Bab 14 (Ian dan Jupiter)

Mulai dari awal
                                    

"Nyaman juga kalian di sini, ya? Aneh, selama aku ada di pekarangan ini, tidak pernah kuketahui bahwa di sini ada karavan."

"Itu sama sekali tidak aneh," kata Pete, "karena memang kami atur agar tidak bisa kelihatan. Kami menutupinya dengan tumpukan barang bekas. Bahkan paman dan bibi Jupiter saja tidak bisa ingat lagi di mana letak karavan ini!" "Hebat!" kata Ian bersemangat. Bob selesai menelepon. "Telepon di kamar kedua orang Nanda itu tidak diangkat, Satu," katanya. "Pegawai hotel yang kemudian kutanyai tidak tahu di mana mereka berada. Karenanya kukatakan padanya bahwa nanti kita akan menelepon lagi. Aku tidak mau meninggalkan pesan, karena khawatir kalau jatuh ke tangan musuh."

"Itu pertimbangan yang tepat, Bob," kata Jupiter. "Mungkin mereka sedang mengamat-amati Red Lion, seperti kuusulkan. Salah seorang dari mereka mestinya sebentar lagi kembali ke Miramar." Ia menoleh ke arah Ian. "Ngomong-ngomong, apa rencanamu jika tidak ketemu kami tadi, Ian?"

"Maksudku hendak kembali ke Red Lion apabila keadaan kurasa sudah aman. Aku hendak melihat apakah ada yang berhasil mengikuti jejakku sampai di sana."

"Persis seperti yang kuduga," kata Jupiter dengan sikap puas. "Kau tidak bermaksud menghubungi misi perdagangan?" tanya Bob.

"Hanya kalau tidak ada jalan lain lagi. Ketika para penculik itu tahu-tahu muncul di Red Lion, aku langsung menyadari bahwa mereka memiliki
kemungkinan untuk mengetahui pesan-pesan yang dikirim lewat misi itu. Kecuali itu mereka mestinya tahu cukup banyak mengenai aku, sehingga bisa menafsirkan segala pesan rahasia yang kukirimkan."

Jupiter merogoh ke dalam laci meja tulis dan mengeluarkan taring kecil dari gading dengan pengikat dari emas yang ditemukan di ngarai buntu. "Kau pernah melihat barang ini, Ian?" Ian meneliti perhiasan itu.

"Yah, yang jelas ini buatan Nanda, dan memang aku rasa-rasanya seperti pernah melihatnya. Tapi di mana, aku tidak ingat!"

"Bob," kata Pete, "coba kautelepon Miramar lagi."

Sementara Bob menelepon kembali, Ian mengamat-amati berbagai perlengkapan Trio Detektif yang ada di dalam ruangan itu. Dilihatnya teropong yang dapat diangkat ke atas lewat lubang di atap karavan, lalu sebuah alat pengeras suara agar pembicaraan telepon dapat diikuti beramai-ramai, selanjutnya walkie-talkie, sebuah mikroskop. Bahkan kamera untuk televisi kabel juga ada di situ.

"Dari mana kalian memperoleh alat-alat sebanyak ini?" tanya Ian. "Sebagian besar kami buat sendiri," jawab Pete. "Atau tepatnya, Jupe yang membuat. Dengan menggunakan berbagai suku cadang dan alat-alat rusak yang dijual sebagai barang rombengan ke pangkalan." "Kami memiliki bengkel di luar," kata Jupiter menambahkan. "Bengkel? Aku juga punya, di rumah!"

"Kita tadi melewati bengkel kami sewaktu hendak masuk kemari, meski kau tidak bisa melihatnya karena masih gelap. Kau juga masuk ke situ ketika menyambar bekal makan siang Pete beberapa hari yang lalu!" "Tapi waktu itu aku tidak memperhatikan," kata Ian sambil tertawa. "Bisakah aku melihatnya sekarang? Sambil menunggu?"

Bob menoleh ke arah mereka, sementara tangannya masih memegang gagang telepon.

"Ndula baru saja kembali," katanya. "Sekarang sedang menuju ke kamar. Kutunggu saja sampai ia datang."

"Sementara itu kami ke bengkel," kata Pete.

Pete dan Jupe mengantar Ian ke bengkel dengan melalui Lorong Dua lagi. Sesampai di luar, matahari ternyata sudah nampak di sebelah
timur. Ian memandang berkeliling dengan sikap gelisah. "Amankah kita di sini?"

"O ya," kata Jupiter menenangkan. "Dari luar, orang tidak bisa melihat kemari sebab pagar itu terlalu tinggi. Sedang dari dalam pekarangan juga tidak bisa, karena terlindung tumpukan barang-barang bekas yang ada di sekeliling bengkel ini. Tapi kita bisa melihat jika ada orang datang."

Ian mengangguk dengan gembira, lalu mulai melihat-lihat segala perkakas yang terdapat di atas bangku kerja yang panjang dan yang ditaruh di pinggir tempat yang dijadikan bengkel itu.

"Wah, bengkel ini benar-benar lengkap," kata Ian dengan kagum. Saat itu Bob muncul, lewat Lorong Dua.

"Aku sudah bicara dengan Ndula!" katanya bersemangat. "Ia sekarang pergi menjemput MacKenzie, lalu langsung kemari."

"Sayang juga sebenarnya," kata Ian. "Aku sebenarnya ingin seharian di sini, melihat-lihat markas kalian." Ia membungkuk, lalu meraih sesuatu yang terletak di rak yang terdapat di bawah bangku kerja. "Untuk apa ini?" Disodorkannya sebuah benda hitam, berbentuk seperti kotak korek api. "Itu?" kata Pete. "Itu... anu, itu... he, Jupe, benda apa itu?" Bob mengambil kotak kecil itu. "He, ini kan-"

"Itu bukan kepunyaan kita!" seru Jupiter sambil menatap benda itu dengan mata melotot. "Itu alat penyadap pembicaraan!"

"Apa?" tanya Ian.

"Mikrofon, untuk mendengarkan pembicaraan orang dengan sembunyi- sembunyi!" kata Jupiter dengan cemas. "Ada orang menguping, Teman- teman! Cepat, kita harus-"

"Tenang-tenang saja, Anak-anak! Kalian tidak bisa kemana-mana lagi!" Suara yang tiba-tiba terdengar itu datang dari sebelah luar bengkel- suara yang sudah pernah mereka dengar. Penculik yang bertubuh gempal dan berambut keriting melangkah ke dalam bengkel, diikuti oleh temannya yang jangkung. Mereka menggenggam pistol, yang diarahkan kepada keempat remaja yang hanya bisa melongo.

(28) TRIO DETEKTIF: MISTERI KEMELUT KEMBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang