Mundur

9.1K 763 16
                                    

Berkali-kali Gara mengerjapkan matanya, menahan supaya air matanya tidak tumpah. Ia mengamati tubuh Dara yang terpasang banyak selang. Gara terus menyalahkan dirinya. Memaki dirinya. Kalau pernikahan itu terjadi, tidak akan membuat malu keluarga besar.

Apalagi tadi ditambah penuturan Ayahnya Dara. Dara benar-benar mencintai Gara, tapi begitu saat Gara membatalkan pernikahan lalu pergi, Dara depresi. Ayahnya tadi bilang pada Gara, Dara tidak masalah jika pernikahannya diundur, asalkan Gara tidak meninggalkan Dara begitu saja.

Gara menatap sepasang mata Dara yang biasanya menatap mata Gara dengan keteduhan. Tapi kini, matanya tertutup rapat dengan bulu matanya yang masih lentik. Luka luarnya pun sudah hanya tinggal bekasnya saja.

Berkali-kali Gara menghembuskan napasnya. Ia tidak ingin dipertemukan dengan Dara yang seperti ini. Ia ingin Dara yang sehat dengan senyuman manisnya. Gara tidak pernah berhenti untuk tidak berdoa.

Sekonyong-konyong jemari Dara bergerak perlahan. Gara terkesiap, dengan segera ia bergegas menekan tombol untuk memanggil dokter. Menemani Dara selama empat hari, ternyata tidak sia-sia. Bunda yang terkejut melihat Dara menggerakkan jemarinya pun langsung menangis dengan telapak tangan yang menutupi wajahnya.

Gara menuntun Bunda keluar ruangan, membiarkan dokter bersama susternya itu mengecek kondisi Dara. "Bunda, duduk di sini dulu. Gara ke kafetaria sebentar, ingin membeli minum," ucap Gara penuh antusias.

Sekembalinya Gara dari kafetaria rumah sakit, Gara malah masih melihat Bunda menangis. Malah sekarang tersedu-sedu. "Bunda, ayo, masuk. Dara, kan, sudah sadar." Gara mengelus pundak Bunda. Bunda mengangguk lalu bangkit dan berjalan menuju ruangan Dara.

Gara melihat Dara yang sedang bersenda-gurau bersama Ayahnya dan tiba-tiba terhenti saat melihat Bunda dan Gara. "Lho, Yah. Ini siapa? Raka kemana, Yah?" tanya Dara sambil memerhatikan Gara dengan dahi berkerut heran.

Langkah Gara terhenti begitu Dara berucap seperti tadi. Gara menatap Ayah dan Bunda, meminta penjelasan. Bunda yang masih tersedu-sedu hanya bisa membenamkan kepalanya pada dada Ayah. Ayah menghela napas, "Dara, sekarang tahun berapa?"

Dara bingung dengan pertanyaan Ayahnya, namun tetap menjawabnya. "Tahun 2003, memangnya kenapa, Yah?" tanya Dara bingung. Badan Gara lemas seperti tak bertulang hingga merosot dan terduduk di lantai ruangan Dara. Ia menatap Dara dengan pandangan nanar. Air matanya tidak bisa keluar.

Raka. Mantan kekasihnya 6 tahun lalu, sebelum Gara. Raka yang berselingkuh dan membuat Dara patah hati dan mengunjungi kafe yang sering Gara kunjungi. Bunda masih terisak di dalam dada Ayah. Ayah dan Bunda pasti sudah mengetahuinya saat Gara ke kafetaria.

"Maafkan Ayah, Gara. Maaf." Ayah membuka suara. Dara hanya menatap orang-orang sekelilingnya dengan bingung. Ia tidak tahu-menahu. Gara menggeleng pelan, bukan salah Ayah, jika kecelakaan itu tidak terjadi, jika tidak membatalkan pernikahan, jika...

Kini Gara menyalahkan dirinya sendiri. Ingatan Adara Nafisa mundur 6 tahun ke belakang. Tidak ada secuil pun Dara mengingat Gara.

The One Who WaitsWhere stories live. Discover now