TEROR MISTIS PENDAKIAN KAWAH RATU VIA PASIR REUNGIT

65 23 36
                                    

Sewaktu sebelum perjalanan kita berdoa dan membuat formasi seperti di awal perjalanan dengan barisan cewek yang berada di tengah. Waktu menunjukkan pukul 18.00 WIB kami saling memperhatikan satu dengan yang lain sambil menanyakan keadaan masing-masing. Belum berapa lama Nova dan Kiki merasa sakit kakinya karena lelah, maka kita pun memutuskan untuk break sekitar 15 menit.

Kondisi yang gelap dengan keadaan 2 teman kami yang saat itu cidera membuat kami untuk lebih berhati-hati dalam perjalanan. Keegoisan pun terlihat dalam diri kami karena situasi yang masih jauh dari pasir reungit dan belum sampai rumah jam segini membuat kami gelisah dan mengeluh secara terang-terangan.

Akhirnya mereka berdua mesti di bantu untuk pencahayaannya dan berjalan lebih pelan agar tak terjadi kondisi cidera. Hal yang mencekam kembali terjadi aku yang berada dekat dengan Deki melihat daun yang jatuh di depan mataku dan mengambil daun itu, karena melihat kondisi jatuhnya yang seperti di sengaja maka aku termenung dan mataku ingin melihat ke atas.

"Jan, jangan bengong istigfar kita mau sampai pasir reungit jangan kosong pikiran," ucap Deki sambil memegang pundakku.

"Tapi Dek, ini lu lihat  daunnya daun ini---"

"Suttt, udah jangan di hiraukan, apalagi melihat ke atas, kalo lu lihat kelar semuanya," jawab Deki dengan memotong pertanyaanku.

Bersamaan dengan situasi kami berdua yang mencekam, kepala Nova kembali pusing dan kaki Kiki mulai terasa sakit seperti ada yang memegang dengan cengkraman keras. Tak lama kemudian Husna yang saat itu sedang terdiam melihat seperti bayangan hitam di semak-semak seperti mengawasi kami semua. Malam mulai larut tak ada sedikit pun pendaki yang turun hanya tinggal kita di malam ini, Rijal terus berzikir untuk menetralkan suasana dan memberi saran agar tetap ingat yang di atas.

Akhirnya suasana mulai kondusif kami bisa melanjutkan perjalanan meski harus menahan rasa takut dan sakit secara bertahap. Pelan-pelan kami berjalan ternyata sampai lah kita di pasir reungit dan mulai terdengar suara adzan yang berkumandang menandakan bahwa kita dekat dengan perkampungan warga dan pintu masuk kawah ratu.

Teror belum berakhir, walaupun kami akan sampai pada pintu masuk kawah ratu, Husna melihat sosok hitam yang berada dekat semak-semak berbarengan dengan sakitnya kepala Nova. Latief yang sekaligus pacarnya Nova, mencoba menenangkannya dengan cara memberikan motivasi bahwa kita akan sampai sedikit lagi. Husna tetap mengalihkan pandangannya ke teman-temannya, walaupun dia tahu sosok itu memperhatikan teman-temannya. Reza, Desta dan Wina masih merasa santai karena sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini, saat itu mungkin dia berfikir inilah alam liar kalian tidak sendirian, kalian selalu di awasi.

Dengan pelan-pelan dan penuh keyakinan kami tidak menyerah dan harus sampai rumah. Akhirnya sampailah kita di pintu masuk kawah ratu. Aku langsung shalat isya yang di susul oleh teman-teman kemudian beristirahat sejenak melihat kondisi Nova dan Kiki yang sudah membaik.

Husna sudah tidak lagi di teror dan diawasi oleh mahluk disemak-semak itu. Kami semangat untuk pulang kali ini, kami menuju ke parkiran motor dan ternyata tinggal motor kami saja yang tersisa di parkiran. Aku melihat motor yang terasa berbeda dan ternyata benar firasatku motorku bocor di bagian ban belakang. Timbul lah pertanyaan dari teman-temanku.

"Kenapa Jan?" tanya Dayat.

"Bocor cuy, padahal waktu perjalanan berangkat gue udah isi angin loh, penuh tau," jawabku sambil emosi.

Tak berselang lama Reza mengambil tindakan untuk menyegerakan aku menjalankan motor dengan diposisikan badanku kedepan agar tak terjadi hambatan, melihat kondisi yang sudah sangat malam. Aku terus melajukan motorku hingga menemukan tambal ban di dekat curug cilember.

"Punten A, abdi teh hayang nambal ban. Bisa teu?" tanyaku pakai bahasa sunda.

"Oh bisa A, anu belah mana?" tanya balik tukang tambal ban.

"Pandeuri A," jawabku sambil menunjuk.

"Oke sakedapnya A, silahkeun duduk heula A, ngopi A," ujar tukang tambal ban.

Akhirnya setelah menunggu 20 menit aku melihat bocornya ternyata bukan cuma 1 kebocoran ban tetapi 3 lubang yang bentuknya seperti dicakar yang 2 berbentuk besar, yang 1 berbentuk kecil dan kata tukang tambal ban mesti diganti udah gak layak pakai.

Kejadian ini membuatku merasa heran dan merinding ketakutan pasalnya aku menduga bahwa bocor ini bukan ulah manusia yang iseng tetapi bukan pula bintang buas.

"Jan gimana hasilnya ada berapa bocornya?" tanya Deki saat itu.

"Ada 3 Dek, dan bentuk lubang bocornya gak bisa, jumlah dan bentuknya gue berfirasat sama seperti gue waktu adzan sebanyak 3 kali yang berdekatan (Magrib dan isya) dan lebar dan yang 1 kecil tapi berjauhan," jawabku saat itu.

Mau tidak mau aku mesti mengganti ban dalam tang baru karna waktu sudah hampir tengah malam dan kondisi teman - teman yang sudah lelah, aku mesti ambil keputusan. Yaitu aku akhirnya meminjam uangnya kiki saat itu.

"Benarkan apa yang gue bilang Jan, untung aja kita masih selamat coba nggak gimana? Lain kali lo lihat dulu sebelum bertindak. Jangan mementingkan ego lo aja kalau ban ini bocor dan lu gak punya duit lu mau minta siapa dan pulang nya bagaimana?" ucap kiki dengan emosi.

Saat itu aku hanya bisa terdiam dan kembali aku merenung bahwa aku sungguh bodoh dan emosi. Akhirnya Reza, Desta, Wina menghampiriku dan memberikan semangat untuk tidak kapok ke Gunung lagi dan jadikan itu suatu pelajaran berharga karna alam liar menyimpan segalanya yang terlihat mau tak kasat mata. Memang urusan ku dan teman - temanku dah selesai namun penunggu Gunung masih ada urusan.

Saat sampai rumah ku tertidur aku bermimpi bertemu dengan sosok pocong berkain putih dengan wajah yang berdarah dan mulut yang terbuka lebar begitu tinggi badannya memperhatikanku. Dan dia berkata :

"Aku tidak mengizinkan kamu datang kesini lagi dengan etika dan perbuatan yang seperti itu, jikalau kau datang dengan cara seperti itu maka tidak segan - segan aku akan membuat kamu mati di sini."

Seiring dengan mimpi itu aku pun akhirnya tersadar bahwa teror belum berakhir. Aku pun keluar kontrakan dan terasa ada angin yang menghampiriku dari sebelah selatan tepatnya dari Gunung salak. Angin itu terasa dingin seperti angin gunung yang berhembus kencang sekali seperti sebuah peringatan keras, setelah angin itu berhenti aku tersadar bahwa itu teguran pahit.

"Assalamualaikum," ucap ibuku dengan salam.

"Waalaikumsalam," jawabku.

"Ada apa nak, kamu ko bengong pagi-pagi sambil ngelihat ke kebon? Ada apa?" tanya ibuku.

"Gak ada sih Bu, oh iya Ibu merasakan ada hembusan angin kencang gak dingin banget barusan," Aku bertanya balik.

"Gak ada, Ibu gak merasakan apa-apa cuma sejuk aja hawanya nak. Mangkanya dah shalat subuh belum? Udah shalat dulu. InsyaAllah kamu baikan setelah shalat," jelas ibuku dengan penuh kasih sayang.

Sungguh diluar nalar aku kira sudah berakhir hanya di Gunung ternyata sampai ke sini juga dia menelorku. Akhirnya aku bercerita kepada teman-teman ku setelah 3 hari dari pendakian. Rijal ternyata tidak izin kepada orang tuanya untuk pergi ke gunung dan aku begitu sombongnya begitu mengenal alam liar di Gunung.

Dari kejadian ini aku baru menyadari bahwa Gunung menyimpan banyak misteri dan aku tak menyerah untuk mendaki kembali. Inilah cerita saya, saya mohon maaf apa bila ada salah kata dan perkataan yang membuat teman - teman bertanya -tanya. Terima kasih Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Nantikan part 2 nya

HORROR STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang