Purim membuka pintu apartemennya dan menguncinya. Sunyi. Tidak ada sambutan atas kedatangannya.
Purim mendesah lelah. Acara kantornya telah menyita banyak waktunya seharian ini. Bahkan untuk menghubungi kekasihnya yang tinggal satu apartemen dengannya pun tak bisa dilakukannya. Dan sekarang...apartemen itu menjadi sunyi. Purim bisa menebak kalau kekasihnya sedang merajuk sekarang. Namun dia heran mengapa kekasihnya tidak menyambutnya pulang. Karena Purim tahu bahwasanya kalau kekasihnya itu meskipun sedang merajuk, pasti tetap menunggunya pulang. Namun tidak malam itu. Sedikit kekecewaan bagi Purim.
Purim berjalan menuju ke kamar kekasihnya. Mencoba membuka kamar kekasihnya. Namuna sayang, pintu itu terkunci. Purim terkejut. Tidak biasanya. Apa yang terjadi? Apa sebegitu marahnya kekasihnya itu hingga Purim bahkan tidak memperbolehkannya masuk? Memang Purim juga memiliki kunci cadangan kamar kekasihnya, namun sebelum Purim menggunakannya, Purim berusaha untuk mengetahui mengapa pintu itu terkunci. Memberikan waktu kepada kepada kekasihnya untuk sendiri. Segurat penyesalan dan kekecewaan tergambar di wajah Purim.
Itulah mengapa apartemen itu memiliki dua kamar. Bagi Purim dan kekasihnya, terkadang mereka perlu waktu untuk mengerjakan sesuatu sendiri-sendiri. Dan kamar masing-masing merupakan teritorial pribadi mereka. Tapi meskipun demikian, salah satu dari mereka pasti tidak akan menguncinya dan membiarkan diri masing-masing saling memasuki kamar lainnya untuk menghabiskan waktu bersama setelah menyelesaikan Me Time nya. Tapi sekali lagi, tidak malam ini. Malam ini Purim tidak beruntung.
Dengan gontai Purim memasuki kamarnya dan mulai membersihkan diri. Setelah selesai, dia pun bersiap-siap untuk beristirahat. Dia yakin akan susah tidur malam ini tanpa kekasihnya. Dia mendesah lagi. Bingung, kecewa, marah...emosinya bercampur aduk tidak karuan.
Purim melirik HP yang diletakkannya di atas meja nakas. Dia ingin sekali menghubungi kekasihnya yang notabene hanya selang satu kamar. Tapi ditahannya. Dia tidak tahu apa yang terjadi, namun Purim berjanji kepada dirinya sendiri kalau dia akan menyelesaikannya besok. Agar tidak berlarut-larut. Purim benci itu.
Pagi menjelang. Purim bangun dari tempat tidurnya dengan perasaan tidak karuan. Benar saja...kemarin malam Purim bahkan tidak menutup matanya sama sekali. Dia tidak tidur. Purim menuju ke kamar mandi dan menjalankan rutinitasnya.
Hari itu hari minggu. Hari libur bagi Purim dan kekasihnya. Purim kelar dari kamarnya. Berjalan menuju ke kamar kekasihnya. Mencoba perlahan memutar kenop pintu itu. Masih terkunci. Merasa kecewa, Purim berjalan menuju ke dapur. Membuka kulkas dan minum sebotol air mineral dingin. Dan kemudian dia duduk di kursi dapur.
Tak berapa lama pintu kamar kekasihnya terbuka. Menampilkan kekasih Purim yang dirindunya. Purim terkejut. Mata kekasihnya sembab seperti habis menangis. Wajahnya juga sedikit pucat. Purim seera berdiri dan berjalan menuju kekasihnya dengan cepat.
"Sayang, apa yang terjadi?" tanya Purim dengan hati-hati. Kedua tangannya mendekap lengan kekasihnya. Raut wajah khawatir tergambar jelas di wajah Purim saat itu.
Kekasihnya mendongakkan kepalanya memandang Purim. Wajah itu terlihat pucat dan tampak matanya yang disukai Purim terlihat sedih dan kecewa? Purim tidak mengerti.
Bulir air mata tiba-tiba mengalir di wajah mulus kekasihnya. Tubuh itu bergetar. Purim terhenyak kaget. Didekapnya tubuh gemetar itu. Selama beberapa saat, hanya suara sesenggukan yang terdengar. Purim merasa jatuh. Dia telah membuat sedih dan kecewa kekasihnya. Namun dia tidak tahu apa yang telah dilakukannya yang membuat kekasihnya itu menangis dan merasa kecewa.
"Aku tidak tahu apa yang telah kulakukan yang membuatmu seperti ini. Aku hanya tahu aku pasti telah melakukan kesalahan hingga kekasihku menjadi sedih dan kecewa. Aku minta maaf kepadamu. Beritahu aku apa kesalahanku dan kumohon biarkan aku memperbaikinya," Purim berkata dengan getar disuaranya. Dengan nada memohon yang terdengar menyakitkan di telinga kekasihnya itu.
Dengan perlahan-lahan mereka saling melepaskan diri. Saling memandang satu sama lain. Kesunyian mendera di ruangan itu.
"Purim tahu apa kesalahan Purim?" tanya kekasih Purim. Suaranya masih bergetar dan terlihat dia masih menahan tangis.
Purim menggelengkan kepalanya perlahan, "Tidak. Aku tidak tahu."
"Aku tidak pernah melarangmu untuk berteman dengan siapa pun. Aku bukan kekasih seperti itu. Bahkan apabila kamu ingin pergi kemanapun dengan siapa pun aku tidak pernah melarangnya asalkan jelas," kekasihnya berkata pelan. Raut kecewa masih tergambar diwajahnya.
Jeda.
Purim masih menunggu dengan kesedihannya.
"Tapi tadi malam aku merasa kamu telah melanggar batas itu. Aku tidak tahu apakah hanya aku yang merasa seperti itu. Tapi rasa-rasanya kamu tidak peduli denganku lagi," lanjut kekasihnya. Air mata mulai jatuh dipipinya.
"Tidak...Tidak. Sayang...jangan berkata seperti itu," Purim dengan cepat menyanggahnya. Dihapusnya air mata di wajah kekasihnya dengan ibu jarinya. Dia tidak mau kekasihnya beranggapan seperti itu. Karena saat berkata seperti itu, Purim merasa mengerti apa yang telah dilakukannya.
"Kamu bahkan membiarkannya melakukan itu kepadamu. Dan aku mendengar kamu bahkan seharian bersamanya, "kata kekasihnya. Suaranya memelan.
"Aku menunggumu makan siang kemarin. Aku sengaja mengosongkan jadwal untuk menunggumu. Tapi kamu tidak datang. Lalu kamu datang bersamanya di acara tadi malam. Aku tidak mau berpikir apa-apa, tapi kenyataannya memang kamu seperti tidak lagi membutuhkanku," kekasihnya berkata dengan final. Tajam dengan nada yang menyakitkan bagi Purim.
Purim mencelos. Dia tahu apa yang telah dilakukannya.
Purim menarik tubuh kekasihnya dan mendekapnya. Berusaha menyalurkan perasaannya kepada kekasihnya.
"Sayang...Please...jangan berkata seperti itu lagi. Aku membutuhkanmu, sayang. Selalu," kata Purim bersungguh-sungguh. Dia tidak mau kekasihnya salah paham. Dia yang salah di sini. Dia yang seharusnya bisa mengatur jadwal dengan baik. Dia yang seharusnya bisa menghindari perlakukan yang seperti itu. Dia yang seharusnya datang bersama kekasihnya di acara itu. Dia yang seharusnya bisa melakukan semua itu. Dia yang lebih berpengalaman. Mengapa dia juga yang lebih mudah merusaknya?
"Maafkan aku, sayang. Maafkan aku. Aku berjanji tidak lagi melakukannya," mohon Purim kepada kekasihnya. Masih didekapnya tubuh yang bergetar itu.
Kekasihnya melepaskan pelukan Purim dan menatapnya lekat-lekat,"Maafkan aku juga. Aku egois. Aku emosi. Seharusnya aku tidak seperti ini."
Kekasihnya tersenyum. Senyum yang dirindukan Purim seharian kemarin.
"Tidak...Tidak...Itu bukan egois. Aku seharusnya bisa melakukannya dengan baik dan tidak membuatmu merasakan kesedihan dan kekecewaan seperti itu," Purim mengecup kening kekasihnya...lalu hidungnya...kemudian bibirnya.
Purim tahu kalau saat ini kekasihnya sedang merasa bersalah karena bersikap seperti itu. Purim tahu betul kebiasaan kekasihnya. Namun dia juga merasa sangat bersalah tidak menghiraukan kekasihnya kemarin. Bukankah dengan hanya waktu 5 menit saja cukup untuk menghubungi dan mengajaknya menjadi Plus One di acara kemarin malam? Bukan datang sendirian dan kemudian melihat dan mendengar sesuatu yang seharusnya bisa dihindari. Ah...Purim semakin merasa bersalah. Dia berjanji untuk tidak mengulanginya kebodohannya itu.
"Maafkan aku mendiamkanmu dan mengunci kamar kemarin malam. Aku juga seharusnya bisa lebih mengontrol emosiku. Seharusnya masalah ini bisa cepat selesai kalau aku tidak seperti itu," kata kekasihnya dengan nada menyesal.
"Sayang...maafkan Purim sekali lagi...Aku berjanji akan lebih baik lagi. Dan kalau ada saat-saat seperti itu lagi, tolong ingatkan Purim. Tolong jangan diamkan aku. Aku mohon berjanjilah," Purim memohon lagi. Kali ini menatap wajah kekasihnya dengan sayang.
Kekasihnya mengangguk pelan sambil tersenyum.
Lega.
Perasaan lega membuncah di dada keduanya. Memang terkadang emosi membuat kita melakukan hal-hal buruk yang seharusnya bisa dilakukan. Bahkan terkadanga kita lupa dengan sekitar kita meski seharusnya kita bisa melakukan yang lebih baik lagi. Tapi Purim dan kekasihnya hanyalah manusia biasa. Pertengkaran maupun selisih paham bisa terjadi. Keduanya tahu betul itu. Tapi bagi keduanya, hal yang bernama "Rasa" tidak pernah pergi. Rasa saling memiliki dan saling mengerti di antara keduanya. Karena keduanya tahu bahkan di dalam hubungan pun hal-hal tidak akan selalu seindah warna-warni pelangi.
ESTÁS LEYENDO
H O M E
De TodoFF pertama saya di sini. Ghostship. Hanya sekedar menyalurkan uneg-uneg. Pairing Pluem(Purim)x.... Akan saya buka di akhir ff saya ini. Terdiri dari beberapa chapter. Bisa seperti lanjutan ataupun terpisah. Di sini Plum(Purim) akan berpasangan deng...
