KiWi [2]

235 21 4
                                    

"Kiraaan, ada mantan tuh!"

"Kayaknya udah balikan ya?"

"Opss, ada yang cemburu nih!"

Secara bergantian aku menatap Wira dan Randu.

Kedua lelaki itu memberi tatapan yang penuh arti kepadaku. Di saat aku melangkah ke arah Wira, aku melihat Randu yang mendengus sebal. Sekalipun kami tidak lagi berhubungan khusus, tentu aku sangat menghargai keberanian Wira.

Mengajak mantan menikah bukan perkara yang mudah. Aku tidak mungkin tega mengabaikannya.

"Wira, mau ke mana?" tanyaku heran.

"Mau nyamperin Kiran," jawabnya.

Mengangguk cepat, sekarang aku tahu maksud kedatangannya, "Wira mau Kiran jawab yang kemarin kan?"

Kutatap lekat kedua bola mata Wira, lelaki itu sontak berpaling. Sayang sekali, padahal aku ingin melihatnya lebih lama dan mencari jawaban di dalamnya.

Andaikan Wira memberi kabar padaku saat dirinya belajar di Pondok, mungkin saja kami masih terus bersama. Cinta membuatku terpuruk beberapa hari. Sampai akhirnya aku sadar jika yang ada di antara kami harus mundur, dan aku menyerah. Memutuskan Wira adalah jalan terbaik meski rasa sakit menikam dada. Aku berusaha sembuh.

"Ya, kira-kira begitu. Gimana Ki, tanggapan orangtua kamu?"

Mengingat wajah Bunda, aku pura-pura memasang raut sedih. "Aku belum dibolehin nikah, Wi. Kayaknya kamu harus cari cewek lain deh. Maaf bangettt, ya!"

"Siapa yang nggak bolehin?"

"Bunda. Soalnya aku masih kuliah."

"Ooh, alasannya itu?"

Aku mengangguk, sangat berharap Wira menerima alasan yang paling masuk akal.

Sejauh ini aku memang belum kepikiran menikah. Apalagi mengingat kepergian Wira waktu itu, rasanya hatiku masih sakit. Jujur ... Entah kenapa sulit sekali memaafkan kesalahan Wira yang satu itu, meski kembalinya dengan mengajak nikah.

"Iyaudah, Ki. Aku antar kamu pulang ya, sekalian aku mau ngomong dan jelasin sama Bunda." Wira berkata. Suaranya terdengar begitu pilu.

"Ma-maksudnya?" Aku gelagapan.

"Mau nunjukin keseriusan aku."

Terus terang aku mulai panik, bingung hendak beralasan apalagi. Sepertinya, Wira memang serius dan tidak main-main. Menggaruk sisi jilbab yang aku kenakan, dengan perasaan bersalah aku menunjuk Randu yang tengah menunggu. Ekspresinya sangat mendukung saat aku menjadikannya sebab untuk menghindar. Aku pun tersenyum masam ke arahnya.

"Maaf banget, Wi. Aku pulang bareng temen." Melambaikan tangan ke arah Randu, dengan cepat aku berbalik.

"Aku ngikut dari belakang deh," tutur Wira sambil berlalu menuju motornya.

Aduh!

Dari ekor mata aku mengikuti langkah Wira, yang kini sudah berada di atas motor. Aku pun menepuk jidat.

Kalau sudah begini aku tidak bisa lagi mencegahnya untuk menemui Bunda. Tidak ada pilihan selain mewujudkan keinginan Wira. Setelah ini aku berani bertaruh Wira pasti membenciku.

"Kayaknya perlu diberi pelajaran!" Gigi Randu bergemelutuk menahan marah.

Meninju lengannya, aku berteriak tepat di kupingnya. "Nggak usah kurang kerjaan!"

"Dia buta atau bego sih sampai nggak ngeliat kamu risih?!"

"Sssh, udah ah!"

"Heran deh sama kamu. Aku tahu, Ki, kamu itu nggak nyaman. Kenapa nggak langsung ngomong aja coba?" Randu terus memarahiku, sesekali matanya melirik spion untuk melihatku. "Aku nggak tega, kasian Wira. Halah! Basi, tau, Ki."

Mantan Pacar ✓Where stories live. Discover now