2. Intrik

17 11 4
                                    

Terlepas dari Rian, Nesa memutuskan untuk berangkat sekolah lebih pagi. Tak peduli dengan kepala yang pening karena sempat menangis lama semalam.

Demi menghilangkan jejak tangisan, dia bangun pagi-pagi, diam-diam mengambil es dari dapur, dan mengompres matanya yang bengkak bukan main.

Meski tak menceritakannya kepada ayah dan ibu, Nesa yakin orang tuanya tahu. Pelukan dan belaian lembut di kepala buktinya. Sang ibu bahkan berkata bahwa tidak masalah jika dia bolos satu hari. Namun, Nesa menolak. Rian tidak cukup berharga sampai bisa membuatnya membolos. Dengan menangis semalaman saja dia sudah merasa sangat buruk. Seolah dirinya adalah manusia paling bodoh sedunia.

Membuka jendela bus lebar-lebar, Nesa membiarkan kesegaran angin pagi membelai wajahnya.

Rian telah pergi. Namun, hatinya masih terus mengulang pertanyaan yang sama.

Mengapa?

Nesa mengembuskan napas kasar. Bagai menabur garam di luka yang masih basah, pertanyaan itu membuat rasa perih di hatinya semakin menjadi. Rasa sesak di dada yang sempat mereda, kini kembali.

Menghirup napas dalam, pandangan dia alihkan ke luar jendela. Berharap semua itu bisa meredakan rasa sesak di hati.

Saat bus sampai di halte dekat sekolah, Nesa memasang earphone tanpa menyalakan lagu apa pun. Bukan apa-apa, dia hanya mencari alasan untuk bersikap abai. Berjaga-jaga jika seseorang datang kepadanya untuk bertanya tentang Rian. Meski mereka baru putus kemarin, mengingat begitu cepatnya gosip menyebar di sekolah, Nesa memilih untuk tak mengambil risiko. Apalagi Rian cukup populer. Untungnya, sekolah masih lumayan sepi. Jadi, dia masih bisa tenang setidaknya untuk 15 sampai 20 menit ke depan.

"Nes, kamu putus sama Rian?"

Baru lima menit Nesa menikmati kesendiriannya, Galuh yang baru saja tiba di kelas langsung menghampiri. Napas gadis itu terengah-engah sementara tangan kanannya bertumpu pada meja. Namun, alih-alih menjawab pertanyaan, Nesa terdiam. Matanya tetap fokus pada buku paket dan buku catatan di atas meja.

Melihat reaksi sahabatnya, Galuh mendesah. Semalam, ibu Nesa menelepon, menanyakan tentang apa yang terjadi sampai Nesa mengurung diri di kamar. Galuh punya firasat kalau semua itu ada hubungannya dengan Rian. Namun, dia tak menyangka Rian memilih putus dengan Nesa demi membuat semuanya jelas.

Satu minggu lalu, gosip kedekatan Rian dengan Luna mulai menyebar. Padahal, biasanya Rian selalu menolak meski didekati dengan gencar.

Saat gosip mulai menyebar, Galuh sempat mendatangi pemuda itu. Namun, Rian menjawab dengan enteng bahwa semua itu hanya rumor. Hingga beberapa hari yang lalu, Galuh sadar bahwa tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Rima---sahabatnya yang sekelas dengan Rian---sendiri yang bilang kalau di luar jam pelajaran, Luna selalu menempel pada Rian ke mana pun dia pergi.

Sayangnya, Nesa terlalu polos. Belum tahu bahwa hubungan antar pasangan tidak bisa berat sebelah. Meski Galuh sering memberi masukan, Nesa terus mengalah pada Rian.

Galuh sadar dia tidak bisa terus berdiam diri. Jadi, dua hari lalu dia mendatangi pemuda itu, menegurnya agar tidak bersikap plin-plan.

"Nes?"

Lagi, Nesa tak merespons. Memilih menyibukan diri dengan meringkas materi biologi. Namun, Galuh tahu kalau hati sang sahabat sejatinya tengah hancur berkeping-keping.

Ini pasti gara-gara Luna!

Baginya, perubahan Rian sangat tiba-tiba, membuatnya curiga ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuannya. Melihat Luna yang paling diuntungkan dari kejadian ini, Galuh tak bisa menyingkirkan kecurigaannya terhadap gadis itu.

Galuh tahu betul kalau Luna tidak suka Nesa. Mungkin sebagian besar penghuni sekolah juga tahu karena Luna tak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap Nesa. Saat hubungan Nesa dengan Rian masih baik-baik saja, dia kerap mendengar gosip buruk tentang sahabatnya. Biasanya, Nesa memintanya untuk mengabaikan. Namun, kali ini dia tidak bisa.

Dengan amarah yang meluap, gadis tinggi semampai itu melangkah mantap ke area parkir. Galuh yakin Rian akan datang bersama Luna. Karena itulah dia berniat menunggu mereka.

Bersandar pada tiang fondasi di area parkir, Galuh melipat tangan di dada. Ujung kaki kanannya dia ketuk-ketukkan ke tanah. Sesekali, matanya melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

Satu demi satu kendaraan bermotor mulai memenuhi area parkir. Namun, Galuh tetap menunggu dengan percaya diri. Tidak peduli pada tatapan heran yang tertuju padanya.

Saat matanya melihat kendaraan Rian memasuki gerbang sekolah, api amarah di dadanya semakin berkobar. Kedekatan Luna dan Rian-lah penyebabnya.

Dengan percaya diri, gadis itu menghampiri keduanya. Sejenak, matanya menatap dingin sebelum akhirnya tamparan keras mendarat di pipi Luna.

"Lo apa-apaan?" Sebelum Rian pulih dari keterkejutan, Luna terlebih dahulu memaki.

"Itu bayaran buat cewek murahan."

Galuh tahu putusnya Rian dengan Nesa bukan hanya salah Luna. Rian dan Nesa juga ikut ambil bagian. Namun, hatinya tidak tenang melihat keduanya bersama, sementara sahabatnya menderita.

Tamparan yang Galuh berikan kepada Luna begitu keras hingga mengundang keributan. Kejadian ini jelas akan membawanya ke ruang BK. Nesa juga mungkin akan menyalahkannya. Namun, ini masih lebih baik daripada berdiam diri melihat Luna hidup dengan tenang, sementara sahabatnya menderita.

Lihat saja, gosip tentang kejadian hari ini pasti akan tersebar!

***

BeliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang