Bab 11 (Pelarian yg Cerdik)

Mulai dari awal
                                    

Dengan cepat Jupiter berpaling ke arah Pete. "Itu dia jawabannya, Dua!"

"Jawabannya?" kata Pete dengan heran. "Aku tadi bilang apa?" "Ian ini rupanya sangat cerdik," kata Jupiter lambat-lambat. "Tapi meski begitu ia mengatakan kepada manajer tadi agar kedua orang yang hendak bertemu dengan dia itu disuruh langsung ke kamarnya. Jadi langsung kemari! Padahal ia sedang menyembunyikan diri, dan ia tidak mungkin bisa tahu dengan pasti apakah yang datang itu kawan, atau musuh. Walau begitu ia menyuruh manajer agar mempersilakan mereka langsung kemari. Kalau kita ini Ian, apakah kita akan melakukan hal itu?"

"Tidak," kata Bob. "Kita akan meminta manajer agar mengulur-ulur waktu, sementara kita dengan diam-diam mengintai untuk melihat siapa mereka sebenarnya!" (yap. Kebanyakan orang ky gini)

Jupiter mengangguk.

"Tentu saja Ian dapat melihat orang-orang itu dari sini lewat jendela. Tapi itu hanya mungkin terjadi secara kebetulan saja! Tidak, hanya ada satu alasan kenapa Ian meminta agar mereka dipersilakan langsung kemari! Ia tidak perlu mengulur-ulur waktu, yang mungkin akan membuat kedua orang itu tahu bahwa ia merasa curiga, karena ia sudah punya rencana!"

"Rencana apa, Jupe?" tanya Bob ingin tahu.

"Sederhana sekali rencananya, yaitu keluar dari kamar ini dan bersembunyi di suatu tempat dari mana ia dapat mengintai mereka! Tempat itu sedemikian rupa letaknya sehingga ia bisa meloloskan diri apabila kedua orang yang hendak menemuinya itu ternyata mereka yang mencoba menculiknya di Los Angeles. Yuk!"

Jupiter keluar dari kamar itu, diikuti oleh yang lain-lain, lalu berdiri di gang.

"Suatu tempat yang dekat dengan jalan keluar," kata Jupe sambil berpikir-pikir. "Dari tempat itu Ian bisa melihat tampang orang-orang yang datang itu. Tempat seperti" - matanya berkeliaran, mencari-cari sepanjang gang - "lemari dinding itu!"

Lemari dinding yang dimaksudkan Jupiter tidak jauh letaknya dari tangga. Sebetulnya bukan lemari, tapi semacam gudang sempit tempat menaruh seprai dan alat pembersih. Apabila pintunya dibiarkan terbuka sedikit, dari dalamnya nampak dengan jelas lift dan ujung atas tangga. Orang yang baru sampai di lantai itu dan menuju ke kamar Ian dapat dengan mudah diamat-amati dari situ.

"Periksa, kalau-kalau ada yang kelihatannya seperti gambar yang dibuat dengan pinsil!" kata Jupiter memberi petunjuk.

Hampir dengan seketika Pete sudah menemukannya, pada sisi dalam pintu tempat penyimpanan itu. "Ini, di sini! Wow, gambarnya benar- benar bagus! Sebuah mobil. Ada supirnya, dan sesuatu di samping yang kelihatannya seperti lencana, dan sesuatu di kap mobil!"

"Mobil?" Kening Jupiter berkerut. "Apa maksudnya?"

"Bukan mobil yang biasa-biasa saja, Satu!" seru Bob. "Lihat, supirnya memakai topi, dan yang di atas itu semacam lampu! Ini gambar taksi!" "Di depan hotel ada pangkalan taksi!"

"Ian memperkirakan bahwa kita bisa menebak apa yang dilakukannya untuk mengintai orang-orang yang datang itu," kata Ndula, "dan gambar ini memberi petunjuk bahwa ia merencanakan untuk lari naik taksi!" Semuanya bergegas-gegas keluar, menuju satu-satunya taksi yang menunggu di pangkalan depan hotel. Supirnya sedang membaca majalah. Ketika ditanya, ia mengatakan bahwa ia tidak membawa penumpang seorang remaja dari hotel itu empat hari yang lalu, atau kapan saja.

"Berapa banyak taksi yang beroperasi dari pangkalan ini?" tanya Ndula.

"Banyak, tapi semuanya dari satu perusahaan."

"Di mana kantor perusahaan Anda?"

Setelah memperoleh keterangan dari supir taksi itu, MacKenzie membawa Ndula dan anak-anak ke tempat yang merupakan kantor perusahaan taksi dan sekaligus garasi armada taksinya. Letaknya di lingkungan tempat penjualan kayu, tidak jauh dari pelabuhan. Rel-rel kereta api simpang siur di situ. Manajer yang bertugas saat itu dijumpai di dalam kantornya yang berantakan di bagian belakang garasi. Setelah rombongan MacKenzie menjelaskan apa yang hendak mereka ketahui, manajer itu meneliti sebuah daftar.

"Red Lion, kata Anda? Empat hari yang lalu, ya? Oke, ini dia-hari itu ada empat taksi kami yang mangkal di sana. Sebentar, kalau tidak salah Falzone dan Johansen saat ini sedang ada di garasi. Coba saja tanyai mereka."

Johansen dijumpai sedang mengutak-utik mesin taksinya. Empat hari yang lalu, tidak ada penumpangnya dari Red Lion yang remaja.

Falzone sedang istirahat, menghadapi secangkir kopi.

"Ya, memang ada remaja yang naik taksi saya dari Red Lion hari itu, dan itu dia anaknya!" Ia menuding Jupiter. "Beberapa hari setelah itu kau diculik, ya? Aku melihat fotomu dalam koran. Wah, pengalaman itu pasti menyeramkan

"Aku memang diculik," kata Jupiter memotong, "tapi aku bukan remaja yang naik taksi Anda waktu itu. Coba perhatikan aku dengan lebih teliti." Kening supir taksi itu berkerut.

"Yah-kalau melihat tampangmu, kaulah anak itu. Tapi dandananmu tidak sama, dan logat bicaramu juga lain. Jadi, baiklah, jika kau yang mengatakannya-kau bukan dia."

"Anda masih bisa ingat, ke mana anak itu Anda antarkan?" tanya Ndula. "Tentu saja," jawab Falzone sambil mengangguk. "Aku ingat sekali karena tingkah lakunya aneh. Ia lari keluar dari hotel, cepat-cepat masuk ke mobilku sambil mengatakan agar diantar ke seberang kota.

Sebentar-sebentar ia menoleh ke belakang. Karenanya aku menduga bahwa mungkin ia habis mencuri sesuatu dari hotel, atau minggat. Lalu mobil itu-"

"Anda mengantarnya ke mana?" potong MacKenzie dengan tidak sabar. "Itulah yang hendak kuceritakan!" tukas Falzone. "Sebentar-sebentar anak itu menoleh ke belakang, dan ketika kami sudah tiba di seberang kota, tahu-tahu aku disuruhnya berhenti! Padahal yang ada di situ cuma bangunan-bangunan gudang dan pabrik saja. Ia cepat-cepat membayar, meloncat turun, lalu lari memasuki sebuah lorong. Ia bahkan tidak menunggu uang kembalian. Lalu, seperti yang hendak kukatakan tadi, mobil itu datang dari belakang dan lewat lambat-lambat di samping taksiku. Tidak sampai berhenti, tapi kurasa mobil itu membuntuti remaja yang lari itu."

"Mobil merek apa?" tanya Jupiter.

"Mercedes, berwarna hijau. Mobil bagus. Sudah lama aku mengidam- idamkan punya mobil seperti itu." "Tolong antarkan kami ke tempat anak itu turun!" kata Ndula. "Boleh saja, letaknya tidak jauh dari sini." Ternyata tempat itu memang tidak jauh. Falzone berhenti di sebuah blok yang terletak di pinggiran kota. Di blok itu terdapat bangunan- bangunan gudang, sejumlah pabrik kecil, dan tanah-tanah pekarangan yang tidak ada bangunannya. Supir taksi itu menunjuk ke arah sebuah lorong di antara dua bangunan.

"Ia lari ke sana. Itulah terakhir kali aku melihatnya."

Supir taksi itu pergi setelah dibayar. MacKenzie memarkir mobil Cadillac yang besar di tepi trotoar. "Mau apa dia kemari?" kata Pete dengan heran, sambil memperhatikan lingkungan yang sepi itu. "Mungkin ia hanya hendak melepaskan diri dari kejaran para penculik," kata Bob. "Rupanya ia tahu bahwa mereka membuntutinya."

"Itu memang mungkin, Bob," kata Jupe sependapat. "Dan kalau begitu, ia pasti mencari-cari tempat untuk menyembunyikan diri. Kita ikut saja masuk ke lorong itu, dan kita lihat apakah nanti ada sesuatu yang merupakan petunjuk."

Lorong yang mereka masuki itu sempit, diapit dinding polos. Ada tiga pintu di situ, tapi ketiga-tiganya dikunci dengan gembok besar yang sudah berkarat tanda sudah lama tidak dibuka. Akhirnya rombongan MacKenzie sampai di ujung lorong.

"Sekarang bagaimana?" tanya Pete.

Jalan yang ada di depan ujung lorong itu hampir serupa keadaannya dengan jalan yang terdapat di ujung tempat mereka masuk tadi. Yang nampak di sisi kiri kanannya hanya gudang-gudang sunyi, pabrik-pabrik kecil, serta sejumlah tanah kosong dengan sampah berserakan. Tidak jauh dari ujung lorong ada jalan lain memotong jalan di depan mereka yang berujung di situ.

"Ada tiga arah yang bisa dituju Ian," kata Ndula lambat-lambat. "Anak itu bisa lari ke mana saja."

(28) TRIO DETEKTIF: MISTERI KEMELUT KEMBARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang