"Jika boleh kuberi saran sebagai orang yang pernah merebut mobil-mobilanmu sewaktu kecil, jangan coba-coba tertarik pada Dita, jika kau hanya penasaran saja. Masalahmu sedang menunggu untuk diselesaikan. Terutama tentang Seulgi. Kau tidak boleh seenaknya membawa gadis polos seperti Dita masuk ke dalam masalahmu. Kecuali, kau berani berdamai dengan hatimu."

Bukan lagi pergerakan gesit di lapangan, melainkan Jaehyun fokusnya. Lantas Taeyong balas menepuk bahu Jaehyun.

Bagaimanapun repotnya ia menyembunyikan segala resah di balik sikap dinginnya, Jaehyun tidak gampang ditipu. Ialah orang pertama dan satu-satunya yang bakal tahu, sahabatnya. Bahkan, lebih mengerti perasaan Taeyong ketimbang dirinya sendiri.

Taeyong pun tak butuh penyangkalan. Ia tersenyum tipis. "Kimchi jjigae? Aku yang traktir."

"Yeoksi, kau bakal curhat kali ini."

"Yong-ah." Dua kepala itu seketika mendongak untuk menemukan Seulgi dan sebotol minuman isotonik dingin teracung. "Untukmu."

Jaehyun tahu betul Seulgi tidak sekedar memberikan Taeyong minuman saja. Jadi, dia buru-buru bangkit setelah memberi tepukan terakhir di bahu Taeyong. Berlari ke tengah lapangan, berseru. "Doy, oper!"

"Thanks," ucap Taeyong menerima pemberian Seulgi. Langsung ditenggak, hingga bersisa setengah.

"Kau tidak keberatan berbicara denganku?"

"Keberatan jika menyangkut Jimin."

Raut Seulgi meriak keruh. "Yong, kita harus bicara."

"Bicara apalagi. Kau sudah memilih kembali pada Jimin. Untuk apa bicara."

"Yong. Aku terluka kau bersikap tidak peduli begini."

Saat bangkit, Taeyong menekan lututnya. Sempurna menghadap Seulgi dengan tampilan wajah paling tidak ramah sedunia. "Kau pikir aku tidak terluka?"

Tidak sekalipun Taeyong bersikap begitu dingin kepadanya, baru kali ini sejauh keakraban yang terjalin sejak dirinya, Taeyong dan Jaehyun tumbuh besar bersama. Tidak menyisakan sedikitpun pendar kasih sayang pada mata favoritnya itu dan itu menyesakkan Seulgi.

"Tidak masalah kau mempermainkan perasaanku. Menghancurkan hatiku berkali-kali. Aku bisa mengalah. Tapi tidak dengan kau mengabaikan laranganku, terus-terusan plin-plan dan kembali pada Jimin yang selau menawarkan rasa sakit, aku tidak sanggup mengalah lagi."

"Yong." Kantung mata Seulgi memerah, menahan desakan kesedihan. Menggapai tangan Taeyong dan tidak tergenggam, membuat matanya berair. Taeyong menghindari sentuhannya dengan mundur selangkah.

Sekalipun marah, Taeyong tidak pernah sebelumnya menolak sentuhan Seulgi. Hanya kali ini saja kesalahan yang diciptakannya tidak dapat ditoleransi Taeyong dan itu cukup mengguncang perasaan Seulgi. Salahnya memang fatal.

"Tapi aku mencintai Jimin kau tahu itu." Lapis bibirnya bergetar saat Seulgi mengumumkan kejujuran hatinya.

Bertolak pinggang, Taeyong membuang napas kasar, berpikir dapat melonggarkan dada, nyatanya setiap tarikan lebih sakit dari bayangan.

"Berapa kali harus kubilang agar otak bebalmu itu waras, Jimin cuma mempermainkanmu! Kalau kau tetap keras kepala begini, usahaku melindungimu sekarang serasa tidak berguna. Padahal kau tahu itu demi kebaikanmu."

Jebol sudah lapis pertahanan Seulgi. Anak sungai bermuara perlahan di pipi. Hidungnya membersit kemerahan. Ia terlihat kacau sekali.

"Mengertilah, Yong. Sebelumnya kalian berteman baik, apa karena aku, kau begitu memusuhinya? Berhentilah membenci Jimin dan mulailah berhubungan baik."

Sadar salah kaprah Seulgi berkata seperti itu, karena puncak marah Taeyong baru saja dimulai.

Senyum miring bukan jenis senyum yang bagus untuk dilihat, tapi Seulgi terpaksa melihat Taeyong memamerkannya. Itu sama saja menyakitinya.

"Mengerti? Dia meninggalkanmu saat kau sedang sekarat. Bagaimana aku bisa mengerti!"

Otot lehernya sampai menyembul tegang. Serta rahang yang mengeras mempertegas Taeyong sangat marah. Reaksinya mengundang kesiap dari isi lapangan dan separuh penonton yang melingkarinya. Geng Taeyong melupakan bola basket yang bergulir lemah ke luar garis putih, pun jingkrak-jingkrak redam terdistraksi cekcok Taeyong dan Seulgi.

Semua memandang ketegangan itu, selain geng Taeyong, penonton dibalut pertanyaan mengapa yang cuma bisa dibagi teman di sampingnya yang nihil jawaban.

Seulgi belum sembuh dari syoknya akibat ledakan amarah pemuda itu, sudah disuguhi sesi kejutan lain dengan kepergiannya.

"Taeyong! Yong-ah!" Seulgi memanggilnya frustrasi, tapi hati yang baru saja pergi itu telah remuk dan mati rasa. Melebihi kehancuran Seulgi yang terpuruk di lantai semen lapangan.

"Apa mereka berantem?" Di bingkai jendela lantai empat, Denise bertanya kepada Dita yang geming. Berdua mereka tidak melewatkan momen mengejutkan itu setiap detiknya, juga dalam balutan pertanyaan mengapa yang sama yang menghantui tiap kepala penonton awam di bawah sana.

"Hubungan mereka kenapa rumit, ya," komentar Denise selanjutnya.

Dita menggeleng. "Enggak tahu." Ia tidak tahu apa-apa tentang Taeyong, pun masalah-masalah yang dipikulnya, peduli saja tidak. Tapi Dita selalu turut merasakan sedih acap kali pemandangan menguras emosi seperti tadi muncul tepat di depan matanya. Hatinya yang sangat lembut memang mudah terbawa suasana.

__________

Tetangga Menyebalkan 🔚Where stories live. Discover now