta maaf."

"Baik. Ini adalah kesempatan pertama sekaligus terakhir kalian. Kalau kalian mengulangi kesalahan yang sama, saya tidak akan berpikir dua kali untuk menyingkirkan kalian berdua."

"Terima kasih, Pak." Putri membungkukkan tubuhnya dengan takzim. Vina mengikuti tanpa bersuara.

"Kamu bisu?" Satu kalimat Rajata yang diucapkan seraya memandang Vina sinis, membuat Putri tersenyum tipis. Namun dengan cepat Putri mengubah air mukanya kembali biasa.

Bukan Perempuan Biasa( Sudah Terbit Ebook)حيث تعيش القصص. اكتشف الآن