1. Dream Wedding

15.5K 1.4K 90
                                    

WAJIB BACA INI DULU SEBELUM BACA CERITANYA.

Halowww ketemu lagi sama Couple Kanya-Hilman. Ini adalah novel ketiga mereka. Entah kenapa pengin aja nulis cerita mereka lagi, abisnya kalau nulis Gara-gara Corona aku lagi gak mood karena berita tentang si covid makin serem.

Jadi cerita ini mau aku terbitkan, tadinya nggak mau publish di Wattpad, tapi setelah dipikir-pikir temen-temen di Wattpad kan nggak semua follow aku di Instagram Alnira_03 nanti kalau aku nerbitin bukunya malah gak dapet infonya, makanya aku akan publis beberapa BAB di Wattpad.

Cerita ini udah aku tulis 50%, rencananya sih bulan ini udah kelar. Nah karena udah ada peringatan di awal, aku harap teman-teman mengerti, jangan nanti tiba-tiba protes kenapa langsung diterbitkan, mau baca ya monggo. Nggak juga nggak pa-pa.

Mau beli bukunya ya Alhamdulillah, nggak juga nggak pa-pa. Oh ya ceritanya nanti agak panjang, cerita di buku tiga lebih complicated tentu tetap dengan manis-manis ala mereka. Sooooo buat yang mau baca selamat baca.

******

Bicara tentang pernikahan impian, pastinya setiap orang punya dream wedding-nya masing-masing. Ada yang ingin pernikahan mewah like a fairytale, ada juga yang ingin pernikahan sederhana yang hanya dihadiri oleh keluarga dan teman-teman terdekat saja. Ada yang ingin menikah di pinggir pantai, garden party dan hotel mewah. Untukku sendiri, aku ingin menikah dengan suasana yang tidak terlalu ramai, hikmat dan sederhana di rumah saja, cukup akad nikah tanpa resepsi.

Membayangkan harus menghabiskan berjam-jam menyapa para tamu yang membludak padahal nyatanya teman-teman yang aku kenal hanya sedikit, begitu melelahkan. Baru membayangkan saja rasanya energiku sudah habis, apalagi harus menjalaninya. Aku orang berani tampil di depan umum, tetapi selalu merasakan energiku terkuras habis setelahnya.

Namun, masalah utamanya adalah tidak semua keluarga setuju dengan keputusanku, banyak yang menginginkan aku menikah seperti orang pada umumnya di lingkungan ini. Ada akad nikah dan resepsinya, sepertinya sebuah aib kalau hanya menggelar akad nikah saja, padahal apa yang salah? Aku tetap mengundang tetangga dan menyiapkan makanan yang layak. Hanya saja acaranya dipersingkat.

"Kamu kan nikah sama polisi, masa cuma akad nikah saja?" protes salah satu tanteku.

"Ya terus kenapa kalau mau menikah dengan polisi?" tanyaku.

"Kamu ini, lihat lah itu anakanya Bu Ita, nikahnya di gedung mewah. Masa kamu cuma di rumah, kan malu."

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. "Sayang uangnya, Tan. Mending untuk beli kebutuhan setelah menikah."

"Sekali seumur hidup, lho. Kamu ini gimana sih, Nya."

Kalau sudah keluar kata-kata 'sekali seumur hidup' aku menyerah dan tidak mau meneruskan perdebatan ini. Jadi kenapa kalau sekali seumur hidup? Apa itu artinya harus membuang-buang uang? Bahkan ada yang sampai berutang? Untuk apa sih sebenarnya? Apakah hidup ini hanya butuh penilaian orang lain?

Aku tidak menyalahkan kalau ada yang ingin menikah dengan pesta yang mewah, toh selama mereka nyaman dan mampu kenapa tidak. Dalam kasusku, aku tidak nyaman harus menjadi pusat perhatian terlalu lama, beda cerita kalau aku mengisi seminar kepenulisan.

"Aku masuk kamar dulu," kataku pada ibu, kakak dan tanteku yang masih duduk di ruang tengah.

"Si Kanya ini susah banget ya dibilangin." Kata-kata itu masih bisa kudengar dari Tante Ana yang super menyebalkan. Dia adik ipar ayahku yang paling tidak aku sukai, kerjanya hanya ikut campur saja. Padahal ibuku sebenarnya sudah setuju dengan pernikahan impian yang aku inginkan selama ini. Hanya saja, namanya orangtua terkadang beliau juga bisa berubah pikiran kalau mendengar masukan-masukan yang ada, termasuklah dari tanteku ini.

Aku membaringkan tubuh ke kasur lalu membuka ponsel, tidak ada pesan atau panggilan apapun dari Bang Hilman di sana. Dia masih seperti pertama kali aku mengenalnya, tidak perhatian dan cuek. Walaupun sebenarnya, sudah jauh lebih banyak berubah. Apalagi sejak aku pulang umroh, aku merasakan sekali perbedaannya. Mungkin ini jawaban dari doa-doaku di rumah Allah.

Pembahasan tentang pernikahan impian dengan keluargaku sudah sering dilakukan, padahal jujur saja Bang Hilman sendiri belum bisa memutuskan kapan tanggal dan bulan yang pasti untuk kami melangsungkan pernikahan. "Tahun depan," hanya itu yang ia katakan saat aku bertanya padanya. Ternyata memang kesabaranku masih tetap diuji.

Aku mencoba menghubungi Bang Hilman, setelah mendengar beberapa kali nada tunggu akhirnya panggilanku dijawab. "Assalamuaikum, kenapa, Dek?" sapanya.

"Waalaikumsalam. Abang lagi di mana?"

"Lagi di rumah," jawabnya. Sayup-sayup aku bisa mendengar suara ponsel, 'enemy has been slain'

Aku mengembuskan napas. "Oh lagi main Mobile Legend," ucapku.

"Kok tahu?"

"Tahu lah, itu kedengeran suaranya. Kirain Abang giat. Kanya lagi pusing nih."

"Pusing kenapa?"

"Nanti aja deh ceritanya kalau Abang udah nggak sibuk sama game." Percuma saja menceritakan keluh kesahku sementara dia sibuk bermain game di ponselnya. Laki-laki ini mana bisa multitasking, yang ada pasti dia hanya iya-iya saja.

"Udah nih, ceritalah mau cerita apa?"

"Tante Ana nih, nyebelin banget. Maksa banget kayaknya mau resepsi, padahal Kanya udah bilang, maunya cuma akad nikah aja," ceritaku padanya.

"Oh ya udah diemin aja."

"Abang sih enak ngomong diemin aja, Kanya capek diomelin terus. Katanya tuh kalau nikah sama polisi tuh harusnya di gedung mewah lah, kayak anak tetangga di sini."

Mendengar ucapanku itu membuat Abang tertawa kencang. "Ya udah yang nikah kan kita bukan dia, dan bukan anak tetangga," jawabnya santai. Bang Hilman memang tipe yang tidak pernah mau memperpanjang masalah beda sekali dengan diriku yang menganggap semua masalah itu rumit.

"Lagian kapan sih Abang mau ketemu sama Ibu ngomongin masalah nikah ini?" tanyaku. Walaupun ia sudah memberikan cincin sewaktu aku pulang dari Jogja waktu itu tetap saja belum ada ucapan langsung darinya pada ibuku. Katanya sih nanti, tahun depan. Namun, ibuku masih belum yakin kalau belum ada ucapan Hilman secara langsung. Kalau dipikir-pikir belum ada lamaran resmi, tetapi kenapa aku pusing sendiri memikirkan pernikahan nanti. Kalau ternyata Bang Hilman hanya janji-janji saja bagaimana? Kan sudah banyak contohnya. Walaupun yang dulu tidak pernah sampai membelikan sesuatu untukku.

"Sabarlah, tahun depan. Abang kan mau naik pangkat dulu, satu-satu, Dek," ucapnya.

"Abang serius nggak sih sama Kanya?"

"Seriuslah."

Aku menghela napas panjang. Entah kenapa masih ada ketakutan dalam diriku kalau ternyata dia tidak serius. Bagaimana kalau nanti Bang Hilman akhirnya meninggalkanku dan menikah dengan orang lain seperti laki-laki lain yang dekat denganku sebelum dirinya? Wajar kan kalau ketakutan itu masih ada?

"Tahun depan itu lama banget tahu!" kataku kesal.

"Nggak sampai dua bulan lagi tahun depan, Dek."

"Emangnya kita nikahnya awal tahun?"

"Ya nggak sih, abis lebaran."

"Tuh kan, masih lama!" kataku kesal.

Bukannya menenangkanku yang sedang kesal dia malah menggodaku. "Kenapa sih, Dek, mau cepet-cepet banget? Cie Adek genit nih mau cepet-cepet nikah."

"Bukan gitu Abang! Umur Kanya udah berapa. Makin lama makin tua nanti."

"Ya udah nggak pa-pa, Abang nggak mempermasalahkan umur Adek."

"Udalah pusing ngomong sama Abang. Bye!" Aku langsung mengakhiri panggilan itu, membahas masalah ini pada dirinya tidak akan pernah bisa serius. Ya Allah, apa benar dia jodohku?

*****

Palembang 17 Juli 2021

Happy Ending?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang