KiWi [18]

109 10 3
                                    

Azan subuh berkumandang, aku bisa mendengarnya dengan jelas, tetapi mata ini rasanya berat sekali untuk terbuka. Semaksimal mungkin aku berusaha bangkit untuk menjawab panggilan Allah, dan melaksanakan kewajiban salat. Hasilnya tetap nihil. Meringis kecil, aku kesulitan mengendalikan tubuh yang bagaikan dihimpit oleh ribuan ton. Batinku memanggil Wira, melupakan kejadian tadi malam yang masih terasa perih.

Semarah apapun Wira, aku yakin dirinya tidak akan tega membiarkanku yang sangat butuh pertolongan. Lama aku menunggu tanda-tanda kedatangannya, namun Wira tidak kunjung muncul. Menoleh kanan dan kiri aku menangis ketakutan, tidak menemukan siapapun selain gelap yang mencekam.

"Ki, bangun subuh." Wira? Suara itu, aku mengucapkan rasa syukur yang tidak terhingga. Akhirnya Wira datang.

Tapi ... Sengatan yang kuat menyerang kepalaku hingga berputar sangat cepat, aku merintih dengan tubuh yang juga terasa berat dan menekanku lebih kuat ke badan ranjang.

"Astaghfirullah! Kii, bangun, badan kamu panas banget." Wira panik bukan kepalang, kedua tangannya yang kasar memeriksa suhu tubuhku.

Tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis. Mulut dan pergerakanku seakan terkunci.

"Sebentar, aku panggilkan Buk Sita." Aku bisa merasakan selimut menutup seluruh tubuh ini, sapuan tangan Wira yang lembut di puncak kepala juga aku rasakan. "Kiran, kamu harus kuat."

Derap langkah yang menjauh pertanda Wira telah pergi, meninggalkanku sendiri yang menggigil kedinginan. Suhu tubuhku yang meninggi pasti akibat hujan-hujanan tadi malam, dan aku tidak perlu cemas karena Wira akan kembali membawa Buk Sita, seorang dokter umum yang kebetulan tinggal di depan rumah.

Tidak sampai lima menit Wira dan Buk Sita datang dengan alat kedokterannya yang lengkap, aku melihatnya dari sedikit celah mata. Wanita itu langsung mengukur tensiku, berikut suhu tubuh yang mencapai tingkat teratas untuk dewasa. 37,5 derajat begitu katanya.

"Udah tinggi banget ini, Wi. Kita infus ya, biar cepat normal suhu tubuhnya." Buk Sita meminta persetujuan, Wira lantas mengangguk.

Sebelum memasang jarum pada tanganku, Buk Sita memeriksa yang lain. Detak jantung, pernapasan, hingga menyentuh perut bagian bawahku.

"Apa mungkin akibat hujan-hujanan tadi malam ya, Dok?" tanyanya cemas.

"Ya, bisa jadi, soalnya Kiran ini kan pertahanan tubuhnya sangat lemah." Beliau mulai memasukkan jarum, dan memasang alat kebutuhan lainnya. "Harus dijaga loh, Wi. Anak pertama kan? Jangan sampai terjadi yang nggak diinginkan."

"Maksudnya, Buk?"

"Loh, masa kamu nggak tahu? Kiran lagi hamil, perkiraan nih masih satu minggu," katanya begitu bersemangat.

Deg! Jantungku seakan berhenti detak.

Kabar yang tidak diinginkan itu berhasil membuatku kaget. Tubuhku yang seluruhnya terasa sakit, kini bertambah sakit berkali-kali lipat. Air mata berlinangan dengan sendirinya, aku menangis tanpa suara, terlalu berat kutanggung sendirian hukuman ini. Kematian bagaikan telah berada di pelupuk mata.

"Obatnya diminum tiga kali sehari, sesuai dosis dan takaran ya." Buk Sita menyerahkan obat yang sudah ia kemas. "Ini juga ada vitamin, dan obat mualnya buat Kiran."

"Baik, Dok. Terima kasih." Wira membayar biaya yang dikenakan, lalu mengantar Buk Sita sampai depan.

Ya, Allah! Saking terkejutnya, entah mendapat kekuatan dari mana aku bangkit. Tubuhku bergetar kencang, menggigil kedinginan, panik luar biasa. Dengan kalap aku memukul perut yang katanya telah berisi janin. Sungguh, aku tidak menginginkannya, dan tidak akan pernah membiarkannya lahir ke dunia. Aku membenci Randu, beserta apa yang dituainya dalam rahimku.

"Kiran, kamu apa-apaan sih?!" Wira berteriak, melompat ke arahku, dan menghentikan aksi brutal yang aku kerahkan.

"Aku nggak mau hamil, anak ini nggak boleh lahir ke dunia." Aku membalas teriak, sambil histeris melepaskan diri.

"Kiran!" bentak Wira sampai terlihat urat-urat di keningnya. "Jangan bodoh."

Napasku naik turun menahan gejolak emosi dalam dada. Dengan mata berkabut aku menatap Wira yang merah padam, tetapi aku tidak peduli. Rasa sakit dan benci yang ada pada diriku jauh lebih besar daripada kelapangan jiwa. Menerima semuanya adalah suatu ketidakmungkinan yang terjadi. Aku memang memaafkan, tetapi tidak untuk melupakan.

"Lepaskan, biarkan aku melakukan apa yang seharusnya aku singkirkan." Lagi, aku membangkang, sambil terus berusaha menarik diri.

"Aku nggak akan membiarkannya begitu saja, Ki." Wira kekeuh melarang perbuatan anarkisku.

"Apa urusanmu melarangku? Bukankah kamu ingin menceraikanku? Maka, semuanya adalah keputusanku tanpa campur tanganmu lagi."

"Aku berhak atasmu, karena kita belum resmi berpisah." Suara Wira yang meninggi tidak lagi membuatku gentar.

Menyerah lelah, akhirnya aku hanya bisa menunduk. Tangisku pecah, dan tidak terkontrol. Kejadian yang seharusnya tidak aku ingat lagi, kini berputar kembali di kepala. Segalanya berjalan begitu cepat, setiap kejadian dan paksaan Randu bagaikan tancapan pisau yang menekan hatiku. Tidak seorang pun wanita yang rela hamil dengan jalan yang hina, termasuk aku.

"Ki, tolong, jangan menambah kesalahan lagi dengan sesuatu yang sangat Allah benci." Wira menatapku dalam, kedua matanya penuh dengan air mata. "Jangan mengotori kedua tanganmu dengan menyingkirkan sesuatu yang seharusnya kamu jaga dan lindungi segenap jiwa."

Dengan bibir bergetar aku membalas tatapan Wira, rasanya aku benar-benar rapuh saat ini, dan sangat hancur. "Kamu nggak pernah ngerti apa yang aku rasain sekarang."

"Aku ngerti," jawab Wira tegas.

Mendorong pundak Wira dengan sisa kekuatanku, setelah itu aku melipir ke ujung ranjang. Menggunakan selimut yang tebal aku menggulung seluruh tubuhku, meringkuk seperti orang ketakutan, dan menggigil bagaikan ajal hendak menjemput. Darah mengalir dari pergelangan tanganku, sesaat aku mencabut paksa jarum infus yang terpasang. Tidak ada rasa sakit apapun, sebab sakit di hatiku lebih dominan merajai dari seluruh kehancuran yang pernah aku hadapi.

"Aku akan telepon Bunda sama Ayah." Dengan cepat Wira mengambil ponsel, mengabaikan reaksiku yang panik dan menggelengkan kepala.

Selama Wira keluar menelepon, aku semakin histeris bahkan seperti orang kesetanan. Aku berteriak menyalahi diri sendiri, meronta-ronta, meninju dan memukul perut dengan seluruh kekuatan yang ada. Mengerling ke arah meja pergerakanku terhenti saat menemukan sebuah gunting. Tanpa berpikir panjang aku mengambilnya dengan akal yang tidak lagi waras. Cukup lama aku memandangnya, sambil membayangkan kematian yang seakan-akan terus memanggil. Tepat di saat aku hendak menancapkan ujung gunting itu pada perutku, Wira datang merebutnya, lantas membuangnya.

Plaak! Membeliak, reflek tanganku memegang pipi kanan yang terasa memanas. Wira menamparku, dan itu sukses membuatku kaget.

"Sudah cukup atas dosa yang telah kamu lakukan dengan Randu!" Kedua kalinya Wira membentak, wajahnya yang selalu teduh kini merah padam.

"Kamu ngelarang ini itu, dan selalu marah-marah karena nggak tahu apa yang aku rasakan!" Dengan lantang aku membalasnya, berteriak lebih keras.

"Bersikaplah dewasa, jangan seperti anak kecil." Setelah mengatur napasnya yang memburu, Wira berkata lebih rendah.

Akan tetapi perkataannya itu justru membuatku menganga. Dengan caranya Wira berhasil menyindir sikapku jika terlalu kekanak-kanakan di usia yang seharusnya sudah matang.

"Tolong, Ki, berpikir sedikit lebih waras." Wira melanjutkan, lalu meraih tanganku yang bergetar. "Biarkan anak itu hidup, dan memperbaiki kesalahan kedua orang tuanya di masa lalu."

Menggigit bibir bawah, aku menahan isak tangis yang spontan meledak. Menatap punggung Wira yang berlalu, meninggalkanku dengan sejuta perasaan sakit yang tidak tertahankan.

Mantan Pacar ✓Where stories live. Discover now